Harus Menari Telanjang untuk Lunasi Pinjol: Pinjaman Online Menjerat Perempuan

Pinjaman online (pinjol) menjerat perempuan. Dalam budaya patriarki, perempuan harus mengurus rumah tangga dan mesti memikirkan kecukupan kebutuhan rumah tangga dan keluarga.

Sarah (bukan nama sebenarnya) sejak 2018, mesti intens mendapatkan pendampingan psikologis. Ia trauma berat akibat teror hingga Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang begitu mengguncang jiwanya. 

Semua bermula saat Sarah tengah terdesak membutuhkan sejumlah uang. Dia pun, tak punya pilihan hingga harus meminjam di aplikasi pinjaman online (pinjol). Bunga yang tinggi, tentu saja memberatkan bagi peminjam seperti halnya Sarah. Tak mau peduli, selama penagihan itu debt collector yang menghubungi korban justru melakukan ancaman-ancaman hingga melecehkannya.  

“Kamu kirim deh, video kamu nari telanjang di rel divideoin. Nanti, saya (debt collector) akan anggap utang kamu lunas,” ujar pendamping korban yang juga Pengacara LBH Jakarta, Jenny Silvia Sari Sirait, dalam Live IG Awas KBGO beberapa waktu lalu. 

Sarah ternyata tak sendiri, Jenny yang mendampingi kasus KBGO di pinjol menemukan banyak pola yang serupa. Mulai dari penyebaran konten seksual seperti gambar alat kelamin, mengedit foto telanjang dan disebarkan ke seluruh kontak korban, hingga ancaman eksploitasi seksual.

“Ada debt collector juga yang bilang, ya udah gue ‘beli’ deh Lo. Gue bayarin hutang Lo, terus gue tambah duit Rp 100 ribu terus, kalau korbannya laki-laki, ya udah deh istri Lo aja tidur sama gue,” ujar Jenny menirukan salah satu ucapan pelaku kepada korban.

Dan kasus KGBO makin melonjak tajam saat pandemi Covid melanda. Hal ini karena banyak masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi akibat pandemi.

Dalam statistik cekrekening.id tertera bahwa pada Juni 2020 jumlah laporan pengaduan rekening hanya berjumlah 194 rekening, tetapi pada Mei 2021 meningkat drastis menjadi 2.403 rekening. 

Jenny pun menyebut, modus pelaku KGBO beragam. Ada yang melakukan kekerasan lewat pesan singkat atau texting, sambungan telepon, sampai foto dan video. 

Berdasarkan panduan yang dirilis Safenet, KBGO ini merujuk pada jenis kekerasan yang difasilitasi teknologi (ranah online), dengan maksud atau niatan melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual. 

Beberapa aktivitas yang dikategorikan KBGO di antaranya, pelanggaran privasi, pengawasan dan pemantauan termasuk menguntit atau stalking, perusakan reputasi dan kredibilitas hingga pelecehan di ranah online berupa online harassment, komentar kasar/seksis, ujaran kebencian, hingga penggunaan gambar tak senonoh. 

Selama mendampingi kasus, Jenny mencatat, perempuan memang lebih rentan mengalami tindak kekerasan termasuk KBGO dalam pinjol ini.

Jika dipersentasekan, perempuan bahkan menempati posisi mayoritas sebanyak 72% dibanding laki-laki yang berkisar 28% sebagai korban pinjol. 

Lagi-lagi perempuan yang banyak jadi korban kekerasan ini, menurutnya tak lepas dari peran ganda perempuan. Di budaya patriarki, perempuan mesti yang harus memikirkan kecukupan kebutuhan rumah tangga dan keluarga. Ibaratnya, suami mau memberi seberapa pun ‘jatah’ harus bisa cukup. Padahal seringnya, jumlah keperluan yang harus dibayar jauh lebih besar. 

Di satu sisi, masih banyak pula masyarakat termasuk perempuan yang tidak masuk dalam kategori bisa mengakses layanan perbankan (unbankable) yakni sekitar 60%. Mau tak mau, kebutuhan mendesak mereka untuk meminjam di pinjol, yang mirisnya masih banyak problemnya. Baik dari sisi keamanan data pribadi, bunga yang mencekik hingga ancaman KBGO. 

“KBGO sering terjadi, pinjol bisa akses di media berupa foto di galeri kita, kemudian bisa diedit dengan foto telanjang yang disebarkan ke kontak gawai kita. Banyak banget,” kata dia.

Di situasi maraknya KBGO di pinjol ini, Jenny sangat menyayangkan bahwa belum ada aturan tegas yang mengakomodir kebutuhan para korban. Selain itu, tindak lanjut atas pelaporan korban KBGO pinjol juga masih sangat minim. Jika pun ada, hanya sebatas sanksi bagi debt collector sementara perusahaan masih bisa beroperasi. 

