Perempuan yang Bekerja Dalam Senyap: Para Pendamping Korban Kekerasan Seksual

Para perempuan pendamping korban kekerasan seksual adalah orang-orang yang selama ini bekerja dalam senyap. Tak banyak terlihat dalam hiruk pikuk dan tercium oleh massa. Padahal mereka sarat dengan ancaman, stres dan trauma seperti halnya korban.

Memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Selama 4 hari yaitu 22-25 November 2021, Konde.co menayangkan artikel khusus tentang trauma dan perlawanan korban “Trauma Korban: Tribute untuk Korban Kekerasan dan Pelecehan Seksual.” Upaya ini dilakukan agar para korban bisa bercerita, menuntaskan persoalan dan traumanya.

Merasa stres dan trauma, kondisi ini tak hanya dialami korban-korban kekerasan seksual, namun juga dialami para pendamping korban

Seorang perempuan pendamping korban kekerasan seksual, pernah mendapatkan ancaman dari laki-laki suami korban, pernah juga diejek karena dianggap tak tahu adat.

Para pendamping korban adalah orang-orang yang selama ini bekerja dalam senyap.

Ada seorang pendamping korban kekerasan seksual lainnya yang bercerita kepada Konde.co. Ia pernah merasakan depresi yang sangat karena tak tahan dengan penderitaan korban yang didampinginya.

Dia harus menolong korban, tapi dia juga harus menolong dirinya sendiri. Kisah seperti ini jarang sekali untuk ditulis atau diungkap, karena pendamping korban kebanyakan selalu diposisikan sebagai orang yang kuat. 

“Janganlah kau bikin malu pada budaya yang kita punya!,” komentar miring seperti ini sering diterima Martha Hebi dan para relawan pendamping korban di Sumba Barat Daya dengan apa yang selama ini mereka kerjakan.

Martha Hebi adalah salah satu pendamping korban kekerasan seksual yang gigih. Ia selalu aktif bergerak memerangi persoalan kekerasan seksual di Sumba, seperti kawin tangkap yang banyak terjadi di sana

Kawin tangkap merupakan tradisi lama di Sumba. Dalam tradisi ini perempuan diculik untuk menjalani perkawinan yang tidak diinginkannya.

Sejumlah pegiat perempuan di Sumba mendorong pemerintah setempat untuk tegas melarang praktik kawin tangkap karena ini merupakan bentuk ketidakadilan yang berlapis pada perempuan, namun mereka sering menemui kendala

Sebagai aktivis atau perempuan pembela Hak asasi Manusia (HAM), mereka sering mendapatkan stigma, para relawan SOPAN Sumba ini juga sering mengalami intimidasi.

Tidak sedikit dari mereka yang stress karena merasa gagal menjadi pendamping atau bahkan depresi karena tak sanggup merasakan penderitaan korban yang didampinginya.

Martha Hebi dalam perbincangannya dengan Konde.co pada Selasa (22/11/2021)  mengisahkan, bagaimana seorang relawan SOPAN di Sumba Tengah mengalami stress berat karena terlalu memikirkan nasib korban yang didampinginya.

“Dia tak tahan, melihat korban yang tidak mendapatkan perawatan sebagaimana semestinya sehingga alat reproduksi cidera berat karena diperkosa oleh 10 orang,” ujarnya getir.

Kegetiran Martha kian menjadi. Karena para relawan pendamping ini tidak bisa mendapatkan psikolog yang bisa membantu mereka. Sehingga tak ada cara lain yang bisa mereka lakukan selain berusaha menolong diri sendiri.

Kondisi yang hampir sama juga dialami Yusdarita, pendamping korban kekerasan seksual di Kabupaten Bener Meriah, Aceh. Perempuan yang sudah aktif menjadi pendamping sejak tahun 1990an.

Dari tahun itu, bukan sekali dua kali Yusdarita menghadapi ancaman baik secara fisik maupun verbal.

Saat turun ke lapangan, tak jarang Yusdarita dan kawan-kawannya coba dibuat ciut nyalinya agar mundur dari upaya pendampingan yang dilakukan. Di depan mata Yusdarita, pelaku secara demonstratif menunjukkan senjata tajam, seolah memberi isyarat, jika mereka masuk penjara maka Yusdarita dan timnya harus ikut bertanggung jawab.

“Masih banyak warga Aceh yang memandang kami terlalu ikut campur dalam urusan yang dianggap sebagai urusan keluarga sehingga tidak pantas untuk dicampuri oleh orang luar,” ujar Yusdarita saat berbincang dengan Konde.co, Rabu (24/11/2021).

Ia juga sering menemukan tembok yang menghalanginya  untuk memberikan pendampingan yang maksimal agar para korban mendapatkan keadilan. Bukan hanya sekali, kasus yang didampingi Yusdarita mentok di polisi dengan alasan tidak cukup bukti.

Perasaan Yusdarita kian tertekan, jika korban kekerasan itu adalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa.

