Kongres Perempuan Dari Masa ke Masa: Perempuan Rebut Tafsir dan Dobrak Stigma Lewat Kongres

Bagaimana para perempuan merebut perjuangan melalui gelaran kongres? Konde.co melakukan penelusuran pada sejumlah kongres perempuan yang melakukan pendobrakan atas tafsir dan stigma pada perempuan dari masa ke masa

Konde.co hari ini menyajikan Edisi khusus Hari anti Kekerasan Perempuan yang diperingati Setiap 25 November 2022. Dalam Edisi khusus ini, kami menelusuri sejumlah kongres perempuan dari masa kolonial, reformasi, hingga saat ini

Sejumlah kongres perempuan yang dilakukan di Indonesia selalu menjadi momentum sejarah bagaimana perempuan bersuara, bergerak dan berjuang. 

Ruang kongres juga menjadi ajang untuk merebut tafsir, mendobrak stigma dan meneguhkan perjuangan bersama.

Dalam kongres- kongres perempuan ini, jika dilihat persamaannya, maka dari masa kolonial hingga sekarang, ada sejumlah persamaan atas tujuan perjuangan dalam kongres, seperti: pertama, dalam kongres, muncul perjuangan dan pertanyaan soal mengapa perempuan masih menjadi manusia kelas dua? Perempuan juga dianggap sebagai orang yang harus mengalah, tak bisa menuntut, sulit untuk bersuara. Intinya, kehadiran perempuan masih jadi kelas terendah dalam kehidupan masyarakat dan negara. Maka kongres perempuan selalu menjadi momentum penting untuk menggemakan suara-suara perempuan

Persamaan kedua, yaitu hampir semua kongres perempuan berusaha memperjuangkan isu yang dikonteks kan dengan isu terkini. Artinya setiap kongres, pembahasannya adalah persoalan perempuan yang dikaitkan dengan situasi zaman yang berubah.

Yang ketiga, perjuangan perempuan ini juga tidak pernah sendiri, tidak eksklusif, tapi diselaraskan dengan persoalan bangsa dan kondisi masyarakat. Artinya yang diperjuangkan tidak hanya pada konstruksi sosial dalam masyarakat yang meminggirkan perempuan, tapi juga kebijakan yang berdampak pada perempuan. Perempuan bergerak dalam level kultur dan struktur.

Yang keempat, ada sejumlah isu sama yang dibahas dari kongres ke kongres, antaralain isu perkawinan anak, isu kesehatan reproduksi, lansia, isu buruh dan pemiskinan perempuan, dan isu internasional.

Yang kelima, ada persoalan perempuan yang sulit sekali muncul atau sulit dibahas dalam kongres-kongres perempuan, salah satunya adalah persoalan poligami

Kongres Perempuan dari Masa ke Masa

Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) 2022 yang dilakukan di Semarang dan Jepara pada 23-26 November 2022 misalnya, juga membahas persoalan dan perjuangan perempuan dengan isu terkini dan ada sejumlah isu baru yang dibahas. Isu baru tersebut antara lain isu interfaith, isu pekerja rumah tangga, isu perubahan iklim. Isu internasional dan isu lingkungan masuk dalam pembahasan di kongres, dimana ini menandakan pergulatan, sekaligus relasi antara negara yang juga menjadi pembahasan dalam kongres perempuan pertama.

Walaupun isu buruh merupakan isu yang dibahas dalam setiap kongres, namun isu Pekerja Rumah Tangga/ PRT adalah isu kekinian yang belum pernah dibahas dalam kongres sebelumnya. Karena tafsir ekonomi yang mempekerjakan PRT makin banyak dilakukan di rumah-rumah tangga masa kini, ini mengindikasikan bahwa pembahasan isu perempuan juga menyesuaikan dengan persoalan zaman yang berubah.

Jika menengok sejarah berpuluh tahun yang lalu, saat itu pada 22 Desember Tahun 1928, para perempuan dari Jawa dan Sumatra berkumpul untuk mengadakan kongres perempuan Indonesia untuk pertama kalinya.

Kongres diadakan ketika kehidupan perempuan dalam situasi tak punya kuasa ketika berelasi dengan negara lain di masa penjajahan Belanda. Pada masa itu Indonesia dirundung oleh sejumlah masalah yang cukup pelik. Tak banyak perempuan yang bisa menempuh pendidikan, kebanyakan dari mereka sudah dikawinkan setelah menstruasi pertama, tak punya kedudukan kuat untuk menggugat atas perlakuan sepihak dari kaum laki-laki yang bisa saja setiap saat menceraikan mereka. Kondisi lain, hampir semua perempuan Indonesia kala itu berada dalam kemiskinan karena penjajahan.

