Trend Tradwife Apakah Cocok untuk Hidupmu? Bagaimana Feminisme Melihat Ini

Kamu pernah dengar istilah Tradwife? Ini adalah kepanjangan dari ‘Traditional Wife’ dimana mengacu pada peran tradisional istri dan suami. Suami dianggap sebagai pencari nafkah utama, sementara istri berfokus pada tanggung jawab mengurus rumah tangga. Bagaimana feminisme melihat ini?

Konten tradwife ramai di media sosial tertutama di Tiktok. Seakan memperingati peran gender tradisional, pekerjaan rumah tangga, nilai-nilai keluarga, dan ideologi konservatif. 

Konten ini menampilkan aktivitas seperti memasak, bersih-bersih, mengasuh anak, dan mendekorasi rumah, yang mewujudkan gaya hidup tradwife.

https://bahasa.newsbytesapp.com/ menulis bahwa istilah “tradwife” adalah singkatan dari “traditional wife (istri tradisional)”, dan biasanya merujuk pada seorang perempuan yang menganut pendekatan tradisional dalam pernikahan dan kehidupan keluarga, seperti laki-laki pencari nafkah utama dan perempuan bekerja secara domestik di rumah.

Jika kamu mengetikkan di TikTok akun Estee William, kamu akan menemukan contohnya. Dia adalah seorang influencer TikTok asal Virginia yang mengakui dirinya sebagai Tradwife. 

“Life as a traditional wife,” begitu tulisnya di bio sosial media. 

Setiap pagi, Estee mulai mengenakan gaun vintage era 1950-an. Ia merias wajah dan menata rambut pendek bob-nya. Perempuan usia 25 tahunan itu, akan berfokus seharian mengurus pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan bersih-bersih. 

“Ini tahun 2023 dan ini (Trad Wife) adalah pilihan saya,” kata Estee dikutip TODAY. 

Estee dengan suaminya, Conner Williams baru saja menikah di awal tahun 2023. Mereka bertemu di sekolah menengah dan mulai berkencan dua tahun lalu. Saat Estee masih mahasiswa tahun kedua jurusan Meteorologi. 

Mereka kemudian merasa terikat pada nilai-nilai agama dan keinginan bersama untuk menikah dengan peran gender ‘tradisional’. 

Baca Juga: Bersama Berperan, Bukan Adu Kekuatan: Yuk, Ikuti Diskusi Seru Komitmen Berpasangan

Dalam keseharian, Estee bilang, mereka berdua percaya bahwa suami harus mengambil keputusan akhir dalam pembelian finansial dalam jumlah besar. Mereka berbagi rekening bank bersama dan masing-masing punya kartu debit sendiri. Estee tidak berkonsultasi dengan Conner ketika dia menarik uang untuk belanja. Kecuali, di atas USD 100. 

“Saya mendahulukan keinginan suami saya di atas keinginan saya sendiri, dan ini tidak menghasilkan apa-apa selain menguntungkan diri saya sendiri dan pernikahan saya,” ujar perempuan yang dibesarkan oleh seorang single mom.

Dalam sebuah wawancara dengan TODAY, dia menyebut termotivasi menjadi Tradwife lantaran masa kecilnya yang “kurang baik” dengan ibu tunggal yang berjuang setelah orang tuanya bercerai. Ibunya bekerja dan kemudian pulang ke rumah masih harus mengerjakan pekerjaan domestik dan mengurus anak.

“Saya melihat (dia) stres dan kelelahan dan saya selalu tahu bahwa saya tidak menginginkan hal itu.”  

Estee dan Conner saat ini belum punya anak. Namun, mereka tahu bagaimana ingin membesarkan anak-anaknya di masa depan. 

“Putra kami akan belajar cara membuat mobil dan membuat serta memperbaiki sesuatu. Putri kami akan belajar cara memasak, membersihkan, dan merawat rumah.”  

Sejumlah tulisan menyebut bahwa kalangan tradwife adalah kalangan yang setuju dengan nilai konservatif, tidak inklusif dan tidak feminis karena bisa melanggengkan nilai-nilai patriarki.

Mengenal Tradwife

Elise Sole dalam ‘Traditional Wives Tradwives Controversy Tiktok’ menyebut, istilah Trad Wife, merujuk pada seorang perempuan yang menganut ‘pendekatan tradisional’ dalam pernikahan dan kehidupan keluarga. Walau konsep ini dapat sangat bervariasi dalam arti dan praktiknya tergantung pada kepercayaan individu dan konteks budaya. 

Karakteristik umum gagasan Tradwife ini, seringkali dikaitkan dengan seseorang yang mengikuti peran gender “konvensional”. Dimana suami dianggap sebagai pencari nafkah dan penyedia utama, sementara istri berfokus pada tanggung jawab mengurus rumah tangga. 

