Siapa Sutradara Favoritmu? Sutradara Perempuan Jumlahnya Minim

Pengalaman saya 4 tahun di sekolah film mendapatkan data, masih sedikit keterlibatan perempuan di dunia film, cenderung terbatas dalam mengerjakan hal teknis. Kesempatan menjajal dan mengeksplorasi, masih banyak diberikan kepada laki-laki.

“Siapa sutradara Indonesia favoritmu?”

Sebelum menjawab itu, saya punya cerita seperti ini. Ada satu momen yang tak terlupakan, pernah saya dan rombongan teman yang baru saja keluar dari bioskop. Kami iseng mengamati poster-poster yang terpampang di papan.

Temuan kami, tiga dari empat poster yang ada, ternyata nama satu laki-laki bisa merangkap ke berbagai peran dalam sebuah film. Termasuk, soal pekerjaan teknis. Alamak!

Empat tahun lalu, pertanyaan itu kembali terlontar dari seorang kakak tingkat kepada kami, mahasiswa baru yang tengah berkumpul di taman fakultas: siapa sutradara favoritmu?

Saya ingat betul, kebanyakan teman-teman saya menjawab dengan nama-nama asing yang kebanyakan adalah laki-laki. Bahkan, tidak ada satupun nama sutradara perempuan yang keluar dari jawaban itu. Saya yang kala itu tak bisa menjawab, ditertawakan oleh para kakak tingkat laki-laki. 

Saya mual tiap kali mengingat pengalaman itu. Mengetahui fakta, bahwa yang ada di lapangan, hanya sedikit kiprah sutradara perempuan yang teman-teman saya kenal.

Tak hanya sutradara, peran-peran lain yang berkaitan dengan pekerjaan teknis seperti editor, penata kamera, lighting, hingga sound recordist. Sementara mayoritas perempuan, berkutatnya lebih condong ke pekerjaan seperti penulis naskah sampai produser. 

Pengalaman saya empat tahun berkecimpung di sekolah film pun, perempuan memang cenderung terbatas dalam mempelajari hal-hal teknis. Kesempatan menjajal dan mengeksplorasi, masih banyak diberikan kepada laki-laki. Tak pelak, posisi perempuan di industri perfilman pun semakin terpinggirkan. Belum lagi, menyoal perhelatan penghargaan. Jarang sekali, nama sutradara perempuan mencuat. 

Stereotip dan Diskriminasi terhadap Perempuan

Jika dirunut ke belakang, pembagian kerja secara seksual yang berlaku universal yang merujuk pada buku Working Women in South-East Asia: Development, Subordination and Emancipation karya Noeleen Heyzer, mengatakan bahwa perempuan masih mendapat diskriminasi.

Pekerjaan perempuan di Asia Tenggara umumnya, sebatas ditempatkan pada sektor-sektor yang dianggap sesuai dengan “keahlian” mereka, yaitu segala hal mencakup urusan domestik. Stereotipe ini lah, yang sampai saat ini masih terjadi. 

Dalam kajian milik Indira Ardanareswari tentang Honorium, Aktris, Gender: Perempuan Pekerja Seni dalam Industri Perfilman Indonesia, 1950-an hingga 1970-an, ia memaparkan untuk urusan aktris saja, berangkat dari tahun 1950-an, tenaga kerja perempuan sebagai lakon memang semakin meningkat sejalan dengan massif-nya pertumbuhan produksi film dalam negeri. Sayangnya, sosok perempuan tetap dijadikan sebagai pengisi kekosongan peran serta visual yang akan ditampilkan kepada penonton lewat film, terutama pada film-film erotis.

Tentunya, tidak semua film kala itu menampilkan perempuan sekadar ‘pemanis’ belaka. Salah satunya adalah film Tiga Dara karya Usmar Ismail di tahun 1957, Usmar memunculkan karakter tiga perempuan kuat dibalut dengan drama musikal menghibur. Film yang kala itu menjadi satu dari sekian film Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia), pun berhasil menghasilkan banyak profit. Namun tanpa menanggalkan kehadiran perspektif sutradara perempuan yang sangat dibutuhkan.