Pergerakan perempuan di masa itu telah menunjukkan perjuangan perempuan tidak lagi berkutat pada urusan domestik, tetapi meluas dan beririsan dalam setiap dimensi kehidupan, bagaimana karya dan kiprah perempuan dalam membangun ekonomi yang kuat, karena ekonomi negara tidak akan tangguh tanpa penguatan ekonomi keluarga sebagai pondasi dan pada area inilah perempuan sebagian besar mendedikasikan dirinya untuk kepentingan keluarga dan generasi penerus.

Kongres tersebut diikuti oleh 30 organisasi perempuan dari daerah-daerah di Indonesia. Umi Lasmina dalam Warta Feminis mencatat, kongres dihadiri perwakilan 30 organisasi perempuan dari seluruh Indonesia, di antaranya adalah Putri Indonesia, Wanito Tomo, Wanito Muljo, Wanita Katolik, Aisjijah, Ina Tuni dari Ambon, Jong Islamieten Bond bagian Wanita, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi Sedjati, Poetri Mardika dan Wanita Taman Siswa.

Nama-nama perempuan seperti Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, Sitti Sundari adalah tokoh-tokoh perempuan yang menginisiasi kongres perempuan pertama di Indonesia itu. Kongres ini dibuat sebagai kelanjutan dari Kongres Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Perbedaan Pendapat dan Dinamika Kongres Perempuan 1 

Kongres perempuan juga sangat dinamis dan memunculkan perdebatan-perdebatan, namun kongres perempuan pertama memunculkan banyaknya perdebatan ini.

Berbagai topik dalam kongres memunculkan debat dan perbedaan pendapat dari perkumpulan perempuan yang berasal dari berbagai latar belakang agama. Akan tetapi, berbagai perbedaaan itu tidak kemudian mencegah suatu kenyataan yang diyakini bersama, yaitu perlunya perempuan lebih maju.

Dalam kongres ini, para perempuan bertemu dan berkomitmen untuk memperjuangkan keadilan untuk perempuan Indonesia lebih-lebih di bidang pendidikan dan perkawinan. Beberapa isu utama masalah perempuan dibahas pada rapat terbuka. Permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam kongres tersebut antara lain kedudukan perempuan dalam perkawinan, perempuan ditunjuk, dikawin dan diceraikan di luar kemauannya, poligami, dan pendidikan bagi anak perempuan.

Perbedaan pendapat ini terkait isu pokok yang menjadi pembahasan, terutama soal perkawinan dan poligami. Perbedaan pendapat terjadi di antara organisasi-organisasi Islam maupun antara kelompok Islam dan Katolik serta antara organisasi Islam dan organisasi sekuler.

Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama/Tinjauan Ulang mengatakan, Aisjijah tampil sebagai pendukung gigih Islam yang tidak bersedia menghadapi kritik ataupun diskusi mengenai pembaruan yang mungkin dilakukan. Adapun JIBDA dan Natdatoel Fataat bersedia mengusulkan atau mempertimbangkan perubahan-perubahan dalam praktik Islam di Indonesia sehubungan dengan perempuan, walau atas nama versi yang lebih sempurna dari agama mereka.

JIBDA atau Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling adalah cabang perempuan Jong Islamieten Bond. Sementara Natdatoel Fataat dibentuk oleh organisasi Islam Walfadjri. Penguasa Belanda saat itu mencatat bahwa organisasi ini bersifat reformis sosial dan punya hubungan dengan Partai Sarekat Islam.  

Hak-hak perkawinan dibicarakan dalam sejumlah pidato oleh perempuan anggota organisasi yang tidak berlandaskan agama. Seperti pidato R.A. Soedirman wakil organisasi Poetri Boedi Soedjati yang berjudul “Pergerakan Perempuan, Perkawinan dan Perceraian”. 

R.A. Soedirman menegaskan saatnya bagi perempuan untuk merebut hak-haknya sebagai tujuan pokok gerakan. Ia membahas kondisi perempuan yang harus menurut ketika dikawinkan oleh orang tuanya dan harus tunduk pada suaminya yang dapat mencampakkannya kapan saja.