Tradwife digambarkan sebagai ‘zaman keemasan Amerika’. Beberapa, tapi tidak semua, Tradwife ini mengenakan pakaian yang terinspirasi tahun 1950-an. Baik itu tampilan gaun ataupun rambut dengan potongan retro. 

Profesor Psikologi di Otterbein University di Ohio, Noam Shpancer menyebut, tren Tradwife yang muncul dan mendapat banyak atensi di Tiktok ini, sebagai reaksi terhadap liberalisasi sistem kepercayaan di Amerika secara keseluruhan. 

Dia mengutip, sebuah studi di Universitas New York pada tahun 2021 menemukan, setiap generasi baru cenderung lebih berpikiran terbuka dibandingkan generasi sebelumnya dalam hal ras, seksualitas dan gender. 

“Setiap kali ada perubahan sosial, tidak semua orang akan senang,” kata Shpancer via TODAY.  

Tren Tradwife ini disebutkan juga berkaitan dengan gerakan alt-right di media sosial melalui tagar umum seperti #FeminismSucks, #ConservativeWomen, #TwoGenders dan #DomesticDiscipline. Seringkali hashtag ini menyertai sejumlah meme-meme zaman dulu yang memperlihatkan ibu rumah tangga tersenyum saat menyortir cucian dan menyajikan makan malam. 

Baca Juga: Sayangi Istri tanpa KDRT, Kamu Pasti Bisa!

Namun, tidak semua Tradwife adalah kelompok sayap kanan di Amerika. Shpancer menyebut, alasan lain munculnya gerakan Tradwife adalah keinginan untuk mundur dari masyarakat yang menawarkan begitu banyak pilihan hidup. 

Dia mencatat, kebebasan yang berlebihan dapat menimbulkan kecemasan bagi banyak orang. “Manusia membutuhkan struktur dan kejelasan agar berfungsi dengan baik dan agar menjadi koheren (keselarasan),” kata Shpancer. 

Jika dirunut lagi ke tahun 1950-an, adanya Tradwife kala itu, sebenarnya juga gak lepas dari kondisi sosial ekonomi bahkan politik di masa itu. Pada 1950-an di barat, situasi laki-laki kelas menengah bisa dikatakan lebih “mapan” dibandingkan era kini. 

Mereka banyak yang memiliki lebih banyak waktu liburan, jam kerja pendek, program pensiun lebih baik dan gaji yang lebih menjanjikan. Sementara, rata-rata perempuan lulusan perguruan tinggi yang bekerja penuh waktu sepanjang tahun mendapatkan penghasilan lebih rendah dibanding laki-laki. 

Kebanyakan Tradwive mengatakan, mereka bahagia menikah dengan laki-laki yang menghormati peran mereka sebagai ibu rumah tangga. Di satu sisi, mereka juga menegaskan bahwa keputusan pribadi mereka tidak dimaksudkan mendikte atau mempermalukan perempuan lain. 

Namun, ada persoalan yang diungkapkan oleh Profesor Psikologi di Universitas Nevada, Las vegas, Rachael D. Robnett. Dia mengingatkan bahwa ada struktur sosial kita yang masih memberi laki-laki kekuasaan dan status yang lebih besar dibandingkan perempuan. 

“Menempatkan perempuan sebagai prioritas kedengarannya bagus di permukaan, namun hal ini dapat merugikan hak pilihan mereka (perempuan),” ujar Rachael. 

Baca Juga: Survei Konde.co: Apa Peran Ayah Dalam Imunisasi Anak? Imunisasi Bukan Hanya Urusan Ibu Tapi Juga Ayah

Rachael mengajak untuk merefleksikan struktur sosial yang lebih luas. Bagaimana situasi perempuan yang masih dibelenggu ketimpangan gender dalam berbagai aspek. Perempuan juga masih banyak yang jadi korban kekerasan dan diskriminasi. 

Stephanie Coontz, Direktur Penelitian dan Pendidikan Publik di Olympia, Washington mengatakan bahwa tiap pasangan keluarga memang perlu menentukan jalannya sendiri. Namun, Ia memperingatkan, tren sosial media Tradwife ini bisa jadi ada dampak bahaya bagi inklusivitas. 

Dia sangat mengkhawatirkan jika orang-orang yang tergabung dalam gerakan ini, meyakinkan perempuan-perempuan muda bahwa mereka bergantung pada pencari nafkah laki-laki bisa menyelesaikan rasa frustasi terhadap pekerjaan. Tanpa mempertimbangkan risiko bahwa laki-laki mungkin saja kehilangan pekerjaan, meninggal lebih awal atau menelantarkan mereka. 

“Hal ini tidak ada hubungannya dengan pilihan, melainkan hanya angan-angan saja,” ujar Coontz. 

Tradwife Tak Realistis? 

