Menagih Janji Zavilda TV Take Down Konten Bermasalah

Agustus lalu Zavilda TV membuat video permohonan maaf atas konten yang dinilai tidak mencerminkan toleransi dan mengobjektifikasi tubuh perempuan. Dalam video tersebut Zavilda juga berjanji akan take down konten yang dipermasalahkan publik. Namun hingga hari ini konten-konten tersebut, masih ada di kanal Youtube-nya.

Sebuah video permohonan maaf dari Zavilda TV diunggah di kanal Youtube pada Agustus lalu. Video tersebut diunggah setelah konten video yang dibuat Zavilda TV menuai kecaman publik.

“Saya juga mohon maaf banget sebesar-besarnya kepada kalian semua, saya juga ucapkan terima kasih buat kalian semua atas tegurannya, atas nasihat yang baiknya,” ucap Zavilda. Video ini tayang di kanal YouTube Ezagio VR dan telah ditonton sebanyak 90 ribu kali.

Dalam video tersebut Zavilda tak sendirian, ia ditemani dua orang timnya dan seorang responden yang sempat muncul di salah satu videonya. Video berdurasi 32 menit itu berisi statement yang berupaya “meluruskan” apa yang tengah ramai diperbincangkan oleh publik, serta permohonan maaf atas kesalahan yang ada di konten-kontennya yang viral di media sosial. Zavilda pun berjanji akan melakukan take down atas konten-kontennya tersebut.

“Meluruskan”? “Permohonan maaf”? Apa yang coba Zavilda luruskan? Apa yang ia sesali hingga video klarifikasi ini muncul di kanal publik?

Tepatnya di bulan Juli lalu, berbagai media sosial ramai memperbincangkan Zavilda TV. Bahkan nama Zavilda sempat hinggap di kolom trending Twitter. Tak hanya memicu kemarahan netizen, seruan untuk melakukan report terhadap kanal YouTube Zavilla TV pun banyak disuarakan oleh para pengguna di platform media sosial lain seperti Instagram, YouTube, dan TikTok.

Perbuatan yang dilakukan Zavilda TV ini telah melanggar UU ITE No.11 Tahun 2008 dan Pasal 29 UUD 1945 karena memakai unsur pemaksaan pada perempuan untuk menggunakan hijab dengan narasi yang merendahkan, mengintimidasi korban di ruang publik, dan mempublikasikan tanpa izin dengan tujuan komersial.

Hal tersebut terlihat dari beberapa cuplikan video dari akun Zavilda TV yang tersebar luas di media sosial. “Boleh izin tutup auratnya gak ka?” tanpa salam, tanpa sapaan, itulah kalimat pertama yang ia lontarkan kepada seorang perempuan yang tengah duduk sendirian di kursi taman dalam salah satu videonya. Betapa pun perempuan itu menolak dan mencoba pergi, Zavilda tetap bersikukuh memakaikan hijab dan memberikan ceramah kepadanya. Ternyata hal ini yang mengundang amarah publik.

Melihat fenomena yang meresahkan ini, kami melakukan wawancara melalui pesan tertulis terkait kasus ini kepada beberapa mahasiswa untuk mengetahui tanggapan mereka terkait konten Zavilda TV.

Pandangan Mahasiswa Terhadap Konten Zavilda TV

Sorotan publik terhadap konten Zavilda TV salah satunya tertuju pada pendekatan yang digunakan, seperti diungkapkan Desy Ratnaningtyas mahasiswa Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Padjadjaran.  

“Menurut aku cara penyampaiannya yang salah yang menyebabkan banyak orang menjudge hal ini, karena setelah liat videonya yang sempat viral pun jujur tidak nyaman. Kalau dilihat kembali ini bukan hanya sekadar social experiment, (tapi) terkesan mengarah ke berdakwah, namun konteks berdakwah di sini (yang) dipertanyakan,” tuturnya.

Desy menambahkan bahwa tujuan dakwah yang dilakukan Zavilda memanglah baik. Namun, pendekatan yang cenderung memaksa dan terlalu mengekspos tubuh perempuan di thumbnail-nya itulah yang salah dan tidak etis dilakukan.

