5 Hal Buruk Yang Dialami Jurnalis Perempuan: Riset AJI Lampung

Survei yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung menemukan 5 fakta buruk menjadi jurnalis perempuan, yaitu stress, pelecehan seksual, dan tak dapat cuti hamil

Alfanny Pratama, Koordinator Polling AJI Bandar Lampung menceritakan, survei itu berawal dari kegelisahan dari jurnalis perempuan di Lampung: mendapat ancaman pembunuhan, jam kerja lebih dari 8 jam sehari, hingga kekerasan seksual. Maka Alfanny kemudian melakukan survei atas temuan ini

Bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung, Alfanny kemudian meluncurkan hasil riset berjudul “Potret Kusam Jurnalis Perempuan di Lampung”.

“Ini sebenarnya survei awal dari kami, sebelum kami masuk ke penelitian yang lebih mendalam. Mulanya itu dari kejadian tahun lalu, saat seorang jurnalis perempuan mendapat ancaman pembunuhan, waktu itu dia dibilang, ‘sudahlah kamu beritakan yang baik saja, daripada inalillahi’. Peristiwa itu mendatangkan trauma. Lalu teman-teman jurnalis perempuan juga sering menyampaikan kalau mereka mengalami kekerasan seksual waktu kerja. Atas dasar itu, akhirnya kita membuat survei,” ujar Alfanny saat dihubungi Konde.co, Senin (24/5/2021).

AJI Bandar Lampung melakukan riset sejak tanggal 1 sampai 16 Mei 2021 dengan menggunakan kuesioner daring. Responden dari survei AJI Bandar Lampung berjumlah 30 jurnalis perempuan aktif dari berbagai jabatan struktural seperti reporter (21 jurnalis), redaktur (4 jurnalis), editor (2 jurnalis), manager produksi (2 jurnalis), dan pemimpin redaksi (1 jurnalis). Responden survei memiliki beragam lama kerja yakni 0-2 tahun (13 responden), 3-4 tahun (3 responden), 5-7 tahun (5 responden), 8-10 tahun (3 responden), dan lebih dari 10 tahun (6 responden). Para partisipan juga memiliki beragam status kerja di perusahaan media seperti karyawan tetap (14 orang), kontrak (12 orang), kontributor (1 orang), dan lainnya (3 orang).

Berikut 5 hal buruk yang dialami jurnalis perempuan menurut hasil penelitian AJI Lampung:

1.37,9 Persen Jurnalis Perempuan Menerima Upah di Bawah Upah Minimum Provinsi

Saat ini, Provinsi Lampung memiliki Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar Rp2.432.001. Namun, berdasarkan hasil survei dari AJI Bandar Lampung ditemukan adanya 10 jurnalis yang menerima gaji dalam rentang Rp1 juta sampai Rp 2,3 juta, bahkan 1 responden mengungapkan bahwa mereka menerima upah kurang dari Rp1 juta setiap bulan. Artinya, ada 37,9 persen responden jurnalis perempuan yang upahnya masih di bawah UMP.

Dalam survei tersebut, 13 jurnalis perempuan lain memiliki upah sebesar Rp2,4 juta sampai Rp3,7 juta; 4 jurnalis perempuan memiliki upah sebesar Rp3,8 juta sampai Rp5 juta dan dua jurnalis perempuan lainnya menerima upah lebih dari Rp5 juta per bulan.

Selain upah jurnalis yang masih di bawah UMP, jurnalis perempuan di Lampung juga tak memiliki jaminan kesehatan yang memadai. Ini terlihat dari hasil survei yang menemukan bahwa hanya 20 jurnalis perempuan yang mendapatkan jaminan kesehatan, sedangkan 10 jurnalis lainnya tidak memiliki jaminan kesehatan dari perusahaan tempat mereka bekerja. Jaminan ketenagakerjaan pun masih rendah, sebab hanya 17 jurnalis perempuan yang mengaku memiliki jaminan ketenagakerjaan, sedangkan 13 sisanya tidak memiliki jaminan ketenagakerjaan dari kantor mereka bekerja.

Bukan hanya tak memiliki jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan, 5 orang jurnalis perempuan dalam survei ini juga mengatakan bahwa mereka tidak memiliki jenjang karir di tempat mereka bekerja. 10 jurnalis perempuan dalam survei tersebut juga mengaku bahwa mereka tidak mendapatkan peningkatan kompetensi atau pelatihan dari perusahaan tempat mereka bekerja.

