‘Burung pun Tak Ada Lagi’: Riset Kondisi Perempuan Papua

Sehari jelang peringatan kemerdekaan Indonesia, kita melihat para perempuan Papua masih berjuang atas tanahnya. Riset ‘Burung pun Tak Ada Lagi’ memotret problem yang dialami para perempuan Papua. Burung-burung yang dulunya berseliweran seperti Cenderawasih dan Kasuari, kini mulai menghilang.

Di tanah Unurum Guay, kabupaten Jayapura, hutan adat kian terkikis. Hamparan kelapa sawit telah mengubah wajah hutan, sekaligus kehidupan masyarakat salah satunya di desa Garusa. 

Masyarakat adat yang semula harmonis dan tercukupi atas hasil alam, kini terseok-seok: kehilangan mata pencaharian, bekerja bergantung upah, sebagian menjadi konsumtif, hingga munculnya konflik antar suku.

Perempuan Papua pun tak terhindar dari dampak itu. Mereka memiliki hubungan yang erat dengan hutan dan tanahnya, meski tersingkir secara sistematis karena tak ada akses lagi ke tanah dan hutan mereka. 

Perempuan Papua seringkali dihalangi juga untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang tanah dan hutan mereka sendiri. Suara-suara mereka tak didengar selama ini. 

“Seorang perempuan tidak ada punya hak untuk dia berbicara tentang hak adat, selalu laki-laki,” ujar perempuan Papua bernama Ani Sipa menyampaikan hasil riset berjudul ‘Burung pun Tak Ada Lagi’, Jumat (13/8).    

Ani bercerita, perempuan-perempuan Papua banyak mengalami derita di hutannya yang kini telah disulap menjadi lahan sawit. Janji-janji perusahaan memang manis pada awalnya: menjanjikan kehidupan layak, air bersih hingga anak-anak yang disekolahkan tinggi. Namun petaka yang justru terjadi kemudian.

Masyarakat setempat bukan saja tak mendapatkan haknya dengan adil, namun juga kehilangan mata pencaharian. Tidak bisa lagi mengambil hasil hutan.

“Menghilangnya akses tanah bagi perempuan, yang dulu dekat dengan tempat mereka (hutan) sekarang lebih jauh,” kata Ani. 

Mama Abe (53) berada di ujung timur Papua, Boven Digul, Jayawijaya. Ia menceritakan kisah pilunya. Jika dulu, hutan bisa menyediakan semuanya bagi masyarakat Papua: sagu, babi, rusa, pohon-pohon yang teduh, ranting untuk memasak, kini sudah tidak ada lagi. 

Burung-burung yang dulunya berseliweran indah di hutan, kini pun mulai menghilang. Seperti burung kuning cantik, burung cendrawasih yang menawan hingga Kasuari.

“Sebelum perusahaan datang, tempat tinggal kami surga,” ujar Mama Abe dalam sebuah podcast yang diputar dalam peluncuran riset tersebut. 

Ketimpangan tentang hak perempuan bersuara, kata Mama Abe, juga begitu kentara. Para perempuan selain terbatas untuk bersuara di depan publik, juga dibatasi untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Hanya anak laki-laki yang mendapatkan beasiswa sekolah dari perusahaan. 

“Perempuan tidak punya keistimewaan itu, kebanyakan malah putus sekolah, hanya sampai SMP bahkan SD, bisa lulus sampai SMA saja sudah anugerah,” kata dia. 

Perempuan yang tidak berpendidikan tinggi itu, mesti mengurus pekerjaan domestik di rumah. Jika para orang tua meninggal, anak-anak perempuan inilah yang harus merawat dan membesarkan adik-adiknya. 

Sekelumit kisah-kisah para perempuan di Tanah Papua ini tertulis dalam riset berjudul “Burung pun Tak Ada Lagi”. Riset itu memaparkan hasil cerita-cerita perempuan Papua yang berbagi pengalaman-pengalaman perempuan Papua dalam mempertahankan tanah dan hutannya. 

