Koalisi 18+ Desak KPI Hapus Tayangan Sinetron “Suara Hati Istri” di Indosiar

Koalisi 18+ mendesak Komisi Penyiaran Indonesia/ KPI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk segera menurunkan sinetron mega series Indosiar : “Suara Hati Istri - Zahra” dan segera meminta maaf pada publik atas tayangan yang menggambarkan pelaku kawin anak, pelaku poligami dan pelaku kekerasan seksual terhadap anak

Sinetron mega series yang berjudul “Suara Hati Istri – Zahra” yang di tayangkan di Indosiar setiap hari pada pukul 18.00 WIB diprotes keras oleh para aktivis perempuan yang tergabung dalam Koalisi 18+

Sinetron ini mengisahkan seorang laki-laki dengan tiga istri, dengan istri ketiga yang diperankan oleh artis berusia 15 tahun.  Jika melihat rekaman  yang beredar di Youtube dan Twitter, diceritakan Zahra adalah anak perempuan yang dipaksa menerima pinangan Tirta demi melunasi hutang-hutang orangtuanya. Adegan ranjang di perankan oleh Zahra dan Tirta dalam sinetron tidak etis tersebut, padahal kita bisa melihat usia Lea Ciarachel Fourneaux pemeran Zahra yang masih berumur 15 tahun

Mike Verawati dari Koalisi 18+ mendesak  Komisi Penyiaran Indonesia dan Kementrian Komunikasi dan Informatika untuk menurunkan seluruh episode tayangan siaran dengan judul “Suara Hati Istri – Zahra” ini dan meminta Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak segera melakukan tindakan tegas untuk menyuarakan dan memberikan rekomendasi kuat untuk menarik tayangan sinetron yang dimaksud.

“Tayangan ini mempromosikan perkawinan usia anak, kekerasan terhadap perempuan, dan pelemahan upaya kesetaraan dan keadilan gender dalam keluarga,” kata Mike Verawati

Dikisahkan bahwa “Tirta” yang diperankan oleh Panji Saputra dengan usia 39 tahun adalah seseorang laki-laki  yang kaya raya yang memiliki tiga orang istri dengan berbagai karakter yang dimuat dalam alur cerita. Dimana salah satu istri Tirta dalam sinetron diperankan oleh artis Lea Ciarachel Fourneaux yang memerankan adegan istri berusia 17 tahun. Dalam kisah “Zahra” sinetron ini kemudian mempromosikan poligami dan kekerasan seksual terhadap anak perempuan.

“Program sinetron ini terkesan ingin memberikan kesan pada publik bahwa perkawinan anak sah-sah saja dilakukan, termasuk menjadi pelaku poligami dan pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Dengan menayangkan siaran tersebut dalam salah satu program sinetron mega series, Indosiar juga semakin mempopulerkan para pelaku perkawinan anak, pelaku poligami dan pelaku kekerasan seksual terhadap anak,” kata Mike Verawati

Sebagai salah satu media yang banyak di gemari masyarakat, khususnya kelompok perempuan dan anak, seharusnya konten yang ditampilkan televisi harus memberi pesan dan pendidikan tentang bahaya perkawinan anak dan bahaya kekerasan seksual terhadap anak.

Lia Anggiasih dari Koalisi 18+ juga menyatakan bahwa tontonan yang ditampilkan seharusnya bisa mendidik dan tontonan yang imajinatif, bukan malah sebaliknya, karena anak dibawah usia 19 tahun seperti yang tertuang pada Undang-Undang Perkawinan No. 16 Tahun 2019 tidak bisa melagsungkan perkawinan.

“Seharusnya pihak rumah produksi, Stasiun TV, agensi atau manajemen artis yang menaungi artis harus lebih selektif dalam menentukan pemeran serta peran yang cocok untuk dilakoni artisnya. LCF seharusnya mendapatkan peran yang sesuai dengan usianya, bukan justru mendalilkan bahwa “Suara Hati Istri – Zahra” sebagai sebuah karya sehingga dilakukan pembiaran,” kata Lia Anggiasih

Dengan kondisi ini, Koalisi 18+ mendesak KPI untuk menurunkan tayangan tersebut. Lalu mendesak Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) mengevaluasi secara menyeluruh program sinetron yang dimaksud dan melakukan proses seleksi scene/bagian sinetron/film yang tidak patut dikonsumsi anak-anak dan publik, termasuk memberikan pesan kepada publik lewat adegan-adegan yang memperkuat pemahaman masyarakat bahwa perkawinan usia anak, dan perilaku kekerasan seksual terhadap anak.

“Kami juga meminta Komisi Perlindungan Anak (KPAI) untuk melakukan investigasi secara komprehensif terhadap agensi atau perusahaan manajemen tempat LCF bernaung, dan melihat sejauh mana bisnis sinetron atau program televisi tunduk pada Undang-Undang Perlindungan Anak, dan peraturan perundangan lainnya yang berlaku.”

Lalu meminta rumah produksi untuk menghentikan produksi dan mencegah terjadinya peredaran Sinetron Mega Series Indosiar : “Suara Hati Istri – Zahra” karena bertentangan dengan semangat pencegahan penghentian perkawinan anak dan penghapusan kekerasan seksual dan meminta stasiun televisi khususnya Indosiar agar lebih selektif dalam memberikan tayangan sehingga tidak berdampak buruk pada perkembangan anak di Indonesia dan mengkaji seluruh tayangan termasuk proses produksi agar tidak melanggar ketentuan terkait perlindungan anak seperti yang tertuang dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

“Kami meminta Indosiar dan Rumah Produksi Mega Kreasi Film untuk membuat Iklan Layanan Masyarakat/ ILM tentang pencegahan perkawinan anak sebagai bentuk permintaan maaf atas telah tayangnya Sinetron Mega Series Indosiar : “Suara Hati Istri – Zahra” dan menyerukan kepada tokoh agama dan lintas iman untuk bersama-sama menyatakan sikap menolak segala bentuk Program Televisi dan Audio Visual lainnya yang mempromosikan perkawinan anak, perilaku kekerasan seksual terhadap anak, dan kekerasan terhadap perempuan menjadi konsumsi public,” kata Lia Anggiasih

Koalisi 18+ adalah organisasi yang memperjuangkan stop perkawinan anak yang terdiri antaralain Koalisi Perempuan Indonesia/ KPI, Wahana Visi Indonesia, Dialoka, ICJR, Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2), Resister Indonesia, Komunitas Perempuan Berkisah, DROUPADI, Perempuan Tanpa Stigma, PKBI, SGRC Indonesia, Relawan Pemuda Peduli Perempuan dan Anak, Feminist Event dan puluhan organisasi dan individu lainnya

(Foto: tentangsinopsis.com)

Marina Nasution

Jurnalis televisi yang murtad dan kini mualaf di Konde.co Pengagum paradoks semesta, gemar membeli buku tapi lupa membaca.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!