Hasil survei ini menunjukkan bahwa jaminan kerja jurnalis perempuan di Provinsi Lampung masih jauh dari kata layak. Upah yang murah, minimnya jaminan kesehatan, dan minimnya jaminan ketenagakerjaan pada jurnalis perempuan menunjukkan rendahnya kesejahteraan bagi jurnalis perempuan. Padahal kesejahteraan bagi pekerja media sangat penting untuk mendukung iklim pers yang bersih dan independen.

2.Hak Cuti Hamil Bagi Jurnalis yang Terabaikan

Hal penting lain yang menjadi catatan dalam penelitian yang dihimpun oleh AJI Bandar Lampung yakni pengabaian perusahaan media terhadap hak cuti dari jurnalis perempuan.

Dalam survei ini, ada 14 jurnalis yang pernah hamil dan hanya 13 jurnalis perempuan yang mengatakan bahwa mereka mendapatkan cuti hamil dari perusahaan tempat mereka bekerja. 1 responden dalam survei ini menyebut bahwa Ia tak mendapat cuti hamil dari perusahaannya.

Kepada Konde.co, Koordinator Polling AJI Bandar Lampung, Alfanny mengatakan bahwa satu orang jurnalis perempuan yang tidak mendapat cuti hamil dari perusahaannya memiliki status ketenagakerjaan sebagai pegawai tetap.

Padahal berdasarkan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur bahwa cuti hamil diberikan selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Jika jurnalis perempuan tidak diberi cuti hamil oleh perusahaan tempatnya bekerja, artinya perusahaan tersebut telah melanggar UU Ketenagakerjaan yang berlaku.

3.Eksploitasi Kerja Terhadap Jurnalis Perempuan

Di perusahaan tempat jurnalis perempuan bekerja, 22 jurnalis perempuan di Lampung mengaku pernah mendapatkan pekerjaan tambahan dari kantornya. Namun dari angka tersebut hanya 12 jurnalis perempuan yang mengatakan bahwa mereka mendapat upah tambahan, sedangkan 10 responden sisanya tidak menerima upah tambahan. Beban kerja yang tinggi bagi jurnalis perempuan ini menjadikan mereka rentan terkena stres. Dalam penelitian tersebut, 26 dari 30 jurnalis perempuan mengaku pernah mengalami stres karena bekerja.

AJI Bandar Lampung mencoba menelisik lebih dalam antara beban kerja dan performa kerja. 8 orang jurnalis perempuan memilih setuju bahwa beban kerja yang tinggi menjadikan jurnalis sering salah ketika bekerja, 1 orang menyatakan sangat setuju, 9 orang mengatakan netral, dan 11 orang menjawab tidak setuju. Alfanny mengatakan bahwa beban kerja yang tinggi ini membuat jurnalis sering salah memahami instruksi dari redaksi.

Selain berdampak pada kekeliruan, 10 jurnalis perempuan mengatakan setuju dan 1 jurnalis perempuan mengatakan sangat setuju bahwa beban kerja yang tinggi ini berdampak pada kesehatan mental mereka. 15 orang responden mengatakan setuju dan 11 orang menjawab sangat setuju bahwa liburan menjadi solusi agar para jurnalis perempuan tidak mengalami stres ketika bekerja.

4.Diskriminasi Dirasakan Oleh Jurnalis Perempuan

Diskriminasi ketika bekerja masih dialami oleh jurnalis perempuan. Dalam survei yang dilakukan oleh AJI Bandar Lampung, 5 orang responden mengatakan bahwa mereka masih mengalami diskriminasi di tempat kerja dan 9 orang jurnalis perempuan mengalami diskriminasi saat liputan.

Selain diskriminasi, 2 orang jurnalis perempuan yang menjadi responden dalam survei tersebut juga mengatakan bahwa perusahaan tempat mereka  bekerja tidak demokratis dan 7 orang lainnya berpendapat netral.

5.Ancaman Kekerasan, Termasuk Kekerasan Seksual yang Mengintai

Temuan lain yang patut menjadi perhatian dalam survei yang dihimpun oleh AJI Bandar Lampung yakni ancaman kekerasan yang mengintai para jurnalis perempuan. Kekerasan itu tak hanya berupa kekerasan fisik dan verbal saja, tapi juga kekerasan seksual. Ada 2 orang jurnalis perempuan yang pernah mendapatkan kekerasan fisik saat melakukan peliputan. 

Ancaman kekerasan lain yakni 2 orang responden dalam survei mengaku bahwa mereka pernah mengalami pelecehan seksual secara verbal dan fisik di perusahaan mereka bekerja; dan 11 orang jurnalis perempuan mengaku bahwa mereka pernah mengalami pelecehan seksual secara verbal dan fisik saat melakukan peliputan.

Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa ruang redaksi dan iklim kerja jurnalis masih belum aman bagi jurnalis perempuan

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!