100 cerita perempuan di Papua

Pada November 2019 hingga Februari 2020, Asia Justice and Rights/ AJAR bersama KPKC GKI di Tanah Papua, eL_AdPPer, ELSHAM Papua dan Papuan Women Working (PWG) mendokumentasikan 100 cerita perempuan Papua di lima wilayah provinsi Papua dan Papua Barat ini ke dalam sebuah riset 

Frida Kelasin dari Papuan Women’s Working Group menyimpulkan hasil riset tersebut, perempuan Papua kini semakin tidak memiliki hak atas hutan. Kesetaraan dalam berpendapat pun masih jadi belenggu. 

“Bagi saya ketersediaan alam yang baik itu semestinya tidak bergender dan berjenis kelamin. Maka, pengambilan keputusan atas hutan harus memperhatikan perempuan,” ujar Frida. 

Perampasan atas hak hutan itu, Frida menyebut, bisa menyebabkan dampak yang lebih besar berupa kemiskinan sistematis. Masyarakat termasuk perempuan tidak bisa lagi mengelola hasil hutan yang melimpah. 

“Makanya kemiskinan sangat nyata di Papua dan Papua Barat. kita wilayah yang kaya tapi kita provinsi termiskin di Indonesia nomor dua,” kata dia. 

Akademisi, Diana Jenbise mengatakan perjuangan perempuan dan laki-laki Papua adalah untuk melawan dominasi negara yang selalu mendiskreditkan orang Papua sebagai second class di Indonesia. Hasil riset di lima wilayah ini menunjukkan secara jelas bagaimana tanah adat direbut oleh perusahaan yang memperoleh izin pemerintah dan didukung oleh aparat keamanan. 

Bila tanah menurut orang Papua adalah Mama yang memberi hidup, maka tugas ini menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat adat Papua, baik laki-laki atau perempuan, untuk melindungi dan menjaga tanah dan alam Papua. 

Diana menyebutkan, pendidikan berbasis kearifan lokal Papua yang mengangkat nilai-nilai kesetaraan gender tanpa bias. Lalu, institusi keagamaan Papua juga mesti diberikan penguatan pengajaran agama yang tidak didominasi oleh pandangan kaum teolog laki-laki dengan penafsiran patriarki.  

“Penguatan kalangan perempuan di Papua di semua level atas kesadaran berjuang untuk haknya hidup, bekerja dan menentukan masa depan tanpa intervensi juga perlu,” katanya. 

Problem Perempuan Adat: Regulasi dan Aturan Adat Yang Belum Berperspektif Perempuan

Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah lama diusulkan ini, tidak kunjung ditetapkan, ini menjadi salah satu contoh lemahnya perlindungan perempuan adat. Padahal RUU Masyarakat Adat ini diharapkan menjadi jaminan hukum bagi pemenuhan dan perlindungan hak kolektif perempuan adat.

Meski begitu, dalam kondisi yang buruk, namun perempuan adat tetap membuktikan ketangguhannya sebagai pejuang perubahan sosial. Ini ditunjukkan dari ragam inisiatif, daya lawan, dan kelenturan perempuan adat menghadapi situasi yang merugikan mereka. Devi Anggraini, Ketua Organisasi Perempuan Aman menyampaikan ini dalam pidato politik simposium perempuan adat, 16 Desember 2020.

Salah satu contohnya, dalam situasi pandemi, ketika banyak masyarakat yang kehilangan sumber-sumber penghidupannya, perempuan adat justru kuat dengan mengkonsolidasikan diri di kampung-kampung melalui pertanian yang dikelola secara koletif, melakukan pengawetan stok pangan yang dihasilkan sehingga para perempuan adat bisa berbagi dengan para perempuan di kampung lain yang membutuhkan.

Situasi ini ditunjukan oleh 55 wilayah pengorganisasian Perempuan Aman yang tersebar di 6 region besar di Indonesia, yaitu Sumatera Jawa, Kalimantan, Kepulauan Maluku, Sulawesi serta Bali Nusa Tenggara. Dalam lima tahun terakhir Perempuan Aman juga melakukan pendokumentasian yang berdasarkan pada pengalaman, praktek dan kejadian yang menimpa perempuan adat.