Ia menyoroti posisi perempuan yang tidak memiliki hak menolak, hak bersuara sesuai dengan pendapat sendiri, apalagi hak kawin sesuai dengan kehendak sendiri sebagaimana yang dimiliki laki-laki.

Seperti dikatakannya, “Dalam hal perempuan dan perceraian ini, kaum perempuan sedikitpun tidak mempunyai hak sama sekali dan tidak punya ‘kebebasan’ sedikit pun. Hak kita dalam hal ini cuma hak ‘dikawin’, hak ‘dipilih untuk dinikahkan’ dan ‘hak dicerai’ belaka.” Karena itu menurutnya pendidikan bagi perempuan menjadi hal yang penting. 

Ketiadaan hak perempuan dalam perkawinan juga menjadi perhatian Ny. Djojoadigoeno dari Wanito Oetama dalam pidatonya. Begitu juga dengan pidato Djami dari Darmo Laksmi yang mengecam diskriminasi terhadap perempuan dan membela pentingnya kedudukan ibu. Hal yang sama dapat kita lihat pada pidato Sitti Soendari yang menyinggung hak-hak perempuan dalam perkawinan. Ny. Moegaroemah dari Poetri Indonesia menyerang praktik perkawinan anak-anak dan mendesak para perempuan untuk bersatu melawan kebiasaan yang masih terjadi di banyak tempat tersebut.  

Sementara perempuan dari organisasi yang tidak berbasis agama mengecam praktik perkawinan yang mengabaikan hak-hak perempuan dan praktik perkawinan anak, tidak demikian dengan perempuan dari organisasi Islam. Susan berpendapat tampaknya sebagian besar para peserta dari organisasi Islam enggan bergabung dengan seruan untuk melakukan pembaruan dalam perkawinan.

Hak-hak perkawinan merupakan masalah yang memecah wacana umum antara perempuan dan laki-laki sekuler dengan religius. Organisasi-organisasi Islam tampak bersikap defensif ketika menolak tuntutan kelompok-kelompok sekuler untuk mengadakan perubahan dalam undang-undang perkawinan agar perempuan diakui dan mendapatkan hak-haknya.

Susan mencatat isu tentang poligami menyebabkan timbulnya persengketaan besar dan mengakibatkan pecahnya federasi di pertengahan tahun 1930-an. Federasi-federasi perempuan di Indonesia selalu menyadari bahwa hak-hak perkawinan berpotensi memecah barisan mereka. Untuk itu federasi selalu berusaha meminimalkan topik poligami. Bahkan hingga hari ini situasinya belum banyak berubah.

Ketika Sitti Moendjijah dari Aisjijah membacakan pidatonya yang membela hukum perkawinan Islam, termasuk poligami, hadirin menjadi resah. Ny. Toemenggoeng yang mengamati dan mencatat jalannya kongres melihat anggota Aisjijah bertepuk tangan sedangkan para anggota Wanito Katholiek saling mendekatkan kepala dan sibuk membicarakannya.

Sitti Soendari yang sangat anti praktik poligami menyerang Sitti Moendjijah yang mendukung poligami dan menuduhnya sebagai pembela standar ganda untuk lelaki dan perempuan. Moendjijah menanggapi, sebagai perempuan dia hanya memahami apa yang diperbolehkan dan ia menganggap Sitti Soendari ‘terlalu banyak memandang dunia dengan kacamata merah muda’.

R.A. Hardjodinigrat dari Wanito Katholiek ikut berpendapat dalam perdebatan tersebut dan mengatakan pendekatan Katolik terhadap perkawinan sebagai yang paling sempurna. Selain itu Djami, seorang guru dari Salatiga juga mengecam poligami dalam pidatonya.

Sesudah itu atas permintaan Ny. Goenawan, utusan dari Roekoen Wanadijo, semua pihak menghentikan perdebatan tentang poligami dan hak-hak perkawinan. 

Walaupun perbedaan pendapat diutarakan dengan jelas, selama kongres tidak terjadi keretakan di dalam gerakan. Seperti dikatakan Susan, salah satu hal yang menyolok dalam kongres tersebut adanya tekad para perempuan peserta untuk membentuk federasi demi kepentingan bersama, walaupun ada perbedaan pandangan di antara mereka. 

