Sering Pakai Baju Daster, Perempuan Akan Ditinggalkan Suami? Persepsi Ngawur

Bagi saya, baju daster merupakan power clothes for a women, baju dimana perempuan punya kekuasaan atas pilihan yang ia kenakan.Jadi, tidak pada tempatnya jika ada yang mengatakan bahwa perempuan yang pakai daster itu kumuh dan bisa ditinggalkan suami. Itu adalah persepsi yang ngawur.

Selama ini saya sering sekali mendengar kalimat-kalimat ini:

”Makanya dandan, jangan pakai daster, bau, nanti ditinggalin suami.”

“Emak-emak dasteran, selalu bau dapur”

“Pakai daster terus, makanya ditinggalin suami.”

“Baju jelek, gak wangi.”

Selama ini banyak kalimat bully-an yang ditujukan pada perempuan terkait baju yang dikenakannya, dalam hal ini daster

Perkataan bully-an untuk perempuan berdaster seolah-olah memposisikan perempuan dengan pakaian daster yang dikenakannya itu buruk.

Padahal daster adalah baju yang banyak dikenakan para perempuan di rumah. Buat saya, daster tak hanya punya kekuatan, namun juga membuat perempuan nyaman karena bisa mengenakan baju pilihannya.

Saya mengenal perempuan yang memakai daster sejak zaman nenek saya, ibu saya, tetangga saya sekarang, semuanya memakai daster

Cerita perempuan yang memakai daster yang identik dengan urusan dapur, sumur, dan kasur masih ada hingga sekarang. Daster terus membentangkan beragam persepsi yang bisa dilihat dari berbagai perspektif, misalnya ibu-ibu yang memakai daster sering sekali dituduh sebagai perempuan yang tidak menarik, dan ditakut-takuti oleh anggapan bahwa nanti suaminya akan mencari perempuan lain yang memakai gaun cantik dengan polesan make-up.

Anggapan ini tentu saja memecah belah pemikiran perempuan. Bagi perempuan yang percaya diri, ia akan santai saja dengan daster yang dikenakannya. Namun bagi yang tidak, daster seolah seperti baju buruk yang harus cepat ditinggalkan

Konstruksi berpikir ini kemudian membuat perempuan mendengarkan anggapan miring ini sebagai sesuatu yang penting, dan akan mengenakan pakaian lain sebagai pengganti daster, dengan tujuan biar tidak ditinggal suami, untuk keharmonisan rumah tangga, juga ingin dianggap lebih modern. Daster lalu dianggap sebagai atribut yang secara tidak langsung memposisikan perempuan sebagai subordinat di rumahnya.

Bila dibandingkan dengan model kemeja perempuan, kaos atau t-shirt, atau gaun, daster dianggap berbeda karena memegang simbol nyaman, dapur, dan rumah yang artinya pakaian ini cocok dikenakan ketika perempuan melakukan aktivasi di dalam rumahnya masing-masing.

Jika saya melihat budaya kehidupan keseharian, pada umumnya, banyak perempuan yang sudah menikah akan mengenakan pakaian ini karena nyaman. Daster juga digunakan menjadi semacam identitas perempuan yang bertanggung jawab di rumah.Daster juga memiliki keterikatan perasaan nyaman pada perempuan yang mengenakannya. Tak jarang perempuan yang mengenakan daster tak malu untuk pergi kemana-mana dengan dasternya.

Di lingkungan tempat saya tinggal, baju daster juga mengakrabkan hubungan perempuan-perempuan yang ada di rukun tetangga, semisal jika mereka membeli bumbu dapur atau bahan makanan di bakul belanjaan. Daster yang mereka kenakan akan membawa mereka pada kenyamanan percakapan antara satu perempuan dengan perempuan lainnya.

Di era milenial sekarang, macam-macam daster dibuat semakin trendy. Hal ini dilakukan selain untuk menjual macam-macam model dan corak baju, juga sebagai pilihan yang beragam bagi perempuan untuk mengenakan busananya.

Banyak produsen daster yang memodifikasi daster untuk bisa dipakai bepergian ke luar rumah. Beberapa model daster dalam masa berikutnya dibuat menyerupai gaun pesta agar terlihat modis dan modern.

Mengapa saya tertarik dengan daster?

Ketertarikanku pada daster adalah ketika aku pergi ke Cemeti dan melihat pameran dengan tema “daster” karya Lashita Situmorang dalam pameran besar Clothing as a State of Power

Sampai di pameran yang berjudul Clothing as a State of Power, aku terpukau dengan penataan artistik tim Cemeti dan seniman yang menatanya sedemikian rupa.