Masa sebelum tahun 2000-an, memang tak banyak orang yang familiar dengan nama-nama sutradara perempuan. Namun, Mira Lesmana dan Nan Achnas kemudian muncul dengan film Kuldesak, Pasir Berbisik (2001) dan Petualangan Sherina (Mira Lesmana) yang menjadikan kehadiran perempuan di industri perfilman semakin diperhitungkan. Periode itulah, kita juga mengenalnya dengan periode keemasan industri film Indonesia.

Meski begitu, persoalan perempuan di industri perfilman bukan berarti telah rampung. Tak hanya hal teknis soal eksistensi perempuan di perfilman yang jadi PR, akses data serta penelitian mengenai pekerja perempuan di industri film pun masih minim, seperti, jumlah pekerja dan raihan karir serta hambatan yang menyertainya. 

Seksisnya serta tak ramahnya lingkungan kerja, isu keluarga yang tidak mendukung, hingga teror kekerasan seksual juga masih terus menjadi momok yang perempuan hadapi di industri perfilman. 

Mencari Perlindungan, Mendapat Perundungan

Di era kini, kita patut mengapresiasi bahwa pertumbuhan karir sutradara dan pekerja film perempuan makin terlihat gaungnya. Tetapi, ada pula cerita-cerita tak mengenakkan di baliknya. 

Beberapa kali terlibat di proyek film, tak jarang saya mendapati keresahan dari sesama kru perempuan yang dibicarakan ketika proses produksi selesai. Dalam pengerjaannya, tak hanya sekali dua kali aktris maupun kami sendiri yang terlibat mendapat catcalling yang mengacu pada pelecehan seksual dari kru laki-laki lain. Semakin muak, ketika ekosistem di perfilman itu juga seolah menormalisasi tindakan tersebut. 

“Masa digituin aja marah”

“Kita kan cuman bercanda”

Kalimat itulah yang sering digunakan para pelaku sebagai pembenaran. Mereka dengan enteng menganggap hal yang terjadi adalah sebuah candaan. Dude, seriously

Sedihnya lagi, saat ada penyintas yang bersuara, malah banyak yang mempertanyakan bukti yang bisa menguatkan pernyataannya, dan cenderung menyudutkan penyintas. Penyintas dibuat merasa kerdil sejadi-jadinya. Itulah kenyataan yang kami hadapi bersama di industri ini. 

Salah seorang aktris kami, Mian Tiara, pernah mengalami hal pahitu itu. Tatkala, dia buka suara tentang kekerasan seksual yang menimpanya dalam salah satu projek film. Perlu diingat, Mian Tiara bukan satu-satunya korban.

Lalu, apa yang bisa pekerja perfilman lakukan? 

Sebagai filmmaker, kita bisa mendorong adanya kontrak kerja dan Standar Operasional/SOP kerja yang jelas soal perlindungan pekerja perfilman utamanya bagi perempuan. Dimana ada konsekuensi untuk kekerasan maupun pelecehan. Di satu sisi, juga menjamin adanya ruang aman bagi pekerja film. 

Tentu saja, ini perlu ada sinergi dengan pemangku kepentingan yang adalah komponen yang penting yang harus diusahakan bersama. Hadirnya gerakan seperti Never Okay Project dan #SinematiGakHarusToxic adalah langkah awal yang harus selalu dikawal. 

Memboikot pelaku kekerasan seksual di industri hingga ke pemutaran alternatif dapat menjadi solusi yang dilakukan secara kolektif.

Ya, memang terasa sulit. Tidak ada kata mustahil untuk pelan-pelan mengubahnya. Walaupun banyak rintangan yang dihadapi, saya yakin membangun iklim industri yang sehat bisa dilakukan dari mengedukasi lingkaran paling kecil yang kita miliki.

Ini adalah tugas bersama, tanggung jawab kita semua baik dari pembuat maupun penonton film.

Saraswati N

Mahasiswi film dan fangirl yang bisa ditemui suaranya lewat podcast K-ulture! Masih bermimpi melihat Yoo Ah In dan Kim Tae Ri dalam satu proyek film
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!