Hati-Hati Mengisi Formulir Online, Kamu Bisa Jadi Korban KBGO Berikutnya

Pasti kamu pernah mengisi data pribadimu di formulir online, apalagi saat pandemi seperti ini. Ternyata beberapa perempuan menjadi korban dari pengisian formulir online ini, yaitu diteror oleh pembuat formulir lewat telpon

Suatu malam di bulan Juli 2020, Tata mendapati sebuah pesan masuk di WhatsApp (WA) pribadinya.

Nomor tak dikenal itu awalnya sebatas basa-basi saja menanyakan:

“Lagi ngapain?.”

Kondisi badan yang sudah capek seusai latihan teater, Tata pun tak berniat membalas. Lagi pula saat itu, dia juga mengira bahwa pesan singkat yang dia terima itu berasal dari seorang kenalan yang belakangan mendekatinya, namun berlaku tidak menyenangkan, makanya dia mengabaikannya, lalu melakukan block.  

“Ada laki-laki mendekati aku dengan chat, tapi arahnya mengarah ke seksual. Saya gak suka dan saya ignore (abaikan). Saya kira itu dia, saya tidur,” cerita Tata di diskusi daring yang diselenggarakan Combine, Jumat (17/9/2021). 

Sadar telah diabaikan, pada tengah malamnya, pemilik nomor tak dikenal itu menelpon Tata. Bernada tinggi, dia membentak dan mengatai Tata. “Dia sudah marah-marah, ngapain kamu block? Sombong sekali! Hapus block itu,” kata dia. 

Tata mematikan telepon. Namun nomor itu terus menghubunginya. Bahkan, laki-laki dalam sambungan telepon itu juga mengancam akan mendatangi rumah Tata yang dihuni oleh anak dan orang tua. Dia pun menakut-nakuti Tata, bakal membongkar masa lalunya dan menyebarkannya.

“Aku tau kamu, aku tau masa lalumu. Lapor aja ke polisi, aku akan cari ke rumahmu,” teror laki-laki itu. 

Meski diselimuti kepanikan dan ketakutan, tetap berusaha tenang: dia sempat merekam percakapannya di telepon dan menyimpan bukti-bukti chat. Tata lantas mengirimkan voice note (VN) ke beberapa teman atas kejadian yang baru saja menimpanya. 

“Saya punya rekan yang bisa melacak nomor telepon, dan munculah nama yang pernah saya dengar namanya tapi gak dekat. Saya cari di sosmed (identitas pelaku) dan saya dapatkan, ternyata kita pernah ketemu di Bali,” kata Tata. 

Laki-laki itu, seingat Tata adalah seorang penjual buku yang pernah dia temui saat berkunjung ke Bali. Saat itu, memang dia sempat memintanya untuk mengisi formulir pengunjung toko yang berisikan nama, nomor telepon dan alamat. Benar-benar tak disangka! Laki-laki itu bisa menyalahgunakan identitas di lembar formulir itu, yang Tata pikir akan digunakan sekadar kepentingan komunitas buku. 

“Saya gak nyangka dia bisa sampai mengancam seperti itu,” imbuhnya. 

Berniat mencari perlindungan, Tata pun melaporkan ke polisi bagian cyber crime, setelah dia diskusi ke temannya yang bekerja di Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Di samping, dia juga mendownload sebuah aplikasi yang bisa otomatis panggilan dan chat dari nomor tak dikenal. Agar sementara bisa aman dari gangguan dan ancaman yang mungkin muncul lagi. 

Di kepolisian itu, tak dinyana, Tata malah mendapatkan perlakuan yang tidak layak: bukan saja diremehkan atas laporannya, namun juga dihakimi (judge), bahkan diabaikan. 

