Konstruksi Patriarki Adalah Ujung Pangkal Superioritas Laki-laki

Standar terhadap laki-laki yang harus memenuhi sisi maskulinitas dan tidak boleh bersikap feminim, sebetulnya datang dari sistem masyarakat patriarki. Jadi, konstruksi patriarki ini merupakan ujung pangkal superioritas laki-laki

“Jika memang laki-laki harus selalu menggunakan logika dan tampil maskulin untuk membuktikan superioritasnya, maka ketika laki-laki lebih mengutamakan perasaan dan sisi feminin, masih layakkah dipandang sebagai makhluk yang superior?” (Akhmad Idris)

Sepenggal kalimat dalam esai berjudul “Mendekonstruksi Superioritas Pria dalam Karya Sastra” dalam Buletin Jejak Literasi No. 15, menarik untuk dikaji kembali. Esai itu berupaya menyorot gugatan saya, atas kebenaran tunggal terkait laki-laki sebagai figur perkasa atau maskulin, sedangkan perempuan digambarkan berperasaan atau feminin. Singkatnya, laki-laki dianggap berada di posisi superior, sedangkan perempuan berada di posisi inferior.

Namun, alih-alih membongkar persoalan struktural langgengnya patriarki hingga konstruksi gender yang timpang. Esai Akhmad Idris justru terjebak dalam perdebatan superior dan inferior laki-laki dan perempuan, yang mencoba dipertukarkan. Seolah laki-laki yang mengutamakan perasaan, akan begitu saja lolos dari sederet masalah sistematis yang acapkali menempatkan perempuan sebagai kalangan “nomor dua’. 

Separuh perjalanan membaca esai ini, seolah tak tampak ada yang bermasalah. Namun, saat sudah tiba di akhir esai, kritik Akhmad Idris justru tampak sebagai hal yang salah sasaran. Sebab, arah yang dibawakannya bukan mengkritik kebudayaan atau masyarakat yang membentuk dua dikotomi antara superioritas dan inferioritas itu sendiri, melainkan justru kritik itu ia layangkan terhadap kaum feminis—yang disebutnya dengan “dalam sastra feminis”—sebagai kelompok yang kerap mendengungkan isu oposisi biner (maskulin dan feminin) dalam karya-karya mereka. 

Dia seolah-olah mengatakan, “Hei, tidak selamanya kaum laki-laki tampil gagah sebagai sang superior. Justru perempuanlah, yang tampaknya, bisa menyandang sisi itu dengan upaya-upaya feminis yang dilancarkan selama ini.”

Langgengnya Toksik Maskulinitas

Standar terhadap laki-laki yang harus memenuhi sisi maskulinitas dan tidak boleh bersikap feminim, sebetulnya datang dari sistem masyarakat patriarki. Situasi ini, nantinya akan memunculkan toksik maskulinitas (toxic masculinity). Istilah ini muncul dari seorang psikolog bernama Shepherd Bliss pada tahun 1990. Ia berpendapat, istilah ini ada untuk memisahkan nilai positif dan negatif dari laki-laki. 

Adapun pendapat lain dari seorang aktor dan aktivis kesetaraan gender, Ross-Williams menyebut bahwa Toxic Masculinity ada dari manifestasi konstruksi sosial dari masyarakat patriarki yang mengharuskan laki-laki untuk bertindak dominan dan agresif agar mendapat rasa hormat.

Kalau kita menilik lebih jauh cerpen karya Kuntowijoyo yang berjudul “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”, yang menjadi acuan dari esai Akhmad Idris tersebut, tanda-tanda dari praktik Toxic Masculinity ini jelas adanya. Sebutlah, saat ayah dari karakter si tokoh ‘aku’ mendapati anaknya menggenggam sebuah bunga di tangannya dan berkata, “Laki-laki tidak perlu bunga, buyung. Kalau kau perempuan, bolehlah. Tetapi engkau laki-laki!” 

Atau dari kalimat, “Engkau laki-laki. Engkau seorang laki-laki. Engkau mesti bekerja. Engkau bukan iblis atau malaikat buyung. Ayo, timba air banyak-banyak. Cuci tanganmu untuk kotor kembali oleh kerja, tahu!”

Dua petikan dialog itu, mengesankan watak si ayah yang memang mengamini kontruksi patriarkis terhadap figur laki-laki. Ia sama sekali menolak kecenderungan anaknya yang tak suka bekerja kasar, kotor, atau melakukan sesuatu yang diidentikkan dengan aktivitas yang menunjukkan keperkasaan laki-laki. Figur si ayah jelas tak mentoleransi sisi feminin anaknya yang justru menyukai ketenangan dan kelembutan yang tergambarkan dalam kecintaannya pada keindahan bunga-bunga. 

Di mata si ayah, apa yang ditampilkan oleh anaknya bukanlah jati diri seorang lelaki sejati. Dan, pada saat si ayah memaksakan kehendaknya untuk membentuk figur perkasa seperti yang diyakininya terhadap anaknya, praktik Toxic Masculinity bekerja dalam hubungan antara ayah dan anak lelaki tersebut.

Oleh sebab itu, yang bermasalah di sini adalah konstruksi sosial masyarakat yang masih melanggengkan nilai-nilai patriarkis dan menjadikan praktik semacam Toxic Masculinity masih terjadi di dalamnya. Bahwa ketika seorang laki-laki lebih cenderung menunjukkan sisi feminim pun tidak lantas membuatnya berada dalam sisi inferior, seperti yang dipertanyakan Akhmad Idris di akhir esainya. Bisa saja, perkara superior dan inferior itu akan mengabur tatkala di sekitarnya pun masih terdapat praktik ketidakadilan gender terhadap kaum perempuan. 

Kita bisa membayangkan, saat si laki-laki tadi bebas menunjukkan ke mana arah sisi dominan yang membuatnya nyaman, dan dia berada di lingkungan yang sepenuhnya mendukung segala bentuk pilihannya; sementara di sisi lain ada perempuan yang dengan gagah berani pula memperjuangkan hak-haknya tetapi terjegal lingkungan, aturan, dan orang-orang yang tak mendukungnya. 

Lantas, masih perlukah kita bicara soal konstruksi antara superior dan inferior? Fokus kita tidak ke sana, sebab ada yang perlu lebih diperhatikan, yakni konstruksi sosial dari masyarakatnya itu sendiri, yang masih patriarkis.

Wahid Kurniawan

Penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!