Rekomendasi Kongres Perempuan pada Tahun 1928 sebesar-besarnya membuktikan bahwa pergerakan perempuan untuk mengawal perubahan berbangsa dan bernegara yang adil dan sejahtera telah dilakukan sejak lama. Perempuan sudah berkontribusi dalam ranah-ranah sosial, ekonomi, politik dan budaya lewat pemikiran dan kerja-kerja dalam pembangunan.

Beranjak dari permasalahan yang diungkap, kongres perempuan pertama tersebut selanjutnya memutuskan:

1.Untuk mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan

2.Pemerintah wajib memberikan surat keterangan pada waktu nikah (undang undang perkawinan) dan taklik (cerai).

3.Diadakan peraturan yang memberikan tunjangan pada janda dan anak-anak pegawai negeri Indonesia

4.Memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki kemampuan belajar tetapi tidak memiliki biaya pendidikan, lembaga itu disebut stuidie fonds

5.Mendirikan suatu lembaga dan mendirikan kursus pemberantasan buta huruf, kursus kesehatan serta mengaktifkan usaha pemberantasan perkawinan kanak-kanak

6.Mendirikan suatu badan yang menjadi wadah pemufakatan dan musyawarah dari berbagai perkumpulan di Indonesia, yaitu Perikatan Perempuan Indonesia (PPI).

Terkait mosi kepada pemerintah, menurut Susan, hal ini menunjukkan bahwa dari awal federasi perempuan yang terbentuk (PPI) telah berani memasuki bidang politik, yaitu dengan mengajukan permintaan kepada pemerintah. Bahkan berani mengambil sikap terhadap perkawinan Islam.  

Perkawinan menjadi subjek penting dalam pembahasan di Kongres perempuan 22 Desember tersebut.

Seorang penulis dan antropolog, Elsbeth Locher Scholten menuliskan bahwa kongres tersebut akhirnya menolak adanya ta’lik atau perceraian dan perkawinan melalui penghulu. Keputusan yang lain, kongres mempertanyakan posisi perempuan terutama dalam hukum Islam terkait poligami dan dalam pendidikan.

Elsbeth juga menggarisbawahi, pada zaman itu perempuan pribumi terutama di Jawa, masih mengalami penindasan karena relasi gender yang tidak setara. Hal ini diperburuk lagi dengan tradisi Jawa yang berkonspirasi dengan sistem kolonial.

Lalu bagaimana cara perempuan mendobrak upaya feodalisme ketika itu? Ternyata gagasan awalnya ialah penolakan terhadap poligami walau dengan banyak sekali perdebatan. Dari gagasan inilah kemudian lahir konsep sederajat relasi antara suami dan istri.

Tantangan Berat Memperjuangkan Hasil Kongres di Masa Orde Baru

Sayangnya, aplikasi atas tuntutan perempuan ini jadi tantangan berat di masa Orde Baru. Karena selanjutnya dalam masa Pemerintahan Soeharto (Orde Baru) peringatan ini kemudian dilanjutkan dalam seremonial-seremonial yang berbeda makna. Peringatan bersejarah ini kemudian dikukuhkan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959 sebagai hari ibu. Frasa “Ibu” dalam nama peringatan ini secara kuat diposisikan sebagai peran domestik perempuan di dalam rumah tangga. Sehingga perayaannya kerap dimeriahkan dengan aktivitas-aktivitas yang memperkuat citra ibu rumah tangga yang sangat domestik antaralain sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas pembinaan keluarga.

Setelah hampir 100 tahun berjalan, tentunya ada banyak juga perubahan diskursus tentang bagaimana memaknai dan menyikapi sejarah tanggal 22 Desember ini.

Isu yang Makin Luas dan Kompleks dalam Kongres KPI 

Di akhir masa kejatuhan Presiden Soeharto di masa Orde Baru, para perempuan yang tergabung dalam Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) tak mau terpuruk dalam semangat Orde Baru. Para perempuan sampai masa kejatuhan Presiden Soeharto melihat, harus ada komitmen yang kuat termasuk perubahan paradigma negara untuk mengembalikan spirit perjuangan perempuan

Para perempuan tak tinggal diam, mereka membentuk Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, disingkat Koalisi Perempuan Indonesia (KPI).

KPI dikukuhkan melalui Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta pada 17 Desember 1998. Koalisi Perempuan Indonesia pertama kali diumumkan berdirinya pada tanggal 18 Mei 1998 oleh sekelompok perempuan aktivis di Jakarta dengan dukungan 75 aktivis perempuan dari berbagai daerah yang menyetujui dibentuknya Koalisi Perempuan Indonesia. Aksi ini merupakan bagian dari gerakan reformasi menurunkan Soeharto.