Penggunaan tubuh perempuan untuk mendulang penonton juga disorot oleh Eri Susanti (21), seorang mahasiswa asal Bandung. Seperti diungkapkannya, “Ternyata masih ada orang yang memiliki paham seperti itu dimana mengobjektifikasi tubuh perempuan, melakukan penistaan agama dan juga menggiring opini negatif akan tubuh perempuan.”

Eri merasa sangat geram dan marah karena selain dilakukan oleh Zavilda, hal ini kerap kali dinormalisasi oleh sebagian masyarakat. Menurutnya, alih-alih memaksa orang lain ikut menganut kepercayaan kita, beragama sebenarnya bertujuan untuk mendapatkan ketenteraman dan kesejukan.

Andai Mereka Menjadi Korban Dari Konten Zavilda TV

Kami juga menanyakan perasaan para mahasiswa yang sudah menonton konten Zavilda TV seandainya mereka berada di posisi sebagai korban dari konten tersebut. Tidak nyaman adalah perasaan yang secara umum diungkapkan oleh para narasumber.  

“Kalau aku ada di posisi narasumber jujur aku sangat tidak nyaman (dengan) hal ini, apalagi dibuat konten (yang) jelas ditonton oleh publik seperti ini … (yang) di highlight di sini kan social experiment ya, namun yang dilakukan malah menyimpang dari ranah social experiment sendiri dan menjurus ke hal privasi,” jawab Ratna.

Konsep social experiment yang menjadi fokus dalam konten Zavilda TV seolah tersamarkan oleh wawancara yang menjurus pada ranah privasi seperti agama. Bahkan menurutnya konten ini menyalahi esensi berdakwah.

Sama-sama merasa tidak nyaman, Aprecelia Sekarhany (20), seorang mahasiswa asal Bandung mengatakan, “Saya pribadi tidak suka dan akan menolak karena ga semua orang harus memakai hijab, setahu saya kalau memakai hijab itu kemauan pribadi bukan karena paksaan”.

Lebih dari sekadar perasaan tak nyaman, menurut Eri konten-konten Zavilda TV berpotensi menimbulkan kecemasan pada korban.

“Sangat tidak nyaman dan merasa seperti di bawah tekanan, selain itu juga saya pastinya akan langsung overthinking seperti memikirkan hal ‘apakah cara berpakaian saya salah’ atau ‘apakah benar apa yang dikatakan oleh komentar Zavilda TV,’” paparnya.

Eri beranggapan bahwa judul dan komentar Zavilda bersifat menghakimi perempuan dari cara berpakaiannya. Perempuan dengan pakaian terbuka dihakimi seolah-olah sangat berdosa.

Apakah Konten Zavilda TV Merepresentasikan Toleransi?

Kami juga bertanya kepada para mahasiswa tentang makna toleransi menurut mereka. Saling menghargai dan menghormati adalah poin utama toleransi menurut mereka.

“Toleransi menurut saya menghargai dan menghormati antar agama dalam arti kita gak boleh memaksa (orang) untuk menganut agama kita, tidak menghina antar agama,” jawab Aprecelia.

“Sebenarnya basic, menurut saya toleransi itu saling menghormati dan juga menghargai manusia lain dengan tujuan untuk memanusiakan manusia. Jika berbicara mengenai toleransi agama, mungkin akan sama juga saling menghormati dan menghargai, namun mungkin ditambah dengan tidak memaksakan kehendak atau kepercayaan yang dipercayai oleh satu individu atau kelompok ke yang lainnya,” jelas Eri.

“Menghormati tanpa memaksa” suara yang sama dikatakan oleh Aprecelia dan Eri. Konsep beragama menurut Eri sangatlah beragam dan rumit adanya. Setiap orang memiliki caranya masing-masing dalam menjalin hubungan dengan tuhan. Pun beragama bisa dijadikan wadah untuk mengekspresikan diri dengan menggunakan hijab, misalnya. Sebagian lainnya mungkin tidak mengekspresikannya dengan atribut-atribut keagamaan.

“Toleransi itu kita saling menghargai satu sama lain, tanpa menjatuhkan pihak lain,” tambah Ratna. Konten Zavilda ini, menurutnya, seakan-akan memperlihatkan bahwa dirinya lebih baik daripada para respondennya secara agama.