“Perempuan yang menjadi korban sering diposisikan sebagai penggoda yang menjadi penyebabkan kekerasan itu terjadi. Meskipun itu anak-anak,” ujarnya geram

Stigma sebagai rombongan orang gila menjadi hal yang sering dialami Yusdarita. Kadang ia merasa gagal dan stress, tapi Yusdarita tak mau berlama-lama berkubang dengan kegagalannya. Karena kalau ia berhenti, maka siapa lagi yang akan mendampingi para korban.

“Saya tidak hanya merasa gagal, tetapi juga marah pada diri sendiri dan ingin berhenti. Tapi biasanya hanya satu hari, esoknya sudah jalan lagi. Pasalnya kalau saya berhenti, bagaimana nasib para korban,” imbuhnya.

Yusdarita juga tak mau terlalu meresahkan ancaman yang diterimanya. Dia lebih suka memikirkan apa yang dialami korban dan apa yang bisa dilakukan. Ia lebih suka mencurahkan energinya meresahkan nasib korban ditangani secara salah oleh aparat yang tidak berpihak pada korban. Dia lebih suka energi, waktu, dan perasaannya terkuras untuk memperjuangkan nasib korban kekerasan seksual

“Lebih berat melihat korban perkosaan dipaksa menikah dengan pelaku atau bahkan diusir dari desa tempat dia tinggal,” cetusnya.

Ia melanjutkan, saat ini di Bener Meriah, orang yang peduli dengan kekerasan pada perempuan dan anak masih sangat terbatas. Sementara korban terus berjatuhan, sehingga pendampingan harus tetap berjalan.

Kondisi ini membuat Yusdarita harus senantiasa merawat semangatnya agar bisa terus  mendampingi korban kekerasan meski sedang menjalani kemoterapi atas kanker yang diidapnya. 

“Terima kasih sudah menjadi teman menumpahkan uneg-uneg saya,” ujarnya di ujung telepon saat perbincangan dengan Konde.co akan berakhir kemarin pagi.

Kondisi yang sama juga dialami seorang pendamping korban kekerasan seksual di sebuah Puskesmas di kawasan Pasar Minggu, Jakarta.

Ia bercerita dalam sebuah diskusi yang dihadiri Konde.co, ia sering kepikiran atas apa yang dialami korban. Yang ia sedihkan justru ketika korban ditangani penegak hukum yang tak berpihak pada korban. Dia merasa energi, waktu, dan perasaannya terkuras saat polisi memproses secara hukum kasus yang dialami korban dengan penanganan yang salah.

Pikiran-pikiran inilah yang sering dialami pendamping korban. Maka tak gampang tentu menjadi pendamping korban, karena pendamping harus menghadapi pelaku dan aparat penegak hukum yang sering tak berpihak pada korban. Inilah yang selalu meresahkan pikirannya.

Para pendamping korban adalah perempuan pembela HAM atau Women Human Right Defenders/WHRD. Forum Pengada Layanan/ FPL menyatakan, mereka pernah mengalami sejumlah ancaman, kekerasan, diskriminasi dan stigmatisasi.

Ketika melakukan pendampingan pada para korban kekerasan seksual, mereka didatangi orang-orang tak dikenal, distigmakan sebagai perempuan perusak rumah tangga orang, dianggap sok tahu agama hingga mau dilempar dengan parang, dianggap perempuan murahan dan dianggap tak bisa mengurus anak karena sering keluar malam mendampingi korban.

Para pendamping korban ini juga dianggap sebagai komunitas yang tidak diakui di desa dan kelurahan, dipersulit ketika mengurus administrasi, dianggap pembawa aliran sesat, dianggap menolak ketentuan adat, diancam oleh suami korban dan teman-temannya, termasuk ancaman rumahnya akan dibakar, diancam akan dibunuh, diancam akan diperkosa dan diancam mau dimasukkan penjara.

Yang lain, diinterogasi polisi hingga dipegang payudara saat demonstrasi. Para perempuan pembela HAM yang berbasis relawan ini juga tidak punya jaminan perlindungan, kesehatan dan kesejahteraan. Lembaga perempuan juga mengalami intimidasi, salah satunya intimidasi pada staff LBH APIK Jakarta oleh massa pada 3 Februari 2020 dan ancaman keamanan para staf LBH APIK.

Women Human Right Defenders/ WHRD atau Perempuan Pembela HAM/PPHAM di Indonesia adalah orang-orang yang dalam aktivitasnya bekerja untuk membela kasus-kasus HAM berbasis gender dan para perempuan yang bekerja di berbagai isu dan sektor untuk mempromosikan, mengadvokasi, mendidik tentang hak-hak asasi manusia.