Dalam pendataan ditemukan fakta bahwa 90% perempuan adat masih belum dilibatkan dalam proses pembangunan yang akan masuk ke wilayahnya. Dan dari survey tersebut, 98% responden menyatakan bahwa wilayah adatnya telah mengalami perubahan, namun belum melibatkan suara mereka sebagai perempuan.

“Akibatnya, perempuan adat kehilangan wilayah adat atas kelolanya sehingga secara langsung menyingkirkan perempuan adat. Partisipasi penuh perempuan adat dalam beragam tahapan dan pengambilan keputusan menjadi tereliminasi,” ujar Devi Anggraini dalam tulisan di Konde.co (21/1/2021).

I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam symposium tersebut juga mengapresiasi yang sudah dilakukan organisasi Perempuan Aman karena telah membuka perspektif akan kekuatan perempuan adat dalam menjaga keberagaman dan identitas bangsa.

“Peran luar biasa perempuan adat adalah menjadi garda terdepan perlindung nilai-nilai budaya dan kearifan lokal nusantara, ketahanan ekonomi, peranan sosial melalui budaya gotong-royong dan menjaga kelestarian alam. Sementara peran pemerintah adalah menyusun RUU Masyarakat Hukum Adat dan mengawal substansi gendernya. Untuk itu kerjasama dibutuhkan untuk menyelesaikan isu perempuan dan anak secara komprehensif serta menyatukan kekuatan”.

Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/ AMAN menyatkan bahwa peran penting perempuan adat secara sosial, ekonomi, politik dan budaya adalah peran yang berakar dari identitas yang melekat dengan wilayah adatnya beserta sistem sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat adat. Bahkan perjuangan masyarakat adat dalam menjaga identitas bangsa tidak terlepas dari hak-hak perempuan ada, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat adat.

“Saat ini upaya-upaya peminggiran dan praktek-praktek diskriminsi masih ada. Sistem ekonomi kapitalis menyebabkan peminggiran perempuan adat. Akibatnya perempuan adat selama ini telah kehilangan kekuasaan dan ruang-ruang politiknya, hingga wilayah adatnya. Untuk itu, kita harus berjuang keras untuk pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat, berjuang bersama untuk melawan perampasan wilayah adat,” tutur Rukka Sombolinggi.

Arimbi Heru Putri, Dewan Pakar Perempuan Aman, menyampaikan bahwa narasi dan kepentingan perempuan adat lenyap dibawah gemuruhnya pengetahuan, wilayah kelola dan ekspresi, namun kondisi perempuan adat yang diabaikan. Karena itu perlu penataan ulang dalam ketatanegaraan, hukum dan paradigma untuk menempatkan perempuan adat dalam mosaik negara bangsa Indonesia.

Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyampaikan bahwa perempuan adalah pemangku kepentingan dalam pelestarian sumber daya alam, dimana hutan menjadi ruang hidup, sumber penghidupan dan pengetahuan. Dan hutan adalah akar budaya perempuan. Namun perempuan menjadi kelompok yang paling menderita akibat kerusakan hutan dan lingkungan. Perempuan juga tidak pernah ditanya ketika terjadi konversi hutan menjadi perkebunan dan pertambangan.

“Keberhasilan pembangunan sumber daya alam dan lingkungan di daerah sangat ditentukan oleh aspek pemenuhan hak asasi perempuan adat.”

Sementara itu, Meiliana Yumi, Ketua Dewan Nasional Perempuan Aman, menuturkan bahwa sesungguhnya posisi perempuan adat bukan hanya sebagai pelengkap dalam komunitas, tetapi perempuan adat adalah aktor utama dalam mempertahankan wilayah adat dan sebagai teladan dalam pengambilan keputusan di dalam komunitas adat.

(Foto: Canva dan Facebook AJAR)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!