Aku berputar ke sudut bagian kiri ruangan untuk melihat cadar-cadar yang digantung bagian dari karya Candrani Yulis berjudul Hijrah. Lalu aku juga melihat bermacam masker yang dalam sejarah  pembuatan masker karya Eldhi Hendrawan ini dibuat berdasarkan berbagai macam model pakaian prajurit yang menjaga daerah istimewa Yogyakarta, bentuk masker juga disesuaikan dengan dimana prajurit berasal, dengan tema visual seragam.

Kemudian bergeser kearah paling depan kulihat karya Karina Roosvita yang berbicara mengenai sarung. kain Sarung dan bagaimana maknanya tak luput dari perhatianku. Karina Rosvita menjelaskan bahwa sarung adalah bentuk kain yang feminin yang bisa dikenakan oleh lelaki juga.

Namun yang paling menarik bagiku adalah daster, dan segala polanya yang dipajang di pameran. Tampilan visual dan narasi tentang seluk beluk di balik daster dari karya Lashita Situmorang ini, membuatku menjelajah ke dalam imajinasi dan pengalaman pilihan baju daster sebagai baju keseharian untuk menemani kegiatanku setiap hari yaitu ketika tidur dan bersantai.

Lashita Situmorang menjelaskan bahwa di awal observasinya ia berpikir tentang pakaian apa  yang merepresentasikan relasi kuasa, dan kemudian ia memilih daster. Lashita mengamati ibu-ibu di lingkungan sekitar rumahnya yang mengenakan daster dan menanyakan kenapa memilih pakaian itu sebagai pakaian keseharian. Ibu-ibu itu menjawab:

“Karena nyaman dan enak dipakai.”

Pengamatan Lashita berkembang lagi ketika ia mulai menggali sejarah awal model daster dibuat. Ia menjelaskan bahwa daster awalnya jubah yang dikenakan sebagai pelindung dari sengatan sinar matahari, kemudian dalam perkembangannya jubah tersebut beralih menjadi daster. Ia menambahkan di dalam perkembangannya, ada model daster yang di dalamnya berbentuk lingerie.

Lashita juga meneliti kaitan daster dengan perspektif perempuan, semua itu ia ringkas dalam bentuk infografis pameran

Daster memang baju yang sederhana, namun daster memiliki fungsi yang kuat dalam kehidupan perempuan. Menurut saya motif-motif daster dibuat beraneka ragam dengan model dan corak yang enak dipandang. Daster menurut pandanganku, juga memiliki fungsi sebagai pelindung tubuh dari panasnya udara karena biasanya kain daster terbuat dari bahan yang menyerap keringat.

Secara personal, daster juga mengingatkanku pada ibu kandungku. Ibuku tak pernah mau memakai pakaian yang bermodel kaos atau celana. Daster menjadi pakaian favorit ibuku yang dipakainya untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci dan memasak. Alasannya sederhana, yaitu karena memakai daster itu ringkas dan tidak panas. Ia menambahkan memakai daster juga membebaskannya bergerak ke sana kemari ketika ada pekerjaan rumah tangga yang perlu ia kerjakan secara bersamaan dan butuh waktu cepat.

Melihat karya Lashita membuatku terus mengingat daster yang mengikat ibuku dengan perasaanku yang nyaman. Kugali lagi pengalaman penglihatanku ketika aku membeli baju di pasar. Banyak sekali perempuan-perempuan yang ke pasar mengenakan pakaian model daster. Dari cara mereka membawakan diri, mereka terlihat nyaman untuk bertransaksi jual beli dengan para pedagang. Pedagang di pasar pun ada beberapa yang memakai daster. Mereka terlihat santai, ramah dan sopan dengan pakaian bercorak lembut ini.

Setelah melihat pameran Clothing as a State of Power aku semakin sadar atas tubuhku. Daster seperti menyadarkanku tentang simbol-simbol yang dilekatkan para perempuan melalui baju yang mereka pakai.

Aku memiliki kuasa mau berpakaian seperti apa asal nyaman dan aman kukenakan. Pameran ini juga menyadarkanku betapa sejarah pakaian bisa membingkai cerita khususnya untuk perempuan. Kerentanan perempuan dengan pakaiannya, akibat penilaian subjektif didiskusikan di pameran ini.

Pengetahuan adalah kekuatan, bahkan karya Lashita tentang daster ini saja bisa menjadikanku nyaman mengenakan daster dimana saja tanpa harus terbelenggu pada citraan-citraan miring tentangnya.

(Foto: Pixabay)

Jessica Ayudya Lesmana

Penulis Waria Autodidak dan Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!