“Saya agak menyesal melaporkan hal ini (KBGO) ke polisi. Mereka tidak menerima saya secara formal laporan, saya sudah membawa bukti screenshot (SC) IG dan FB, telepon. Tapi tanggapan polisi, awalnya meremehkan, ‘kamu kan gak diapa-apain, dia kan gak nelpon lagi Kamu hubungi dia lagi aja, bilang kamu di kantor polisi,” ujar Tata menirukan perlakuan polisi saat itu kepadanya. 

Tak hanya sampai di situ, Tata juga merasa dihakimi ketika polisi itu malah menanyakan “Masa lalu apa yang kamu sembunyikan? Sampai setakut itu.”

“Kamu kali yang goda. Oh, kamu sudah punya anak? Single Mom? Oh pantesan,” kata polisi itu lagi, sambil melihat Tata dari ujung kaki ke ujung kepala. Pandangan polisi itu, membuat Tata begitu risih dan merasa ‘diremehkan’. 

Menyoal kekerasan berbasis gender di media daring, Anggie Aryadinata juga pernah mengalami hal serupa. Niatnya untuk menjalin pertemanan lewat sosial media seperti facebook (FB) pun, berujung pada perlakuan yang tidak menyenangkan. Dia malah dapat pelecehan dan korban penyebaran foto dan video porno tanpa konsensual. 

“Dari negara Timur Tengah mereka memanggil teman biasanya sweet, kayak darling tapi kemudian ada yang mengarah ke seksualitas. Mereka pasti minta foto, itu gak aku tanggapi, langsung ada telepon. Beberapa bulan ini, ada 5 orang, mereka kirim foto porno, bugil, jelas banget alat kelaminnya,” terang Anggie. 

Bahkan pernah suatu kali, Anggie mendapatkan kiriman video adegan hubungan seksual (HS). Itu bikin Anggie sangat tidak nyaman. Ketika dia menegur pelaku itu, bahwa dia akan melaporkan atas tindakan pelecehan secara digital. Namun, pelaku itu tidak bergeming.  

“Mereka gak peduli. Gak ada takut-takutnya. Sudah aku block, dikirim lagi,” kata dia. 

Berbeda dengan Tata, Anggie memilih untuk tidak melaporkan Kekerasan Berbasis Gender Online/ KBGO yang dialaminya ke aparat penegak hukum. Dia lebih memilih untuk tindakan pengamanan akun sosial media dan mencari support system dari teman-teman jaringan yang dia ikuti. 

“Kita tau karakteristik polisilah, kalau cuma diancam, ya laporan kita diabaikan. Kalau kita mau aman, ya block aja,” ujarnya. 

KBGO: Kasus Tinggi, Penegakan Hukum Minim 

Angka kasus KBGO terus meningkat kala pandemi. Berdasarkan catatan akhir tahun (Catahu) LBH Apik Jakarta, pada tahun 2020, terdapat 1.178 aduan yang masuk. KBGO menempati posisi kedua sebanyak 307 aduan kasus atau naik 7 kali lipat sebelum pandemi, setelah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 418 kasus. 

Dampak yang dialami korban KBGO ini berupa ketakutan, trauma dan korban rentan mendapatkan ancaman penyebarluasan data pribadi, penyebaran visual intim dan berpotensi mengalami kriminalisasi dengan jeratan UU Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 8 tahun 2011 tentang ITE dan UU Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi. 

Dari refleksi penanganan kasus LBH Apik Jakarta, sepanjang 2020, kondisi penegakan hukum masih belum membaik. Ini dikarenakan, masih ada pola struktural penanganan kasus yang sama dari tahun ke tahun. Yakni, aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, advokat yang masih kurang berperspektif korban dan pengetahuan KBGO yang minim.

Situasi ini, didukung oleh budaya hukum di masyarakat yang masih lemah untuk dukungan terhadap perempuan korban kekerasan. 

“Hal ini seringkali memberi dampak negatif pada korban berupa reviktimisasi, dikriminalkan atau dianggap dirinyalah yang harus bertanggung jawab atas kekerasan yang dialaminya,” tulis laporan LBH Apik Jakarta, 2020. 