Untuk memahami Tradwife dalam konteks yang lebih dekat di Indonesia, serta apakah ini cukup relevan atau sebatas angan-angan yang muncul di sosial media? Lalu, bagaimana kaitannya tradwife ini feminisme seperti yang banyak warganet katakan bertentangan dengan feminisme?

Konde.co ngobrol bareng aktivis perempuan dari Padepokan Perempuan GAIA, Myra Diarsi soal tradwife ini. 

Menyoal tradwife termasuk dari konten-konten yang dimunculkan Estee William, Myra Diarsi berpendapat, tradwife ini bukanlah sebuah diskursus (gagasan) termasuk feminisme yang baginya adalah perjuangan kesetaraan dan melawan ketertindasan. Melainkan hanya sebatas konten sosial media yang berupa angan-angan. 

“Konsep atau lemparan (tren) tradwife ini nggak ada hubungannya sama feminisme, tidak ada. For me feminisme itu nilai, keadilan, kesetaraan, cara itu hidup itu feminisme,” kata Myra saat berbincang dengan Konde.co melalui sambungan telepon, Rabu (4/9).   

Myra menilai, apa yang ditunjukkan oleh Estee yang mendaku diri sebagai tradwife adalah euforia belum lama menikah yang ditunjukkan sebagai konten di sosial media. 

“Lagi senang-senangnya dandan, menghabiskan waktu (domestik–red) segala macam, terang saja itu euforia.”

Sejalan dengan pengakuan Estee bahwa motivasinya menjadi tradwife karena cerita hidupnya, Myra bilang menjadi tradwife bagi Estee sebagai angan-angan yang dia damba. 

It’s really euphoria dan suatu hal yang mungkin mimpi (angan-angan) yang khusus dia sebagai anak muda yang mungkin, tidak diperoleh ketika dia kecil,” lanjutnya.  

Baca Juga: Aktivis Perempuan Kecam Pernyataan Atta Halilintar Soal “Suara Suami dari Tuhan”

Dia menambahkan, gerakan (movement) sebagai tradwife yang muncul di sosial media itu memang sebagaimana asalnya, begitu Barat (western). Konteks di Amerika, pasangan rumah tangga relatif sedikit yang menggunakan pekerja rumah tangga (PRT). 

Satu lagi yang jadi sorotan, pada tradwife itu tampak pula adanya isu kelas. Bahwa perempuan yang bisa memilih tidak bekerja dan tinggal di rumah adalah mereka yang relatif sudah berkecukupan. Dia bisa mengandalkan satu sumber pendapatan dari pasangan atau memang punya privilese secara ekonomi.

“Di sini matters banget resources, kalau ucapan di-launch bahkan dijadikan movement untuk orang-orang middle up class yang bisa survive dengan situasi ekonomi yang makin sulit seperti ini, tapi mereka bisa survive hanya dengan one resources,” katanya.  

Jika ditelisik, Estee William sebagai tradwife, kita juga bisa melontarkan pertanyaan, bukankah dengan menjadi influencer sosial media dia juga sedang bekerja? Di samping, pekerjaan domestik yang dilakukan pasangan itu sebenarnya adalah pekerjaan yang bernilai.

“Memang pekerjaan influencer kan post truth. Gak peduli benar atau salah, gak ada verifikasi-verifikasi. Kontekstual atau nggak, nyambung atau nggak. Pokoknya punya ide, ada konsepnya, seolah-olah (nyata) dia posting,” sambungnya. 

Di konteks Indonesia, menurutnya tidak ada relevansinya istilah tradwife (traditional wife). Sebab kehidupan perempuan (istri) zaman dulu di Indonesia pun, jika mau diartikan tradisional, tidak gerakan tradwife yang muncul lagi –di sosmed barat— sekarang. 

“Kalau ibu-ibu yang tradisional itu, sebetulnya decision making tentang keluarga sebetulnya banyak dilakukan ibu.”

Baca Juga: Jika Dia Sudah Menguasaimu, Lupakan Saja

Meskipun, pengambilan keputusan di ranah sosial dan publik masih didominasi pada laki-laki. Seperti saat pertemuan adat atau kampung yang suaranya diwakili laki-laki. Sementara perempuan yang akan memegang dan menjadi simbol kebudayaan. 

Berkaca dari gerakan tradwife yang jadi perbincangan di sosmed ini, Myra mengajak anak muda untuk lebih berpikir kritis dan realistis. Jangan mudah terprovokasi atau ikut-ikutan (FOMO). 

“(Jangan pilih–red) Daya tarik visualnya ketimbang isinya, terus ikut-ikutan FOMO. Kamu punya rasa, emosi, rasio. Coba naikkan lagi rasionalnya,” pungkasnya. 

(Sumber Gambar: Fairer Disputations)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!