Aktivis Perempuan Protes Tes Pegawai KPK yang Seksis dan Diskriminatif

Aktivis perempuan yang tergabung dalam Gerak Perempuan dan KOMPAKS (Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual) memprotes keras pelaksanaan tes pegawai di Komisi Pemberantasan Korupsi/ KPK yang seksis dan diskrimimatif. Para aktivis menuntut pada pemerintah untuk membatalkan tes yang ngawur dan seksis ini

Aktivis perempuan yang tergabung dalam Gerak Perempuan dan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) mengecam keras pelaksanaan tes alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi/ KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diwarnai pertanyaan tidak etis yang dilakukan pada saat tes.

Pertanyaan ini bernuansa seksis, mengandung bias agama, bias rasisme dan diskriminatif. Gerak Perempuan mencatat dari berbagai sumber berita terdapat beberapa pertanyaan yang tidak relevan dengan tujuan diadakannya tes tersebut. Hal ini disampaikan dalam pernyataan pers Gerak Perempuan dan KOMPAKS yang diterima Konde.co pada 7 Mei 2021 yang berisi antaralain:

1. Pertanyaan yang seksis dan bermuatan pelecehan

a. Pertanyaan terkait status perkawinan

Dalam tes wawancara, seorang pegawai KPK ditanyai mengenai statusnya yang belum menikah. Dari informasi yang kami dapatkan, salah satu pegawai KPK harus menghabiskan waktu 30 menitnya untuk menjawab pertanyaan seperti ini.

b. Pertanyaan soal hasrat seksual.

Pertanyaan mengenai status perkawinan ada yang dilanjutkan dengan pertanyaan seksis “masih ada hasrat apa nggak?”.

c. Pertanyaan terkait kesediaan menjadi istri kedua.

d. Pertanyaan tentang “kalau pacaran ngapain aja?.”

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak ada kaitannya dengan tugas, peran, dan tanggung jawab seorang pegawai KPK dan tidak layak ditanyakan dalam sesi wawancara.

Pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan yang bernuansa seksis karena didasari oleh anggapan yang menempatkan perempuan sebatas pada fungsi dan peran organ reproduksinya dan sangat menghakimi privasi dari pegawai KPK tersebut.

Pertanyaan dan pernyataan yang seksis ini juga menunjukkan buruknya perspektif gender dari aparatur negara. Hal ini bertentangan juga dengan Pasal 28G (1) 1945 & amandemennya mengatur “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi“.

2. Pertanyaan terkait kehidupan menjalankan ajaran agama atau seputar beragama

Dalam tes juga dipertanyakan tata cara seorang menjalankan ajaran agamanya. Agama merupakan hak setiap warga negara dan privasi seseorang yang seharusnya tidak menjadi pertanyaan dalam seleksi pekerjaan.

Seharusnya seleksi pekerjaan bersifat profesional dan sebisa mungkin terbebas dari berbagai bias pribadi si pewawancara, salah satunya bias agama.

Pertanyaan seperti

“Islamnya Islam apa?”

“Gimana kalau anaknya nikah beda agama?”

Hal ini tidak ada kaitannya dengan tujuan tes maupun pada kinerja dan tanggung jawab kerja.

3. Tes yang diisi dengan pernyataan rasis

Dalam tes, para pegawai KPK diminta untuk bersetuju atau tidak terhadap sebuah pernyataan seperti:

“Semua orang Cina sama saja”

“Semua orang Jepang kejam.”

Sulit membayangkan penilaian yang dilakukan berdasarkan pertanyaan dari tes seperti ini. Apalagi pilihannya hanya dipaksa untuk menjawab sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju, atau sangat tidak setuju. Koruptor bisa datang dari semua ras tanpa terkecuali karena orang bertindak korup bukan karena rasnya.

