Perempuan Berhak Berpasangan Dengan Laki-laki Yang Lebih Muda

Perempuan yang berpasangan dengan laki-laki yang lebih muda banyak menerima pertanyaan ini: masak pasangannya lebih muda?. Padahal tak ada yang salah dengan pilihan ini

“Aku tahu beda usia kita cukup jauh, tapi aku nggak peduli. Aku memang selalu tertarik sama perempuan yang lebih tua, entah kenapa.”

Saya terdiam sesaat setelah membaca pesan dari laki-laki itu. Laki-laki berusia 26 tahun itu kukenal dari satu aplikasi kencan. Sudah hampir sebulan ini kami mengobrol cukup intens, tepatnya sejak pandemi Covid

Sepertinya dia menyenangkan, sopan, dan tidak memaksa meminta yang aneh-aneh. Bahkan ketika meminta nomor telepon pada kesempatan pertama, sangat berbeda dengan banyak laki-laki lainnya di aplikasi tersebut.

Hingga pertanyaan itu dia lontarkan:

“Kalau kita tinggal satu kota, mau nggak, kapan-kapan kamu pergi berdua denganku?”

Ajakan kencan pertama, dari seorang laki-laki yang 14 tahun lebih muda. Dia 26 tahun dan saya 40 tahun. Ada apa ini? Memang, kami sudah saling melihat foto profil masing-masing, obrolan kami selama ini berlangsung ringan, lucu, dan jauh-jauh dari godaan maupun topik mesum. Rasanya seperti mengobrol dengan teman biasa tanpa tuntutan apa-apa.

Sebelum saya memberitahu kalian jawaban saya, mari kita lihat dulu alasan saya sempat ragu untuk memutuskan bertemu dengan laki-laki ini

Stigma Pasangan Perempuan Dengan Laki-laki yang Lebih Muda

Mendengarkan komentar semua orang memang tidak akan ada habisnya. Melelahkan memang, apalagi sepertinya perempuan lebih sering dicereweti soal pilihan hidup mereka, mulai dari soal pendidikan, karir, cara berpakaian, memilih pasangan, hingga umur dan ukuran tinggi badan pasangan yang kebetulan mereka pilih

Nggak percaya? Seorang teman perempuan bertubuh tinggi pernah pergi ke kawinan bareng suaminya yang kebetulan lebih pendek, kurus pula. Tanpa diminta, seorang kenalan menegur teman: “Jangan pake sepatu hak tinggi-tinggi, nanti suamimu tambah kelihatan kecil.”

Padahal, suami teman saya ini cuek saja, tuh. Kenapa orang lain yang ribut? Kalo memang punya preferensi perempuan yang lebih pendek, harusnya dia tidak jadi sama teman saya, ‘kan? Masa iya tinggi badan bisa dikorting? Seram.

Kita semua sudah tahu, masyarakat patriarki alergi banget bila perempuan tampak “serba lebih” dari laki-laki. Mulai dari soal kelebihan berat badan, lebih pintar, lebih sukses berkarir, sampai perkara tinggi badan dan umur. Pokoknya, pasti ada yang nggak terima kalau perempuan bisa seperti itu. Hujatan macam ‘melanggar kodrat’ hingga tuduhan “nanti jadi sombong dan nggak butuh laki-laki lagi” pasti gencar dilontarkan pada perempuan.

Penyebab saya sempat ragu menjawab pertanyaan laki-laki 26 tahun itu bukan hanya soal trust issues (kami belum pernah bertemu, lokasinya jauh, dan saya takut ditipu). Saya sudah bisa membayangkan anggapan mereka saat melihat saya jadian dengan laki-laki yang mungkin lebih cocok jadi adik atau malah keponakan:

“Perawan tua putus asa, akhirnya memelihara gigolo saja.“ (bila belum menikah.)

“Janda gatel, anak kecil pun disamber. “ (bila sudah pernah menikah, namun bercerai atau ditinggal mati pasangan.)

Sama-sama terdengar kasar, ya? Tapi itulah kenyataan di masyarakat Indonesia yang “katanya beragama, berbudaya, dan menerima keragaman”. Belum lagi 1001 prasangka disematkan pada si laki-laki muda. Mau apa dia? Mengeruk harta dari si janda kaya? Mencari-cari pengalaman dari perempuan yang lebih tua, sebelum beralih ke yang lebih muda? Memangnya dia sudah cukup dewasa? Jangan-jangan dia punya sindrom mommy issues alias Oedipus complex.

