Munculnya program televisi yang ajaib dan tak edukatif memang bukan barang langka di Indonesia. Meski menggunakan frekuensi publik, televisi masih enggan melibatkan akal sehat dan menjalankan kewajiban pokoknya sebagai lembaga sumber informasi.
Baru-baru ini, sinetron Zahra yang diperankan aktris berusia 14 tahun, telah menuai banyak kecaman. Plot cerita yang mempromosikan pernikahan anak dan pedofilia itu juga pertontonkan adegan mesra yang membuat penonton resah.
Tak lama setelah sinetron itu dibincangkan di pelbagai platform sosial media, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) keluarkan kecaman keras, terhadap Indosiar dan production house yang menggarap sinetron Zahra. Lewat press release yang beredar KOMPAKS menuntut Indosiar untuk hentikan glorifikasi pernikahan anak di televisi.
Ada beberapa tuntutan yang dibawa oleh KOMPAKS, salah satunya adalah menuntut agar Production House yang memproduksi sinetron dan Indosiar yang menayangkannya membuat tayangan edukatif untuk kanak-kanak. Sebuah tuntutan yang berat bagi media yang tak bergantung pada akal sehat.
Namun, bukan KPI namanya jika tidak menggunakan cara “fake it till it’s no longer our problem”. Logika semacam ini, entah bagaimana juga terus diproduksi oleh media, dan diamini oleh KPI.
Kita tentu masih ingat, bagaimana talk show empat mata, sempat menjadi perhatian publik, ketika pembawa acara mereka sempat melakukan pelecehan seksual dan pelanggaran lainnya. Akan tetapi, teguran dari KPI hanya diakali dengan mengganti nama acara talk show tersebut.
Akal-akalan media dengan mengubah nama program, tentu tak menyelesaikan masalah. Bahkan ketika tayangan empat mata berubah nama hingga 3 kali, penonton lain tetap muncul dalam acara yang dibawakan Tukul Arwana tersebut. Ini membuktikan bahwa mengubah nama, atau aktor tak akan menyelesaikan problem utama dalam sebuah program atau acara, jika logika berpikir media masih berorientasi pada rating, dan iklan saja. Pada fase ini KPI lagi-lagi, tak memiliki fungsi dalam dunia penyiaran Indonesia. Media tetap dengan leluasa memproduksi apapun, selagi itu bisa menghasilkan uang yang berlimpah.
Jika kita tahu KPI tak lagi memiliki peran, lalu pertanyaannya adalah, apa yang bisa dilakukan masyarakat untuk merebut haknya di media? Benarkah program-program nir manfaat seperti itu sangat diminati masyarakat kita?
Dandy Dwi Laksono, aktivis dan pendiri Watch Doc, dalam kesempatannya melalui platform resmi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), pada diskusi ‘Jurnalis Independen vs Media Mainstream’ menjelaskan bahwa logika acara-acara tak berkualitas lah yang paling banyak peminatnya.
“Dalam praktiknya publik tidak memiliki pilihan lain,” jelas Dhandy Dwi Laksono.
Pada kenyataannya, media tak memposisikan publik sebagai manusia dan menghargai akal sehatnya. Media memposisikan publik tidak lebih dari sebuah angka rating, yang dengan mudah dieksploitasi atas nama keuntungan. Superioritas media juga membuat KPI kehilangan fungsi dan kegagahannya. Ia seperti organisasi yang menunggu untuk segera dibubarkan oleh waktu.
Nasib pekerja media juga jadi korban imunitas. Seringkali jika pekerja media memproduksi tayangan yang sudah sesuai kaidah jurnalistik, dan berusaha menjalankan fungsinya, kepentingan ‘klien’ jadi tembok penghalang karya itu sampai pada publik.
Tak sedikit pekerja media yang juga memilih menggunakan blog, atau melempar karyanya pada platform lain yang masih waras. Hal ini dilakukan demi meneruskan informasi publik, meskipun kita tahu, jangkauan platform tersebut tak semasif media tempat kita bekerja.
Melihat kondisi media hari ini, agaknya buku karya Wisnu Prasetyo Utomo, ‘Suara Pers Suara Siapa?’ akan masih relevan hingga hari ini.
Lalu, sampai kapankah kita menikmati limbah produksi media? Tentu sampai KPI bisa mengambil tindakan lebih dari sekedar menegur, dan afirmasi politik saja. Selama KPI hanya melakukan ritual tegur sapa dan hanya sekedar menulis surat pada media yang bermasalah dengan program, maka akan sangat sulit bagi publik keluar dalam lingkaran setan program sampah milik media.
Jika saja tak ada publik yang memprotes keras sinetron Zahra, mungkin plot cerita serupa berpotensi untuk diproduksi lebih banyak lagi. Jika tidak ada yang speak up soal perkawinan artis yang berseliweran di televisi atau yang menyuarakan stop tubuh perempuan dijadikan sensasionalisme di televisi, maka protes keras tak akan pernah ada karena kita tak mungkin berharap pada KPI
(Foto/ ilustrasi: Pixabay)