Dianggap Cengeng dan Tak Rasional; Labeling Untuk Perempuan

Labeling sebagai orang yang cengeng dan tak rasional selalu disematkan pada perempuan, ini sudah terjadi pada buku-buku bacaan sejak zaman dulu. Labeling seperti ini selalu menyesatkan pemikiran tentang perempuan

Buat saya, ini adalah kalimat-kalimat yang menyesatkan yang sudah saya dengar sejak saya kecil:

“Perempuan itu tidak bisa mandiri, selalu tergantung sama laki-laki.”

“Perempuan itu lemah, laki-laki kuat”

Kita sering dengar stereotype atau labeling negatif yang disematkan pada perempuan yang masih dilakukan oleh masyarakat dimanapun.

Label yang disematkan pada perempuan adalah: perempuan selalu cengeng, tidak rasional, pemalu, lebih banyak berpikir menggunakan perasaan dan tidak logis. Ini yang selalu disematkan pada perempuan.

Inge Broverman, seorang feminis mengatakan bahwa label ini kemudian dikaitkan dengan ciri pribadi dan menjadi sangat luas cakupannya. Sifat yang baik cenderung dilekatkan pada laki-laki, sedangkan yang buruk dilekatkan pada perempuan.

Labeling juga disematkan pada laki-laki, namun label pada laki-laki seperti dituliskan Inge Broverman, selalu mengacu pada kebaikan atau hal-hal baik seperti: laki-laki itu punya sifat pemberani, kuat, rasional, mandiri, tidak boleh cengeng, selalu menggunakan logika

Label ini tidak hanya berlaku terhadap perilaku atau cara berpikir, namun juga cara berpakaian, jenis pakaian, warna, motif, pekerjaan, peran, dari kita kecil dan dari bacaan-bacaan sekolah yang kita baca

Walaupun pembedaan stereotype ini tidak hanya merugikan perempuan saja, tetapi kadang juga pada laki-laki yang tidak sesuai dengan stereotype masyarakat sebagai laki-laki yang macho juga dirugikan.

Laki-laki yang tak macho akan menjadi bahan bullying teman-temanya dengan mendapatkan label yang bermacam-macam. Misal anak laki-laki yang pendiam dan tidak suka aktivitas fisik, maka ia akan dianggap kurang maskulin atau macho. Sering mendapat olok-olok banci, atau tidak jarang menjadi sasaran kekerasan teman-temannya karena dianggap kurang macho.

Begitu juga dengan perempuan yang gagah perkasa, tinggi dan keras dianggap tidak feminine. Para perempuan ini juga sering menjadi korban bullying. Ada yang beranggapan bahwa perempuan yang sering memakai pakaian celana jeans dan kemeja atau tidak memakai rok dianggap tidak feminim atau tidak anggun. Atau laki-laki yang menggunakan pakaian berwarna pink atau bercorak bunga sering dianggap feminine bahkan disangka gay atau banci.  

Cara-cara ini kemudian yang banyak diterapkan di lingkungan kita. Kita bisa lihat bagaimana anak-anak diajarkan membully pengamen waria misalnya karena dianggap tak sesuai dengan label. Atau kadang pakaian dalam perempuan dijadikan bahan candaan oleh laki-laki yang bisa menyudutkan perempuan. Entah mereka sadar atau tidak, atau mungkin hal itu dianggap biasa dan lucu.

Stereotype ini sebetulnya tidak saja merugikan perempuan tetapi juga laki-laki, walaupun label dan kerugiannya tentu saja lebih banyak dialami perempuan. Misalnya, dalam pekerjaan juga seringkali masyarakat melakukan stereotype. Misalnya ketika melihat laki-laki di rumah merawat anak dan istrinya yang bekerja mencari nafkah, maka hal itu akan dianggap aneh dan tidak pantas.

Atau ketika karir istri lebih tinggi dari suami, seringkali suami merasa tidak nyaman karena diolok-olok teman atau keluarganya. Karena stereotype ini, seringkali perempuan akhirnya mempunyai beban ganda  di dalam rumah tangga. Mereka sama-sama bekerja ke kantor seperti suaminya, namun dia juga harus melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, setrika, membersihkan rumah dan mendidik anak-anak, karena dianggap itu pekerjaan perempuan.

Inilah bahayanya labeling, karena jika dibiarkan akan terus-menerus menjadi sesuatu yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat.

Padahal pilihan-pilihan ini adalah sesuatu yang bisa dipertukarkan setiap saat. Laki-laki juga boleh pakai baju pink, perempuan juga boleh pakai baju biru. Laki-laki juga boleh menangis, perempuan juga boleh terlihat macho. Semua ini bisa dipertukarkan dan bukan hal yang tabu untuk menukarkannya

Gimana ya cara menyelesaikan ini?. Ketika kesempatan dan ruang belajar serta ruang komunikasi yang setara dibangun, setidaknya ini bisa memperkecil labeling-labeling yang disematkan selama ini. Perlu kerja keras, karena lebeling ini sudah dilakukan sejak dulu, dari buku bacaan sejak SD, di lingkungan dan keluarga, sampai sekarang ini.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Poedjiati Tan

Psikolog, aktivis perempuan dan manager sosial media www.Konde.co. Pernah menjadi representative ILGA ASIA dan ILGA World Board. Penulis buku “Mengenal Perbedaan Orientasi Seksual Remaja Putri.”
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!