Koordinator Pelayanan Umum LBH Apik Jakarta, Uli Pangaribuan pun menyampaikan kendala penanganan kasus KBGO, selama ini masih banyak terjadi. Tak terkecuali kaitannya dengan penegakkan hukum yang belum optimal. Seperti, minimnya alat bukti dengan pola kasus yang rumit, penentuan yurisdiksi tempat terjadinya tindak pidana, forensik digital yang lengkap hanya ada di Polda Metro Jaya dan Mabes Polri, substansi hukum yang bermasalah, sidang kasus KBGO dilakukan secara terbuka hingga ahli yang terbatas untuk mengaitkan KBGO dan UU ITE. 

“Perspektif APH (aparat penegak hukum) yang menyudutkan korban sampai korban yang ketakutan sementara pelaku tidak dikenal,” imbuh Uli. 

Ragam Upaya 

Upaya mendorong KBGO bisa tertangani baik, sebetulnya sudah banyak dilakukan. Termasuk, mengupayakannya dalam RUU PKS hingga advokasi di tingkat daerah. Misalnya saja, memasukkan isu perempuan dalam Rencana Aksi Daerah (RAD) Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang tertuang dalam PERGUB DKI Jakarta Nomor 156 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Daerah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Tahun 2017-2022 di DKI Jakarta. 

Terbaru per 30 Agustus 2021, Pemprov DKI Jakarta baru saja mengeluarkan surat  edaran dalam upaya pencegahan dan penanganan tindakan pelecehan seksual di lingkungan kerja pemerintah provinsi DKI Jakarta. Termasuk soal KBGO yaitu pelecehan lisan, termasuk ucapan verbal/komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang, lelucon dan komentar bernada seksual. Ada pula, pelecehan tertulis atau gambar, termasuk menampilkan bahan pornografi, gambar, screen saver atau poster seksual atau pelecehan lewat email dan moda komunikasi elektronik lainnya.

Hingga, pelecehan psikologis/emosional, termasuk permintaan atau ajakan yang disampaikan secara terus menerus dan/atau tidak diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat seksual.

Pelapor (baik korban maupun saksi) dapat menyampaikan aduan/laporan tindakan pelecehan seksual yang dilakukan terlapor (pegawai atau setiap orang yang memiliki hubungan kerja di lingkungan kerja pemerintah provinsiDKI Jakarta) secara tertulis melalui kanal aduan pada laman https://bkddki.jakarta.go.id/pengaduan.

“UPT P2TP2A memberikan asesmen awal terhadap aduan/laporan, perlindungan dan pendampingan terhadap pelapor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Badan Kepegawaian Daerah melakukan pemeriksaan terhadap terlapor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” tulis Surat Edaran Pemprov DKI Jakarta. 

Linda Tagie dari Komunitas Lowewini, sebuah ruang bertemu dan berkumpul bagi anak-anak dan orang muda untuk belajar isu HKSR dan Gender, juga memberikan tips singkat untuk perlindungan diri dari KBGO. Di antaranya, memisahkan akun pribadi dan publik, tidak sembarang membagikan data pribadi seperti nama lengkap, nama ibu kandung, nomor HP, email dan alamat rumah di sosial media. Perlu pula mengaktifkan 2 step verification, hati-hati URL yang disingkat, hingga hindari berbagai lokasi. 

“Jaga kerahasiaan password HP, laptop dan media sosial. Juga hindari menggunakan aplikasi pihak ketiga,” kata Linda. 

Sementara itu, Linda juga menyampaikan, pendampingan korban KBGO juga perlu memperhatikan berbagai hal. Misalnya saja, mendengarkan tanpa menghakimi, mengupayakan mitigasi bagi korban, hingga menceritakan kisah korban dengan tetap menjaga kerahasiaan identitas korban.

“Jika memungkinkan, juga bisa dilakukan kampanye solidaritas,” pungkasnya.  

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!