Stop Budaya Victim Blaming, Sudah Saatnya Kita Mempercayai Korban

Ada budaya victim blaming yaitu budaya menyalahkan korban ketika korban hendak memperjuangkan kasus kekerasan yang ia alami. Ini membuat korban sulit speak up karena takut menghadapi serangan balik

Di Indonesia, banyak data menunjukkan, betapa sulit bagi korban kekerasan seksual untuk bicara. Ketika bicara, alih-alih mendapat dukungan penuh, tak jarang korban justru mendapat penolakan, kredibilitasnya diragukan dan motifnya dipertanyakan. 

Lihat saja kasus yang menimpa Baiq Nuril yang digugat UU ITE dan juga ibu Linda di Luwu Timur. Korban dihadang hambatan hukuman berlapis hanya karena ia membicarakan tindakan keji yang sudah dilakukan pelaku. 

Hingga saat ini, memang tak mudah bagi korban kekerasan seksual untuk mengungkap apa yang dialaminya. Masih banyak anggota masyarakat yang justru menunjukkan simpati atau kekhawatiran secara berlebihan kepada pelaku kekerasan seksual. Sikap ini disebut dengan himphaty. Akibatnya, ketika korban kekerasan seksual berbicara, belum tentu ia akan mendapat dukungan, bahkan tidak jarang mereka justru mendapatkan serangan balik dan dituduh macam-macam. 

Dalam kasus kekerasan seksual, publik perlu menerapkan perspektif yang berpihak terhadap korban. Saat korban sudah berani berbicara,  publik semestinya memberikan dukungan pada korban, dengan menyediakan ekosistem yang mendukung dan memercayai korban, agar ia berani menuntaskan persoalan yang dihadapi. Tidak seharusnya malah mempertentangkan antara korban dan pelaku yang berujung pada reviktimisasi korban. 

Aktivis perempuan, Tunggal Pawestri melihat bahwa jika terkait dengan kekerasan seksual, publik tampak masih sering melakukan budaya victim blaming atau menyalahkan korban. Budaya ini menempatkan korban sebagai pihak yang juga memiliki andil dalam peristiwa kekerasan seksual yang ia alami. Hal ini membuat korban kekerasan seksual yang awalnya berani untuk bicara, menjadi enggan dan tidak berani untuk bicara.  

“Korban kekerasan seksual akan merasa enggan, takut dan menutupi apa yang dia alami. Karena ada urusan dignity dan victim blaming, maka harus hati-hati. Itu sebabnya dalam kasus kekerasan seksual, treatment-nya harus berbeda, kita harus memberikan confident, harus memastikan, harus ada ekosistem yang cukup friendly bagi korban ketika mau speak up,” katanya. 

Novi, aktivis Women Crisis Center (WCC) Jombang sepakat dengan Tunggal Pawestri. Ia menyatakan, ini artinya ketika korban sudah mau berbicara, maka orang-orang di sekelilingnya harus memberikan dukungan.

“Walaupun tidak bisa secara langsung, minimal dia tidak langsung mematahkan apa yang disampaikan korban, misalnya tidak langsung nge-judge korban yang telah menempel selama ini. Dengarkan dulu apa yang mau disampaikan ke korban. Karena untuk speak up itu energi yang dia keluarkan luar biasa. Pengalaman teman-teman pendamping selama ini, korban sudah datang ke lembaga, tapi belum tentu dia mau ngomong.”

Untuk itu, Tunggal secara tegas mengatakan, dalam menanggapi peristiwa kekerasan seksual, satu hal penting dan utama yang harus dilakukan adalah memercayai korban dan mendukungnya. Publik semestinya menghargai upaya korban yang telah berani berbicara. 

“Dalam perspektif feminis, kita tidak boleh lari dari keinginan korban. Jadi jika kita percaya pada korban, kita harus tahu keinginan korban dan respek pada korban,” imbuhnya. 

Novi juga menyatakan bahwa banyak korban yang sebenarnya tidak tahu jalan keluar masalah yang dihadapinya. Banyak korban yang tahu pun, ia tetap butuh dukungan.

“Kira-kira dengan kondisi seperti ini, coba kita katakan siapa aja sih support system-nya korban. Support system mulai dari lingkungan keluarga, kemudian kalau dia masih mahasiswa atau sekolah, siapa sih lingkungan di kampusnya yang bisa diajak berbicara terkait ini. “

Menurut Tunggal Pawestri, hal ini berlaku terlebih bagi orang yang ingin mendampingi korban. Setelah memercayai korban, pendamping harus mampu memproteksi korban dengan memberikan pilihan-pilihan strategi untuk mengungkapkan kasusnya ke publik.

