Mau Childfree atau Childless, Perempuan Selalu Disalahkan

Isu childfree selalu jadi sorotan publik, terutama di media sosial seperti yang terjadi pada seorang Youtuber, Gita Savitri. Sayangnya pembahasan yang muncul selalu mengarah pada stigmatisasi terhadap perempuan.

Beberapa waktu terakhir seorang selebgram sekaligus youtuber yang dikenal dengan nama Gitasav menjadi perbincangan warganet karena postingan soal childfree. Ia menanggapi komentar seorang follower dengan mengaitkan soal pilihannya untuk childfree dengan resep awet muda. Postingan tersebut mengundang reaksi warganet hingga sempat menjadi trending topic.

Tanggapan warganet cukup beragam, mulai dari menyanggah hingga menyerang baik pernyataan ataupun pilihannya tersebut. Tudingan mandul pun dialamatkan ke Gitasav. Begitu juga dengan tuduhan punya trauma masa lalu. Ia bahkan disumpahi bakal diselingkuhi sang suami. Dipertanyakan siapa yang akan merawat jika ia sudah tua. Sampai disangkutpautkan dengan urusan nanti yang nguburin siapa.

Bukan sekali ini postingan Gitasav soal childfree menjadi sorotan warganet. Gitasav secara terbuka menyatakan memilih untuk childfree sejak 2021. Ia bersama suaminya sepakat untuk tidak memiliki anak.

Pernyataan Gitasav soal childfree sebagai resep awet muda alamiah memang belum terbukti secara ilmiah. Ia pun kemudian menjelaskan konteks pernyataannya sebagai guyonan. Namun terlepas dari itu semua, tanggapan publik atas pilihan personalnya untuk childfree cenderung menunjukkan ketaksetujuan.

Respons warganet ini memunculkan pertanyaan. Mengapa penolakan masyarakat atas childfree begitu kencang? Sebelum membahas hal ini kita perlu mengupas dahulu soal istilah ini dan sejarahnya. Dengan begitu kita bisa memperoleh gambaran yang lebih komprehensif.  

Childfree dan Childless, Apa Bedanya? 

Secara global ada dua istilah yang biasa dipakai ketika membahas topik ini, yaitu childless dan childfree. Childless dimaknai sebagai seseorang yang ingin mempunyai anak tapi tidak bisa memilikinya karena kesempatan, kebetulan, kondisi medis, dan/atau alasan lainnya. Sedangkan childfree mencirikan seseorang yang memilih untuk tidak memiliki anak. Pada childless situasi tidak memiliki anak tersebut bukan merupakan pilihan atau hal yang dilakukan secara tidak sengaja.  

Ada pandangan penggunaan kata childless punya implikasi memosisikan situasi memiliki anak sebagai hal yang terberi/bawaan. Dengan begitu mempunyai kekuatan untuk melukai secara intens. Ada semacam perasaan “kurang” ketika seseorang tidak mempunyai anak padahal hal itu tentu tidak dialami semua orang. Dalam perkembangannya istilah childfree lebih banyak digunakan dalam pemberitaan media setelah sebelumnya dipopulerkan di media sosial.

Dalam bahasa Indonesia childless bisa disebut sebagai tidak bisa punya anak sedang childfree sebagai tidak ingin punya anak. Istilah yang dipakai untuk merepresentasikan pengalaman perempuan yang tidak punya anak, entah sebagai pilihan atau bukan, cenderung mengandung stigma negatif. Seperti mandul, gabuk, kosong, atau istilah lain yang mungkin kerap kita dengar sehari-hari.

Apapun istilah yang digunakan seorang perempuan untuk mewakili kondisi yang dialami atau dipilihnya, perlu ada destigmatisasi atas istilah tersebut. Selain itu ketika perempuan mengeklaim bahasa yang mencerminkan pengalaman mereka maka kita harus mendengarkannya.

Hal yang juga penting diingat adalah apapun istilah yang digunakan seorang perempuan, pada dasarnya tidak ada satu ukuran yang cocok untuk semua. Isu ini adalah masalah yang kompleks dan multi aspek.