Kongres Nasional I diadakan di Yogyakarta pada 14-17 Desember 1998 yang dihadiri lebih dari 500 perempuan dari 25 provinsi dan Timor Leste. Kongres menghasilkan AD/ART, program kerja, Deklarasi Yogyakarta, 15  presidium yang mewakili kelompok kepentingan perempuan adat; lansia, jompo dan difabel; profesional; pekerja sektor informal; miskin kota; miskin desa; pemuda, pelajar & mahasiswa; perempuan yang dilacurkan; buruh; janda, perempuan kepala rumah tangga & tidak menikah; anak marginal; petani; nelayan; ibu rumah tangga dan minoritas seksual

Kongres II diselenggarakan pada Januari 14-18, 2005 di Jakarta. Walaupun poligami menjadi perdebatan yang kencang di masa kolonial, namun isu ini tak menjadi bahasan khusus dalam kongres-kongres perempuan berikutnya.

Dan yang penting untuk dicatat adalah, bahwa di masa ini kongres Koalisi Perempuan Indonesia memperjuangkan isu minoritas seksual, ini menunjukkan bahwa kongres ini memperjuangkan hal sensitif dan progresif yang tidak ada dalam kongres-kongres lainnya

Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) sendiri adalah organisasi perempuan yang berjuang untuk mewujudkan keadilan dan demokrasi dengan berpegang teguh kepada nilai-nilai dan prinsip kejujuran, keterbukaan, persamaan, kesetaraan, persaudarian (sisterhood), kebebasan, kerakyatan, kemandirian, keberagaman, non sektarian, non partisan, nir kekerasan, berwawasan lingkungan dan solidaritas pada rakyat kecil dan yang tertindas. Disamping itu, Koalisi Perempuan Indonesia juga menolak segala bentuk diskriminasi berdasar jenis kelamin, kelas sosial, agama, kepercayaan, ras, etnis, gender dan orientasi seksual, warna kulit, bentuk tubuh, kemampuan fisik yang berbeda (diffable), usia, status perkawinan, pekerjaan, pandangan politik, dan perbedaan-perbedaan lainnya, serta merawat lingkungan hidup.

Dinamika dan perbedaan pendapat yang muncul dalam setiap kongres perempuan dari tiap era menunjukkan bahwa perempuan bukanlah identitas yang tunggal. Hal ini kemudian mempengaruhi strategi gerakan yang digunakan masing-masing organisasi perempuan di tiap zaman. 

Berbeda dengan kongres yang berlangsung pada masa kolonial dan pada awal reformasi yang diikuti oleh organisasi perempuan dengan latar belakang yang beragam, KUPI yang berlangsung pasca reformasi diikuti oleh perempuan dan organisasi Islam. 

Namun satu hal yang perlu digarisbawahi adalah kongres menjadi forum bagi perempuan untuk mengupayakan solusi bersama atas permasalahan-permasalahan perempuan dan tantangan-tantangan yang dihadapi di masing-masing zaman.   

Ketua steering Committee KUPI, Badriyah Fayumi dalam pembukaan acara KUPI 2022 yang dihadiri Konde.co pada 24 November 2022 mengatakan, KUPI merupakan ruang perjumpaan dan gerakan para ulama perempuan di Indonesia dalam kultur dan struktur.

Isu Poligami, Isu Minoritas Seksual: Sulitnya Mendobrak Tafsir

Isu poligami merupakan isu yang tak mudah dan tersembunyi yang sepertinya sulit untuk dibahas dalam kongres. Ternyata merebut tafsir agama tak secepat memperjuangkan isu perempuan lainnya. 

Walau paling tidak, kongres perempuan sudah membahas isu yang dianggap sensitif ini, seperti poligami dan minoritas seksual.

Namun sejatinya, isu poligami dan minoritas seksual bukanlah isu milik perempuan, tapi milik laki-laki, milik semua orang. Maka kongres-kongres yang berbeda-yang dihadiri banyak laki-laki, mesti membahas isu ini, dan menjadi rekomendasi yang harus diperjuangkan bersama

(Foto/ image: Freepik)

Anita Dhewy dan Luviana

Redaktur Khusus dan Pemimpin Redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!