Pemaksaan Perkawinan Anak Banyak Dilakukan Oleh Orangtua

Modus-modus perkawinan anak kerap dilakukan orang tua. Dari memalsukan umur anak, melakukan perjodohan, untuk mahar pembayaran hutang, sampai pemaksaan karena menuruti adat setempat

Tentu kamu masih ingat kejadian miris yang dialami seorang anak perempuan berumur 16 tahun di Sumenep, Madura yang meninggal setelah 6 jam akad nikah. Anak perempuan ini ditemukan tidak sadarkan diri dengan mulut berbusa dan akhirnya divonis meninggal oleh dokter Puskesmas setempat.

ECPAT Indonesia menduga anak tersebut melakukan bunuh diri karena frustasi setelah dipaksa menikah oleh orang tuanya, hal ini bisa dilihat dari beberapa pemberitaan yang diwartakan, bahwa anak korban ini pernah beberapa kali mencoba kabur dari rumah karena dipaksa menikah oleh orang tuanya. Hal ini juga dibenarkan oleh kepala dusun setempat.

Rio Hendra, Koordinator Divisi Hukum ECPAT Indonesia mengatakan apa yang dilakukan oleh orang tua korban sudah tentu melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, khususnya Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang Perkawinan.

“Jelas tertulis di dalam pasal 26 Undang-Undang Perlindungan Anak, bahwa orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan anak. Selain itu orang tua korban juga melanggar Undang-Undang Perkawinan yang mana menikahkan anaknya yang masih berusia 16 tahun.”

Meskipun pemerintah sudah merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dengan menaikkan usia perkawinan bagi anak perempuan menjadi 19 tahun, namun perkawinan anak masih saja terus terjadi di Indonesia.

Hukum internasional juga melarang pernikahan anak-anak, hal ini jelas tercantum dalam Konvensi Hak Anak dan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak Mengenai Penjualan anak, Prostitusi anak dan Pornografi anak.

Pernikahan anak digolongkan sebagai salah satu bentuk kekerasan pada anak dan dalam beberapa kasus digolongkan sebagai eksploitasi seksual anak. Oleh karena itu setiap negara yang meratifikasi kedua hukum internasional tersebut seharusnya melakukan amandement atas hukum pidana nasional dan memastikan setiap orang dilarang menikahi anak-anak dan diberikan ancaman pidana bagi para pelakunya.

ECPAT Indonesia menyatakan jika harus ada penyelesaian jangka pendek dan jangka menengah dalam menghentikan kasus perkawinan anak yang terjadi di Sumenep ini. Dalam penyelesaian jangka pendek, yang harus dilakukan adalah semua unsur yang terlibat seperti orang tua, Kepala Dusun, Kepolisian setempat dan juga Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak harus segera turun tangan dalam menyelesaikan kasus ini. Penyelesaian jangka menengahnya adalah membuat Peraturan Bupati (PERBUP) yang ampuh untuk mencegah terjadinya perkawinan anak di Kabupaten Sumenep, Madura dan juga Peraturan Gubernur (PERGUB) Jawa Timur yang mengatur tentang Pencegahan Perkawinan Anak di provinsi Jawa Timur.

“Selain itu Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga harus mempunyai inisiatif untuk mensosialisasikan perubahan undang-undang perkawinan yang baru kepada masyrakat di Indonesia agar masyarakat tahun bahwa menikahkan anak-anak adalah tindakan yang melanggar hukum.“

Kemudian medesak kepolisian khususnya Polres Sumenep dan Polda Jatim untuk menyelidiki kasus kematian anak ini agar diketahui penyebab pasti dari kematian korban tersebut dan memberikan hukuman bagi para pelaku perkawinan anak dan mendorong para tokoh agama yang ada di Jawa Timur untuk membantu memberikan pemahaman terhadap masyrakat untuk tidak menikahkan anak-anak mereka secara siri maupun legal ketika usianya belum 19 Tahun.

Studi Praktik Perkawinan Anak di Indonesia

Secara statistik angka perkawinan anak di Indonesia menempati peringkat ke-4 tertinggi di Asia dan peringkat pertama di ASEAN. Hal ini pernah dipaparkan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) bersama Plan Indonesia dalam acara launching hasil studi tentang Praktik Perkawinan Anak sebagai hasil observasi situasi dan kondisi di beberapa daerah paska amandemen umur perkawinan anak menjadi 19 tahun dalam Undang-Undang Perkawinan Anak, 4 Mei 2021

Hasil studi Koalisi Perempuan Indonesia/ KPI dan Plan Indonesia menyebut, inisiatif perkawinan anak ternyata banyak yang berasal dari orangtua dan juga anak.

Di tingkat anak misalnya, banyak ditemukan bahwa inisiatif awal praktik perkawinan karena terdorong oleh keinginan mereka untuk mengikuti jejak temannya yang telah menikah terlebih dahulu. Anak kemudian meyakini bahwa temannya yang telah melangsungkan pernikahan memiliki kehidupan yang lebih bahagia. Labelin kawin usia anak itu oke, kawin usia dewasa itu tidak baik, ini kemudian menjadi kampanye efektif mengajak anak menikah cepat, padahal perkawinan anak sangat beresiko

Gaya berpacaran anak yang beresiko terhadap kesehatan reproduksinya juga berpotensi mendorong kehamilan remaja perempuan dan berujung pada perkawinan anak.

Ini menunjukkan bahwa faktor sosial berkontribusi banyak dalam terjadinya kasus perkawinan anak, seperti adanya pengaruh pergaulan, pengaruh lingkungan, menjalani pergaulan beresiko, kenakalan remaja, korban kekerasan seksual, adanya tipu daya, keinginan orang tua untuk mendapatkan cucu atau menantu, adanya desakan masyarakat sekitar, mengikuti teman yang sudah menikah, hubungan tidak mendapatkan restu orang tua, atau keinginan kuat dari anak sendiri untuk menikah atas dasar hubungan percintaan.

Beberapa modus perkawinan anak yang kerap dilakukan oleh para orang tua, antaralain memalsukan identitas anak, khususnya umur, melakukan perjodohan, pemaksaan dari orang tua karena keputusan orang tua yang merasa khawatir atau harus menuruti norma setempat, dan kemudian mengawinkan anak sebagai ganti hutang keluarga dan memaksa menikah karena keluarga setuju dengan nilai maharnya.

Alasan lain karena kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), alasan ekonomi yang dibuat-buat sebagai alasan agar dispensasinya dikabulkan oleh hakim, misalnya meyakinkan ke hakim jika keluarga mempelai mampu secara finansial sehingga bisa menjamin perkawinan dan dinikahkan secara agama terlebih dahulu (nikah Siri), baru kemudian mengajukan permohonan nikah ke KUA pada saat usia telah mencukupi.

Peningkatan penggunaan internet dan media sosial (medsos) yang semakin pesat, terutama di kalangan anak dan remaja, telah menyebabkan perubahan gaya komunikasi dan interaksi sosial di antara anak dan remaja. Paparan berbagai jenis informasi dari internet terutama medsos dapat secara cepat dan mudah diakses oleh anak/remaja baik di perkotaan maupun perdesaan. Paparan konten pada anak dapat termasuk konten negatif yang beresiko terhadap hidupnya, seperti pornografi, promosi perilaku pacaran beresiko pada remaja, informasi yang salah tentang seksualitas dan reproduksi, promosi perkawinan anak

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!