Childfree Telah Dikenal Sejak Berabad Lalu

Childfree sebenarnya fenomena yang sudah lama ada dan bukan hal yang baru saja muncul. Rachel Chrastil, profesor sejarah di Universitas Xavier pernah menulis hal ini seperti dimuat di Washington Post.

Menurut Rachel pada kenyataannya tidak memiliki anak, baik karena kondisi alamiah, keadaan atau pilihan, telah ada di berbagai belahan dunia. Baik pada perempuan di Amerika Serikat, di seluruh Eropa barat laut, Kanada, dan Australia selama berabad-abad.

“Meluasnya kondisi tidak memiliki anak adalah kenyataan yang sudah lama ada di kota-kota Eropa barat laut sejak sekitar tahun 1500.”

Demikian catatan Rachel. Tapi ada satu pengecualian, “Era baby boom adalah anomali, jeda yang berlangsung sekitar 20 tahun. Kemudian, kondisi tidak memiliki anak muncul kembali, lebih kontroversial dan diperdebatkan secara terbuka daripada sebelumnya,” ujarnya.

Kondisi tidak memiliki anak ini bukan hanya fenomena di negara-negara Barat. “Kondisi tidak memiliki anak adalah karakter dari semua budaya, dengan ekspektasi yang berbeda pada waktu dan tempat yang berbeda,” katanya.

Selama era Reformasi (1517-1648), “tekanan agama, hukum, keluarga, dan kultural [diciptakan]. … untuk memastikan bahwa perempuan akan bereproduksi dan melakukannya dalam parameter yang dapat diterima.” Tetapi fakta bahwa tekanan-tekanan ini dianggap perlu membuktikan ketakutan bahwa perempuan entah bagaimana akan memilih keluar.

Sementara pada tahun 1600-an, perempuan lajang tanpa anak “dapat dicurigai mempraktikkan sihir dan digantung karena pelanggaran tersebut”.

Stereotip perempuan tanpa anak sebagai terlalu bersenang-senang untuk kepentingan diri sendiri telah ada selama berabad-abad. Rachel menemukan contohnya dalam buku The Wealth of Nations karya Adam Smith.

Penjelasan populer untuk tingginya tingkat kondisi tidak memiliki anak di paruh kedua abad ke-20 termasuk diantaranya ketersediaan pil KB. Hal lain adalah jumlah orang yang melajang relatif tinggi. Rachel berargumen ada hal lain yang lebih penting yaitu tumbuhnya penerimaan atas “memilih sesuatu selain keluarga tradisional”. Termasuk pilihan untuk menikah tapi tidak memiliki anak.

Konsep pilihan (choice) yang muncul pada tahun 1960-an, menjadi melekat erat pada gagasan tentang demokrasi dan kebebasan. Kelajangan dan kondisi tidak memiliki anak mengalami pergeseran makna. Pada masyarakat sebelumnya dianggap sebagai kondisi sosial yang layak dijauhi, dipermalukan, dikasihani, dianggap punya ketergantungan ekonomi. Kini berbalik menjadi sering diasosiasikan dengan kebebasan yang lebih besar. Meski begitu orang terus menghakimi mereka yang tidak memiliki anak, terutama jika mereka memilih untuk tidak memiliki anak.

Sementara pada 1970-an, orang bersedia mengubah pikiran soal kondisi tidak memiliki anak, dengan cara yang tidak terjadi pada dekade sebelumnya.

Pada abad ke-21 Rachel mengungkapkan ada sejumlah karakteristik yang dipunyai perempuan yang tidak memiliki anak. Seperti lebih berpendidikan tinggi, kurang religius, lebih berkomitmen pada karier, lebih longgar dalam peran gender, lebih urban daripada ibu mereka. Kondisi ini sama seperti 150 tahun yang lalu.  

Mengapa Stigma Negatif Dilekatkan Pada Mereka yang Memilih Childfree?

Stigma negatif terhadap mereka yang tidak memiliki anak cenderung bertahan karena kultur patriarki yang hidup dalam masyarakat. Kondisi fisik perempuan yang sebagian besar terlahir memiliki rahim menjadikan kemampuan reproduksi perempuan dipandang sebagai sesuatu yang terberi.