Melihat dari jenis tes dan pertanyaan yang diberikan dalam tes alih status Pegawai KPK, kami mengkritisi dan mempertanyakan kepentingan dari pelaksanaan tata cara dan tujuan tes peralihan ini. Beberapa hal yang menjadi catatan adalah pemilihan model tes, pertanyaan yang diberikan, serta tata cara penilaian yang menjadi kriteria peralihan para Pegawai KPK menjadi ASN. Yang menjadi kekhawatiran utama kami adalah pertanyaan yang menunjukkan kriteria pemilihan ASN sangat tidak etis, seksis, dan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok tertentu.

Tuntutan Aktivis Perempuan

Proses peralihan status tidak terlepas dari disahkannya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. UU ini mengubah status pegawai KPK menjadi ASN dan harus melewati tes peralihan. Hal yang menjadi kontroversi adalah Aparatur Sipil Negara memiliki budaya kerja yang berbeda dengan status pegawai KPK.

Pegawai KPK tidak memiliki kebebasan berserikat dan berkumpul ketika statusnya beralih menjadi ASN. Wadah Pegawai KPK (WP KPK) sebagai kolektif pegawai KPK memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga KPK dari gangguan pihak luar yang ingin menguasai dan menghancurkan KPK. Kekosongan orang-orang kritis di KPK tentunya akan menimbulkan kerugian besar bagi KPK untuk menjalankan fungsi secara maksimal dan optimal.

Tes peralihan ini dianggap menjadi salah satu proses menyaring orang-orang yang selama ini kritis terhadap kebijakan pemimpin, bahkan terhadap kebijakan negara yang tidak melindungi KPK untuk membasmi koruptor. Hal ini terlihat dari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi dan menggiring opini peserta.

Gerak Perempuan sebagai aliansi yang menyuarakan penolakan terhadap kekerasan kepada perempuan–bersama KOMPAKS (Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual) menilai bahwa proses tes peralihan tidak dilakukan secara profesional dan etis, terutama pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi, seksis, dan diskriminatif. Proses profesional dan terhormat ini tercoreng dengan adanya orang-orang yang melakukan kekerasan terhadap perempuan pegawai KPK yang menjadi peserta tes.

Untuk itu, Gerak Perempuan dan KOMPAKS yang diwakili Prilly, Ajeng, Jessica dan Naila  menuntut kepada Pimpinan KPK untuk membatalkan evaluasi yang dilakukan berdasarkan hasil tes ngawur semacam ini. Lalu kepada Dewan Pengawas KPK memberikan sanksi berat kepada Ketua KPK dan Pimpinan KPK yang membentuk peraturan Komisi KPK dan melakukan tes ini serta pihak-pihak yang menjalankan tes ini.

Selanjutnya kepada semua pihak menjamin kemanan dan perlindungan identitas dari para peserta tes yang diharuskan menjawab pertanyaan-pertanyaan tidak etis, seksis, rasis dan diskriminatif.

Kepada Presiden Joko Widodo untuk membatalkan proses dan menganulir Tes Peralihan ASN tersebut yang terbukti melakukan pelecehan terhadap Pegawai KPK dan melampaui wewenang dan menerbitkan Keppres pengangkatan pimpinan KPK untuk menindak Pimpinan KPK yang melakukan pelecehan terhadap Pegawai KPK peserta tes melalui Asesemen Wawasan Kebangsaan

Kepada Pemerintah dan DPR untuk mencabut UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi karena pengesahan UU tersebut justru semakin menghancurkan pemberantasan korupsi di Indonesia, dan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

Bersamaan dengan rilis ini, Gerak Perempuan dan KOMPAKS membuka posko aduan untuk memastikan pemenuhan hak perlindungan dan pendampingan korban.

Aduan dapat dilaporkan melalui email kompaks@protonmail.com dengan subjek: “Aduan Tes Alih Status Pegawai KPK”. Kerahasiaan dan keamanan identitas pelapor dijamin selama proses pengaduan berlangsung. Posko aduan dibuka dari 7 Mei 2021.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!