“Kalau kita merasa kita bukan pendamping yang profesional, mungkin ada baiknya minta dukungan dari lembaga bantuan hukum yang memang sudah terbiasa menghadapi kasus-kasus seperti itu. Jadi alih-alih melakukan semuanya sendirian, mencoba berstrategi sendiri, ada baiknya minta persetujuan korban. Lalu mengajaknya berkonsultasi ke lembaga yang memang profesional menangani kasus-kasus seperti ini,” ujarnya.

Fenomena Fans dan Idolanya

Kekerasan seksual juga bisa terjadi di mana saja dan di banyak kalangan, termasuk di kalangan figur publik yang membuat kasus berpotensi semakin kompleks karena adanya relasi fans dan idola yang biasanya sudah terbangun dalam waktu lama. 

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan pengamat media, Wisnu Prasetya Utomo melihat, ketika ada artis yang melakukan kesalahan atau tindakan yang mengecewakan, fanbase artis biasanya akan melakukan pembelaan.

Belum lagi banyak yang berharap bahwa idolanya dalam dunia nyata harus sesuai image mereka. Padahal tak selamanya bisa begitu.

Wisnu Prasetya menjelaskan alasan mengapa para penggemar masih membela idolanya meski sedang terjerat kasus. Sebabnya, fans seperti mendapatkan identitas atau kepercayaan dirinya dari idolanya. Jadi kehadiran idolanya ini tak cuma sekadar menghibur, tetapi juga memberikan identitas baru bagi fans.

“Dari sinilah terbentuk loyalitas dari fans dan identitas nya terbentuk di sini. Ketika idol tidak sesuai dengan kenyataan, maka mereka ada di tahap denial, padahal menurutku ini namanya loyalitas dan identitas yang rapuh yang dibangun dari sosok bintang yang sempurna di panggung, padahal itu semua dibentuk dengan hati-hati oleh tim manajemennya.”

Ironisnya, jika terjadi problem kemanusiaan seperti kekerasan, tak sedikit penggemar yang justru memilih berdiri di sisi terlapor, bukan pelapor. 

“Padahal dalam konteks korban—relasi kuasanya sangat timpang, identitas dan kolektivitas fans ini saya sebut sebagai proses radikalisasi fans yang luar biasa. Kondisinya jadi denial, seolah ketika artisnya sudah meminta maaf, berarti sudah cukup. Padahal ini namanya normalisasi, kolektivitas yang ditumbuhkan dari sistem dunia hiburan,” kata Wisnu.

Tipe pembelaan seperti ini, kata Wisnu, tidak sesuai dengan pendekatan perspektif hak asasi manusia. Apabila hal ini dilanggengkan, maka yang terjadi adalah peminggiran korban/pelapor. 

“Padahal dalam konteks kekerasan seksual di mana pun, perspektifnya adalah percayai korban, karena korban yang sudah mau speak up, itu artinya dia sudah berani mempertaruhkan semuanya termasuk menjadi korban doxing, jangan malah membuat korban menjadi powerless.”

Tunggal menyebut bahwa di Indonesia, sikap berpihak pada korban kekerasan seksual bukan tidak pernah dilakukan. Salah satunya seperti yang dilakukan Lawless, ketika seorang korban bersuara mengenai kekerasan seksual yang ia alami dari Gofar Hilman, figur publik yang juga salah satu pendiri restoran burger tersebut.

“Untuk di Indonesia, sikap baik Lawless yang harus diapresiasi, mereka segera bergerak cepat dan sigap mengeluarkan Gofar Hilman. Itu satu gesture yang baik dari Lawless. Kepentingan utamanya adalah menciptakan lingkungan kondusif bagi korban,” ujarnya.

Tunggal pun menjawab sejumlah pertanyaan yang sering muncul terkait bagaimana jika korban ternyata berbohong atas kasusnya.

“Dalam dunia yang belum sepenuhnya berpihak pada korban kekerasan seksual ini, kita memang sepatutnya berada di posisi korban/pelapor sampai proses hukum membuktikan sebaliknya. Ini harus kita lakukan agar para korban kekerasan seksual berani speak up. Apabila kemudian hari melalui mekanisme hukum yang sah terbukti bahwa pelapor berbohong, tentu saja kita mengenal yang namanya mekanisme pemulihan nama baik untuk terlapor yang menjadi tanggung jawab bagi pelapor,” tutupnya. 

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!