Blackpink, BTS Dan Drakor: Fandom Jadi Bagian Dari Gerakan Sosial Di Indonesia

Gelombang Korea atau Korean wave yang populer di Indonesia, pada akhirnya membuat banyak orang mengenali dan mengadopsi budaya Korea, termasuk bahasa, gaya berpakaian, maupun kulinernya. Apakah yang dilakukan para fandom ini apolitis? ternyata tidak, fandom bisa menjadi bagian dari gerakan sosial

Budaya populer dari Korea Selatan telah menyebar luas di masyarakat Indonesia dalam berbagai bentuk – dari drama korea di Netflix hingga karya dari grup musik K-Pop.

Gelombang Korea atau Korean wave ini pada akhirnya membuat banyak orang Indonesia mengenali dan mengadopsi budaya Korea, termasuk bahasa, gaya berpakaian, maupun kulinernya.

Selain itu, muncul juga basis pendukung atau ‘fandom’ berbagai grup musik tersebut – termasuk BTS dan Blackpink – yang dikenal loyal, memiliki fanatisme yang tinggi, dan tidak jarang terlibat aktivisme politik.

Di Amerika Serikat (AS), misalnya, penggemar K-Pop termasuk basis supporter BTS, yang dikenal sebagai Army, menenggelamkan tagar #WhiteLivesMatter yang mencoba melawan kampanye anti-diskriminasi rasial, dan berpura-pura mendaftar tiket kampanye Donald Trump supaya acara miliknya sepi.

Beberapa saat lalu di Indonesia, fanatisme BTS Army sempat viral di Twitter dengan ramainya pesanan ‘BTS Meal’ – menu kolaborasi McDonalds dan BTS.

Untuk memahami gencarnya Korean wave ini di Indonesia, kami ngobrol dengan Wisnu Prasetya Utomo, dosen ilmu komunikasi di Universitas Gadjah Mada (UGM).

Wisnu yang juga merupakan penggemar Blackpink ini menjelaskan berbagai hal termasuk strategi ekspor kebudayaan Korea Selatan, pengalamannya mengikuti drama korea sejak 2005, hingga aktivisme politik dari fandom K-Pop.

Wisnu Prasetya Utomo menyatakan bahwa popularitas Korean wave ini tak bisa lepas dari industri budaya pop Korea yang memang dipopulerkan oleh pemerintah Korea Selatan di pertengahan tahun 1990-an, dan menjadi strategi kebudayaan pemerintah yang dipersiapkan secara serius dengan regulasi dan strateginya. Maka wajar jika di tahun-tahun sekarang, Korean wave bisa diterima dimana-mana

“Banyak di create oleh pemerintah secara soft power….ada political will dari pemerintah yang membuat ekosistem keseniannya menjadi maju,” kata Wisnu Prasetya Utomo

Percampuran budaya lokal dan global Korean wave ini menjadi budaya baru yang mudah diterima. Orang barat bisa mengenal wajah Asia yang eksotik di Korean wave ini, dan orang Asia seperti Indonesia juga bisa menerima karena adanya unsur kedekatan sama-sama dari Asia

“Kedekatan budaya mendekatkan kita dengan budaya populer di Korea, dari drama Korea, K-pop, dll itu.”

K-pop ini juga kemudian menjadi counter culture mendobrak anggapan bahwa laki-laki itu harus ganteng, padahal di K-pop, laki-laki itu cantik, jadi K-pop kemudian mendobrak batasan-batasan ini.

Banyak yang menanyakan bagaimana K-pop bisa masuk dengan mudahnya dan cepat diterima? Wisnu Prasetya menyatakan, selama ini ada banyak cara orang masuk ke gelombang Korean Wave, ada yang ikut-ikutan, ada yang suka karena terkena banyak terkena terpaan media.

“Misalnya saya senang dengan Blackpink karena terkena terpaan media….proses mendalami inilah membuat proses radikalisasi seseorang.”

Fandom ini seperti halnya fans yang lain, awalnya memang bergerak karena mengidolakan idolanya, jadi mereka bergerak karena kebutuhan identitas, para fandom juga dengan senang hati membeli album, mengusahakan bagaimana caranya agar idolanya tetap menjadi nomer satu.

“Kegilaan ini muncul karena idol….memberikan identitas yang tak ditemukan di tempat lain. Sosial media kemudian memberikan aspek kampanye ini. Maka kemudian ada yang menyebarkan streaming musiknya, beli tiket mahal, beli merchandise, penggalangan donasi, dll.”

Yang dilakukan fandom tak jauh beda dengan penggemar musik, fans penyanyi atau fans bola karena semua berdasarkan idol yang diidolakannya

Pandangan negatif soal fandom

Namun Wisnu Prasetya tidak setuju dengan anggapan negatif yang selama ini melekat pada fandom. Selama ini memang banyak stereotype yang dilekatkan pada fandom. Fandom disebut sebagai orang yang apolitis, orang yang pasif di industri budaya populer, irasional, bodoh, padahal menurut Wisnu Prasetya ini merupakan cara pandang lama yang harus diubah

“Misalnya Stuart Hall melihat bahwa fans itu punya kekuatan dan punya tindakan aktif seperti melakukan donasi, menanam pohon, jadi ini adalah tindakan mereka yang wajar. Fans itu bukan apolitis, tapi mereka sudah terlibat dalam gerakan sosial.”

Sebagai contohnya, Army atau fandom BTS selama ini telah banyak terlibat dalam kampanye RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, namun di gerakan sosial gerakan Army ini ternyata belum diterima secara meluas, ini disebabkan karena masih banyak orang yang berpandangan lama seperti fandom yang hanya ikut-ikutan, nge-pop dan apolitis. Dalam BTS Meal kemarin, Army juga disalahkan.

“Pandangan ini yang harus diubah, mereka otonom, mereka bergerak dan bisa diajak kerja bareng…fandom bisa bergerak secara mandiri misalnya dalam persoalan hutan, merayakan ulangtahun idolnya menanam pohon, jadi ada yang tanya mana nih suara anak-anak K-Pop, padahal banyak sekali yang sudah mereka lakukan.”

Aktivisme fans di Indonesia memang kini menjadi lebih besar ketika ada Korean wave dan dibesarkan di media sosial, maka kemudian banyak yang membicarakannya, ini tak beda jauh dengan fans yang suka sepak bola, bulutangkis, dll

“Pertanyaannya apakah ini akan menjadi industri budaya populer atau apa, maka ini yang bisa dijawab negara atau publik secara meluas atas situasi ini.”

Wisnu Prasetya menyatakan, aktivitas fandom bisa menjadi modal yang baik dalam gerakan sosial di Indonesia

(Foto: Wikipedia)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Luthfi T. Dzulfikar

Associate Editor The Conversation.com
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!