Karena itu menjadi ibu kemudian dianggap sebagai peran gender perempuan. Kondisi ini memunculkan ekspektasi masyarakat bahwa seorang perempuan diciptakan untuk melahirkan anak. Ini merupakan norma gender yang dibentuk yang memprioritaskan kewajiban daripada keinginan.

Gagasan feminis Adrienne Rich tentang compulsory heterosexuality dapat menjelaskan kondisi tersebut. istilah ini mengacu pada bahwasanya heteroseksualitas bukanlah keinginan alami pada diri perempuan, tetapi sebaliknya, sesuatu yang dipelajari. Menurut Adrienne, ini memberi jalan bagi perempuan untuk memenuhi peran gender melayani laki-laki, baik secara seksual, rumah tangga, ataupun emosional.

Konsep ini dapat diterapkan pada norma gender yang berlaku saat ini. Peran gender perempuan telah ditentukan bertahun-tahun yang lalu dan karenanya harus terus dipenuhi. Misalnya, dalam beberapa budaya ada anggapan yang tertanam bahwa menjadi ibu adalah tak terhindarkan. Sayangnya anggapan ini sulit untuk dilawan.

Di sisi lain mengacu pada Friedrich Engels, pada masyarakat patrilineal dan patriarkal keberadaan anak merupakan hal penting dalam institusi keluarga. Ini karena anak merupakan ahli waris yang akan memastikan pengalihan secara teratur atas kepemilikan sang ayah. Selain itu anak juga dianggap sebagai penerus nama keluarga. Dengan begitu institusi keluarga yang memberi kekuasaan pada sang ayah sebagai kepala keluarga dapat terus dipertahankan.

Gagasan ini terus direproduksi oleh berbagai perangkat sosial di masyarakat. Seperti media, sekolah, norma sosial, agama, dll. Anak-anak tumbuh dengan diberi pemahaman bahwa mereka akan menjadi orang tua suatu hari nanti. Orang tua hidup dengan harapan menjadi kakek-nenek. Selain itu memiliki anak secara universal didorong sebagai hal yang baik untuk semua.

Bahkan para pemimpin agama juga aktif mendorong pasangan suami istri untuk memiliki anak. Seperti yang dilakukan Paus Fransiskus pada 2015 lalu. Ia menegur pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak. Fransiskus menyebut keputusan tersebut sebagai tindakan egois. 

Pada kondisi seseorang tidak memiliki anak karena kebetulan sering kali respons publik yang muncul berupa belas kasihan dan simpati. Pasalnya pengalaman mengasuh anak dipandang begitu berharga sehingga tidak mengalaminya dianggap tidak normal atau tidak beruntung. Tapi ketika seseorang memilih tidak mempunyai anak, rasa kasihan tersebut berubah menjadi pandangan aneh terhadap orang itu. Tak jarang dianggap sebagai upaya menghindar dari kewajiban sebagai orang tua. Atau dipandang sebagai sikap egois dan punya masalah psikologis.

Kondisi ini dengan mudah mendorong publik memberi stigma pada orang-orang yang tidak memiliki anak dan yang memilih tidak mempunyai anak. Egois, tak punya perasaan, mementingkan diri sendiri, terlalu berpendidikan, adalah beberapa label yang diberikan. Stigma ini diberikan oleh siapapun, mulai dari orang-orang di sekitar, masyarakat luas, hingga pemimpin agama.

Lebih jauh pandangan yang menyamakan ibu sebagai semua perempuan berujung pada sikap yang menempatkan perempuan tak punya anak sebagai liyan. Merujuk pada Melanie Notkin, penulis Otherhood: Modern Women Finding a New Kind of Happiness, konsekuensi dari peliyanan ini sangat signifikan.

“Jika kita adalah ‘liyan/yang lain’ dari ibu maka kita tidak akan pernah menjalani kehidupan yang autentik sepenuhnya. Karena kita akan selalu diukur dengan apa yang diyakini masyarakat sebagai potensi kita,” kata Melanie.

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!