Data Yayasan Perlindungan Insani Indonesia/ YPII menyebut, dalam bekerja, para perempuan pembela HAM mengalami ancaman, kekerasan, stigma dan diskriminasi dalam berbagai bentuk baik yang dilakukan oleh negara dalam hal ini oleh pemerintah, aparat, kelompok patriarki berbasis agama, kelompok nasionalis militeristik serta korporasi kapitalis. Selain itu WHRD mengalami persoalan kesehatan dan kesejahteraan yang terabaikan hingga sakit dan meninggal.

Di Indonesia, perjuangan para perempuan pembela HAM/ WHRD ini sebenarnya sudah dilakukan sejak masa Indonesia belum merdeka.

Para pembela HAM ini kemudian berjuang dengan melakukan pembelaan berbasis gender yang bekerja untuk isu perempuan dan minoritas, pembelaan HAM secara umum seperti kasus lingkungan, masyarakat adat, minoritas gender, keberagaman, dll.

Beratnya Menjadi Pendamping Korban atau Perempuan Pembela HAM

Menjadi pendamping korban kekerasan seksual memang bukan hal mudah. Seorang pendamping tak hanya mendampingi korban menyelesaikan kasusnya di kepolisian atau pengadilan, mereka juga harus memikirkan segala aspek agar korban bisa keluar dari situasi sulit yang dihadapinya.

Jika korban membutuhkan rumah aman misalnya, maka pendamping harus mencarikan rumah aman sebagai salah satu solusi.

Proses pendampingan kasus kekerasan seksual yang rumit juga sering memicu efek negatif pada para pendamping. Banyak pendamping yang tanpa disadari telah mengalami kelelahan luar biasa baik fisik maupun mental akibat beban kerja.

Jane L. Pietra, psikolog di Yayasan Pulih mengatakan,  kondisi ini muncul karena adanya keterlibatan dalam waktu yang lama pada situasi yang menguras emosi. Proses yang berlangsung secara bertahap ini lama-lama makin memburuk.

Kondisi di mana terlalu banyak menghayati berbagai perasaan negatif, sering bekerja dalam situasi traumatis, menghadapi situasi yang rumit dan sulit diselesaikan sehingga merasa marah dan tak berdaya, tak punya kesempatan untuk ‘ambil jarak’ dan bekerja dalam kondisi tanpa penghargaan memadai sering memicu kelelahan luar biasa pada para pendamping.

Tanda-tanda yang sering muncul antara lain adalah mengalami kelelahan yang ‘luar biasa’, merasa sedih, depresi, perasaan tak berdaya, bingung, kehilangan orientasi, mudah marah, cepat tersinggung.

Tidak sedikit pendamping yang kehilangan rasa kepedulian/ kesabaran, menjadi sinism, atau bahkan gangguan somatik/ fisik, yang tidak jelas penyebabnya dan tak kunjung sembuh.

Menurut Jane, apa yang dialami pendamping ini merupakan reaksi normal terhadap peristiwa abnormal, karena mereka mengalami berbagai macam reaksi normal setelah peristiwa yang mengguncang, sebagian besar orang mungkin dapat melewati situasi sulit dengan baik, meskipun ada pula yang menghadapi kesulitan dalam proses adaptasi terhadap situasi sulit tersebut.

Lantas, adakah cara agar para pendamping terbebas dari kondisi ini? Niken Mahendra, seorang pemerhati perempuan dan anak mengatakan banyak pendamping yang hanya bermodalkan niat baik dan tidak memiliki bekal skill yang dibutuhkan.

Untuk menjadi pendamping korban kekerasan seksual, ujarnya, tak cukup hanya bermodalkan kemauan dan niat baik. Mereka juga perlu dibekali pemahaman hukum, pengetahuan dasar tentang managemen diri, ilmu psikologi, aspek budaya dan kadang pemahaman agama.

“Karena kasus KS ini, sering dikaitkan dengan banyak aspek kehidupan sebuah daerah seperti budaya atau bahkan agama. Jadi seorang pendamping perlu memiliki bekal yang cukup mengenai berbagai hal itu sebelum terjun ke lapangan,” ujarnya kepada Konde.co

Merasakan stres dan trauma ternyata tak hanya dialami para korban, tapi juga dialami para pendamping, seperti trauma karena merasakan kepedihan yang diderita korban.

Secara fisik, pendamping korban kekerasan seksual juga membutuhkan makan yang teratur dan bernutrisi, olah raga, pemeriksaan medis secara teratur untuk pencegahan dan penyembuhan.

Para pendamping juga harus diberi kesempatan mengambil cuti saat sakit dan melakukan kegiatan yang menyenangkan dan waktu istirahat yang cukup. Negara juga diminta menyediakan jaminan kesehatan dan perlindungan yang memadai bagi para pendamping.

Hal yang tak kalah penting, para pendamping juga harus diberi kesempatan untuk menyisihkan waktu bersama orang yang menyenangkan dan tetap berhubungan dengan orang-orang yang membantu hidupnya. Sehingga mereka tetap prima dalam memberikan pelayanan bagi para korban.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!