Bukankah lebih aman sama laki-laki yang lebih tua, karena biasanya lebih dewasa dan mengayomi (mendidik) pasangan?. Eits, kata siapa?. Usia tua bukan jaminan seseorang bersikap dewasa. Banyak juga laki-laki di usia 30-40 dan tingkahnya masih egois seperti anak manja. Lagipula, mereka tidak berkomentar banyak soal Nabi Muhammad yang menikahi Siti Khadijah di usia 25, sementara Khadijah berusia 40 tahun.

Di luar negeri, banyak pesohor laki-laki yang santuy saja bersanding dengan pasangan yang lebih tua, seperti Hugh Jackman dan Naveen Andrews. Awet lagi. Kalau memang sudah cinta, ya, dunia mau bilang apa?

Saya juga sudah membayangkan komentar-komentar miring lainnya seperti bagaimana kalau dia ternyata jodoh saya? Bisakah dia memimpin rumah tangga, meski lebih muda daripada istrinya? Lalu, apakah saya masih bisa hamil, mengingat usia saya?

Astaga, sampai segitunya. Hanya karena perempuan punya beberapa kelebihan (entah itu tinggi badan, usia, karir, kecerdasan, hingga harta), bukan berarti laki-laki itu menjadi kurang berharga. Setiap manusia punya kelebihan masing-masing agar bisa saling belajar, bukan melulu saingan atau malah minderan. Ngapain berpasangan kalau sedikit-sedikit insecure dan bikin pasangan lelah pikiran, hati, dan mental demi ego mereka yang rapuh?

Bila masyarakat ini mengaku beragama, kenapa harus kuatir saya masih bisa hamil atau tidak? Memangnya mereka tidak paham takdir Tuhan? Toh, belum tentu juga mereka mau membantu mengurusi anak saya, apalagi di era pandemi serba sulit ini. Belum lagi hobi mereka yang menakut-nakuti perempuan yang pasangannya lebih muda dengan ucapan semacam ini:

“Ntar kayak anak jalan sama emaknya, atau gigolo sama tante girang.“

Silakan hitung sendiri seberapa sering nyinyiran serupa ditujukan pada laki-laki tua yang punya 2 pasangan. Kalau pun ada, hujatan lebih ditujukan kepada perempuannya yang mau saja jadi selir dan dianggap murahan. Laki-lakinya? boro-boro, yang ada malah dianggap jagoan atau jantan!

“Nanti itu laki bosen ama elo, trus elo ditinggal begitu saja … “

Sungguh ironis memang, mereka lebih suka meributkan pasangan perempuan dengan laki-laki muda yang secara hukum sudah dewasa.

Jawaban untuk Laki-laki yang saya kenal

Mau tahu jawaban saya kepada laki-laki berusia 26 tahun itu?. Berhubung belum tahu kapan kami bisa bertemu karena menunggu pandemi kelar dulu, akhirnya saya memutuskan untuk meredakan kebiasaan saya yang suka overthinking. Toh, masih berandai-andai ini. Siapa tahu, besok, lusa, atau minggu depan, dia atau saya – atau malah kami berdua – berubah pikiran dan memutuskan untuk tetap berteman saja. Toh, tidak ada ruginya juga.

“Mau saja. Tapi kamu langsung aku kenalin ke semua temanku dan keluargaku juga, ya.”

“Mau. Eh, tapi tinggiku hanya 160 cm nggak masalah ‘kan, buatmu?”

Aduh, kasihan juga laki-laki ini. Standar patriarki yang menyebalkan ini ternyata juga telah membuatnya minder dengan tinggi badan sendiri.

“Setidaknya kamu bisa menyelamatkan leherku dari pegal-pegal karena harus mendongak terus.”

Saat melihat ikon wajah tersenyum, saya harap dia juga benar-benar sedang tersenyum di sana. Hati ini terasa ringan.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Ruby Astari

Sehari-hari bekerja sebagai translator dan author. Ia juga seorang blogger dan banyak menulis sebagai bagian dari ekspresi dirinya sebagai perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!