“Untuk nilai (utang) yang tak begitu besar. Seringnya ada harga (KBGO) yang begitu besar. Dan negara bungkam itu problemnya,” tegasnya. 

Apa yang bisa dilakukan  saat jadi korban KBGO di pinjol?

Jenny mengimbau, para korban pinjol termasuk KBGO bisa menghimpun diri dalam komunitas. Ini menjadi penting agar korban tidak merasa sendiri dan bisa melewati kesulitan bersama-sama. Saling menguatkan, sebab banyak dari korban pinjol yang mengalami banyak hal yang sulit seperti kehilangan pekerjaan, dimutasi dari pekerjaan, bercerai, pelecehan seksual dan kekerasan berbasis gender lainnya hingga bunuh diri. 

Sementara, jika masih akan atau sedang meminjam di pinjol, Jenny mengingatkan agar selalu waspada dan menyimpan setiap bukti-bukti saat terjadinya tindak kekerasan. Setelah itu, bisa dilaporkan ke pihak berwajib seperti Polres ataupun Polda. 

Sejak 2018 hingga saat ini, LBH Jakarta terus mendapatkan pengaduan terkait permasalahan pinjaman online. Umumnya pengaduan yang diadukan adalah seputar proses penagihan yang penuh teror dan intimidatif, adanya ancaman kekerasan, penyebaran data pribadi, hingga pelecehan-kekerasan seksual online yang dialami oleh nasabah/debitur pinjaman online.

Tercatat ada lebih dari 5000 pengaduan kasus terkait permasalahan pinjaman online yang masuk ke LBH Jakarta dalam 3 (tiga) tahun terakhir.

LBH Jakarta lantas melakukan advokasi bantuan hukum struktural terkait permasalahan pinjaman online ini, khususnya dalam hal mendorong kebijakan perlindungan bagi nasabah/debitur pinjaman online di level perumusan regulasi oleh instansi pemerintahan.

Namun di sisi lain, LBH Jakarta tidak dapat melakukan pendampingan terhadap kasus per kasus yang diadukan, mengingat betapa sangat banyaknya kasus yang diadukan ke LBH Jakarta.

Selama ini rata-rata pengadu sangat membutuhkan saran dan rekomendasi langkah-langkah pragmatis serta efesien untuk dapat segera menyelesaikan permasalahan kasus yang menimpa dirinya secara individual.

Banyak korban pinjol ini kemudian diteror, ini yang paling banyak mereka alami, tak hanya mereka yang diteror, namun juga teman, keluarga atau orang-orang yang nomer teleponnya tersimpan dalam handphone peminjam, karena biasanya para peminjam ini harus menyerahkan data pribadi ketika akan meminjam uang pada perusahaan pinjol. Inilah yang membuat rentannya data pribadi

LBH Jakarta pernah merilis ‘Self Help Tool Kit: Bagaimana Mengatasi Permasalahan Hutang Pinjol dan KBGO’ yaitu bisa dilakukan dengan membuat laporan pidana di Kepolisian dengan menyiapkan bukti-bukti seperti rekaman suara, rekaman video, tangkapan teks pesan, dan saksi-saksi.

Selain itu, bisa juga membuat laporan atau aduan khusus adanya KBGO secara langsung maupun bersurat ke Komnas Perempuan. Ini sesuai dengan amanat Pasal 4 Perpres RI No. 65 Tahun 2005 bahwa Komnas Perempuan mempunyai sejumlah wewenang untuk pemantauan, termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian tentang segala bentuk kekerasan perempuan dan pelanggaran HAM perempuan.  

Dirinya juga mengatakan, para korban KBGO di pinjol yang ada di Jabodetabek bisa pula melaporkan kasus yang dialaminya ke LBH Jakarta. Caranya, bisa melalui email ataupun menelepon secara langsung. Korban nantinya bisa mendapatkan konsultasi dan pendampingan secara hukum. Selain itu, juga bisa mendapatkan rujukan lembaga pemulihan psikologis atas trauma yang dialami korban. 

Perempuan sangat rentan mengalami tindak kekerasan termasuk KBGO dalam pinjol. Mayoritas atau  72% korban KGBO di pinjol adalah perempuan. Ini tak lepas dari peran ganda perempuan.

Dalam budaya patriarki, selain mengurus rumah tangga, perempuan juga mesti memikirkan kecukupan kebutuhan rumah tangga dan keluarga, apalagi di masa pandemi. Inilah yang membuat perempuan terjerat dalam mekanisme perusahaan pinjol.

(Artikel ini merupakan Program ‘KEDAP atau Konde dan Kalyanamitra Program: Peliputan Kondisi Perempuan Marginal di Tengah Pandemi Covid-19’ Konde.co yang didukung oleh Kalyanamitra. Hasil peliputannya dapat dibaca di Konde.co setiap Senin secara Dwi Mingguan)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!