Jika Mengamen Saja Ditangkap, Lalu Dimana Transpuan Harus Bekerja?

Sahabat saya seorang transpuan, ia kerap ditangkap ketika mengamen. Jika mengamen saja ditangkap, lalu kemana transpuan harus bekerja?

Sahabat saya seorang waria atau transpuan. Namanya Dyah Pitaloka. Tiap hari Dyah selalu mengamen untuk kebutuhan sehari hari. Dalam seminggu ia bisa bekerja selama 5 hari di jalanan dari pagi sampai malam.

Dalam seharian mengamen itu, Dyah bisa mendapat uang Rp. 30 ribu/ harinya. Uang itu ia pakai untuk makan selama 2 hari dan sedikit menabung untuk kontrak rumah

Dyah Pitaloka adalah salah satu pengamen transpuan yang tinggal di Jogja. Ia biasa mengamen di sekitar Candi Prambanan, perbatasan Jogja dan Klaten, Jawa Tengah. Setiap hari Dyah naik motor numpang temannya, kadang naik bus angkutan umum Jarak 10 kilo, tak lumayan jauh.

Tapi tak sekali dua kali ia ditangkap petugas keamanan Satpol PP, nasib memang tak pernah berpihak pada Dyah. Menjadi pengamen jalananpun sulit, padahal ia harus makan dan menabung supaya bisa membayar kontrakan rumahnya di Jogja bersama teman-temannya

Jika menarasikan ceritanya, saya akan mengambil bagian dimana ia dicekal oleh bagian keamanan atau Satpol PP, karena transpuan yang bekerja di jalanan adalah orang-orang yang langganan kena tangkap Satpol PP, padahal mereka adalah pekerja yang menjadikan jalanan sebagai mata pencaharian hidupnya. Sungguh sangat ironi!

Dyah pitaloka suatu hari saya temui ketika ia menceritakan dengan ekspresinya yang humoris. Ironi memang ia masih bisa tersenyum dengan hidupnya ketika mengalami perundungan dikejar Satpol PP. Dyah mengatakan, sebaiknya waria jangan bermasalah dan tetap tersenyum dengan tulus menghadapi dunia ini walau penuh dengan kekerasan.

Setelah selesai bercerita sambil menyelipkan berbagai filosofi hidupnya yang saya suka, saya mulai bertanya: kenapa Dyah begitu bijaksana dan tak marah ya dengan kondisi ini? ia kemudian menceritakan bagaimana ia harus menghadapi Satpol PP di jalan dengan gesit. Pernah ia menghadapi sekitar tiga Satpol PP.  Ketika akan ditangkap, sebelum beradu fisik, Dyah merapal doa dan bergerak cepat. Ia bercerita sambil mentraktir saya minum dan makan lotek di sebuah warung di Jogja. Saya semakin antusias untuk mengetahui ceritanya kembali. Ia dengan gerak cepat bisa mengusir dan menghindar dari Satpol PP. Di masa lain, ia juga pernah berhadapan dengan Satpol PP, ditangkap dan harus ditahan.

Cerita diatas membuat saya kembali membuka ingatan tentang kehidupan waria. Perjuangan identitas waria bukan hanya perjuangan kehidupan sehari hari namun juga perjuangan identitas yang dilakukan hingga masa kini, termasuk didalamnya mencari penghidupan yang layak bagi mereka.

Karena persoalan sosial yang tidak kunjung selesai, banyak transpuan yang tidak mampu mengakses pekerjaan formal. Pekerjaan formal sudah semestinya memberikan kesempatan yang setara untuk kelompok transpuan. namun, memang itu hanya sebatas wacana. Tentu saja ini akan menjadi persoalan psikis. bagaimana mungkin transpuan harus beralih profesi ke bidang yang bukan menjadi minatnya. ini akan menimbulkan rasa ketidakpercayaan diri mereka.

Pengamen adalah profesi yang ditampilkan oleh identitas transpuan. Alasan Satpol PP juga untuk memberantas kemiskinan, artinya Satpol PP masih memandang para transpuan sebagai sumber masalah.

Jika pemerintah kota tidak ingin ada pengemis di jalan maka pemerintah harus memberikan lapangan pekerjaan yang mudah dijangkau oleh rakyat miskin kota. Jika ini tidak dilaksanakan maka pengemis di jalanan akan semakin bertambah, termasuk didalamnya ada transpuan, pengamen dan gelandangan.

Mari kita amati kembali adanya transgender, setiap seniman transgender menampilkan kekaryaan dengan medium bermacam-macam bisa melalui tampilan pertukar peranan gender dengan mengambil duplikasi pakaian bernuansa feminin dan maskulin yang diolah sedemikian rupa. ada yang memakai sulih suara, juga mengambil teknik menghibur dengan alat musik bass betot, ini semua tentu dilakukan melestarikan budaya dan seni.

Mengapa melihat para transpuan tidak dari perspektif ini: mereka adalah orang-orang yang harus mencari penghidupan ekonomi di jalanan? Jika saja mau berpikir seperti ini, maka kita bisa mengalihkan perspektif dari transpuan sebagai orang yang bermasalah ke transpuan yang seharusnya diberikan ruang untuk mencukupi ekonomi.

Jika mereka adalah warga negara yang diminta memilih di saat Pemilu, maka mereka adalah warga negara yang harus diakui kemanusiaannya

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Jessica Ayudya Lesmana

Penulis Waria Autodidak dan Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!