Selain menanyakan pertanyaan-pertanyaan di atas, kami juga mencoba membandingkan konten Zavilda TV dengan seorang kreator konten bernama Zahra Berro yang menyajikan konten serupa dengan pengemasan yang berbeda.

Mereka menilai positif konten yang diproduksi Zahra. Seperti diungkapkan Eri, “Karena konten yang dibuat oleh Zahra Berro tidak melakukan objektifikasi pada perempuan atau komentar-komentar judge lainnya juga. Bahkan pendekatannya sangat-sangat sopan dimana dia menjelaskan apa itu hijab dan dia menanyakan dulu consent orang-orang saat akan menggunakan hijab seperti apakah mau coba menggunakan atau tidak.”

“Ini baru yang namanya social experiment, dimana host mengenalkan kultur hijab orang muslim kepada orang-orang (untuk) mencoba memakainya dan menanyakan pendapatnya mengenai hijab ini,” sanjung Ratna.

Konten satu ini justru mendapat kesan positif karena pengemasannya yang lebih baik tanpa unsur objektivitas terhadap tubuh perempuan. Pendekatan yang dilakukan oleh konten kreator pun dilakukan dengan lebih ramah tanpa paksaan.

Harapan Atas Konten Zavilda TV Yang Belum Di-Take Down

Meskipun dalam video yang diunggah bulan Agustus tersebut Zavilda berjanji akan men-take down videonya, tetapi hingga hari ini belum juga dilakukan.

“Harapan saya semoga Zavilda TV dapat segera men-take down video-video yang ada di akun youtubenya karena isi kontennya sangat menggiring opini negatif terhadap tubuh perempuan dan juga tidak bertanggung jawab atas kegaduhan yang terjadi,” ungkap Eri.

Ia pun berharap keadilan bisa ditegakkan bagi para responden yang menjadi korban yang sudah meminta take down video, tapi hingga kini belum kunjung dilakukan. Pun suara korban responden tentang apa yang ia alami bisa terdengar lantang tanpa dibungkam.

Sependapat dengan Eri, Ratna menambahkan bahwa untuk pembuatan konten semacam ini perlu ada izin dan penjelasan terlebih dahulu kepada para responden. “Untuk korban sendiri, jika ada orang yang akan mewawancarainya kedepannya apalagi orang asing, sebaiknya tanyakan lebih dahulu tujuan dan maksudnya,” tulisnya.

“Harapan saya tidak terjadi lagi konten yang tidak mendidik seperti itu karena akan merusak nama baik agama. Harapan saya tidak terulang (lagi) kejadian seperti ini karena tidak mencerminkan bhinneka tunggal ika yang ada di Indonesia,” kata Aprecelia.

Penyimpangan konsep dakwah dan toleransi, hingga objektifikasi terhadap tubuh perempuan menjadi problem dari konten-konten yang disajikan Zavilda TV. Berbagai dampak buruk bisa saja terjadi akibat konten-konten tersebut, seperti rasa tidak nyaman bagi masyarakat hingga bahaya yang mengancam kaum Muslim lain.

Dengan adanya video klarifikasi, Zavilda TV telah meluruskan kesalahpahaman masyarakat terhadap konten-kontennya yang disebut memaksa. Ia mengatakan bahwa semua konten telah mendapat persetujuan dari responden social experiment-nya dan tidak ada settingan yang memaksa responden mengenakan pakaian terbuka. 

Di luar itu, judul video dan thumbnail yang ditampilkan tetap membuat masyarakat luas tidak nyaman adanya. Perkara pelecehan yang ia lakukan juga sama sekali tidak disinggung dalam videonya. Ia berjanji akan melakukan take down terhadap konten-kontennya. Namun, hingga tulisan ini dibuat, tepatnya setelah dua bulan berlalu, konten-konten yang dijanjikan akan di-take down itu masih ada di kanal YouTube Zavilda TV. Lantas akankah Zavilda menepati janjinya? Akankah ia belajar dari kejadian ini? Akankah harapan publik bisa terwujud?

Nabilla Lynne

Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran yang tertarik dengan bidang gender dan penulisan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!