Korban Perkosaan Cilacap Berhenti Sekolah, Para Pelaku Berkeliaran Dimana-mana

Emosi warga desa di Cilacap memanas, mereka sudah siap untuk ambil tindakan terhadap 6 pelaku perkosaan yang masih berkeliaran. Ada indikasi, aparat desa melindungi pelaku.

Trigger warning: isi dari artikel ini dapat memicu trauma, khususnya bagi para penyintas kekerasan seksual. 

Ada yang berubah pada diri Dila, bukan nama sebenarnya, (10 tahun). Beberapa bulan terakhir, ia sehari-hari terlihat ceria, kini lebih banyak murung dan diam. Dila bahkan tidak pernah masuk sekolah lagi. 

Perubahan sikap Dila terjadi setelah ia diperkosa oleh 6 orang tetangganya yang rata-rata berusia di atas 60 tahun. Pemerkosaan terjadi sekitar Mei 2023.

Dila diperkosa lebih dari sekali. Ia diancam para pelaku agar tidak menceritakan kejadian tersebut pada orang tuanya atau pada siapapun. Ada juga pelaku yang membujuknya dengan memberi sejumlah uang agar korban diam. 

Pernah setelah kejadian itu, perkosaan terhadap Dila juga dilakukan secara beramai-ramai.

Dila lalu sakit. Meski sudah diperiksakan ke mantri Puskesmas di desa, tapi tak ada perubahan. Sepupu dan nenek Dila pun mengajak ngobrol dan bertanya. Dari situ akhirnya Dila menceritakan perkosaan yang dialaminya.

“Anak ini kita tanya. Yang nanya tuh istri saya sama neneknya. Nah, di situ lah keluar semuanya,” tutur E, salah satu keluarga Dila, kepada Konde.co (7/10/23).

Mengetahui anaknya diperkosa oleh tetangga, ayah korban (N) melaporkan perkosaan tersebut ke Polsek Bantarsari, Cilacap, Jawa Tengah pada 23 September 2023. 

Dalam laporan bernomor STPLP/9/IX/2023/Sek. Bts/Resta Clp/Jateng tersebut, pelaku yang dilaporkan baru satu orang, yakni Mah ( 60 tahun). Dalam perkembangannya setelah ditanya dan dibujuk keluarga, korban lalu mengatakan bahwa ada pelaku yang lain di luar Mah, ada 5 orang pelaku lainnya.

Korban kemudian dirujuk untuk melakukan visum di rumah sakit umum daerah dengan diantar polisi. Namun keluarga korban tidak mendapatkan informasi atas hasil visum dan polisi mengatakan tidak ada apa-apa.

Setelah itu tidak ada tindak lanjut dari Polsek. E yang kenal dengan seorang wartawan di Jakarta, kemudian menceritakan kejadian tersebut dan ditindaklanjuti para wartawan dengan menanyakan perkembangan kasusnya.

Sementara kondisi di desa sempat memanas karena polisi dinilai lamban. Warga sudah siap untuk ambil tindakan terhadap para pelaku dan tinggal menunggu konfirmasi keluarga korban. Tapi keluarga memilih menempuh jalur hukum.

“Tapi kan saya sama orang tua korban nggak mau jadi kacau. Saya pengen semuanya dibereskan secara baik-baik. Makanya saya minta tolong ke beberapa teman, kenalan, supaya ikut dikawal kasus ini,” papar E.

Pengurus salah satu pondok pesantren di desa ikut turun tangan. Dua orang pelaku ditanya oleh pengurus pesantren yang ada di desa tempat tinggal pelaku. Keduanya mengakui perbuatannya.

“Waktu itu ada dua orang pelaku yang ditanya sama lurah santri, diajak ngobrol secara baik-baik, akhirnya dia mengakui,” kata E.

Di satu sisi keluarga korban tidak mengetahui hasil visum, sementara polisi bilang tidak ada apa-apa. Tapi di sisi lain pelaku mengakui perbuatannya. Akhirnya Keluarga korban berinisiatif melakukan visum ulang.

“Nah, karena kita gak megang hasil visum yang asli sementara sama polisi dibilang ini gak ada apa-apa tapi pelakunya ngaku. Akhirnya saya inisiatif nyuruh orang tua korban buat visum ulang,” terang E.

Visum atas inisiatif keluarga dilakukan di sebuah rumah sakit umum di Sidareja pada 29 September 2023. Prosesnya berlangsung dari pagi hingga malam.

Kasus ini kemudian diambil alih oleh Polres Cilacap. Korban ditemani keluarga dijemput penyidik dari Polres Cilacap untuk melakukan pemeriksaan psikologis.

Sementara hasil visum yang dilakukan mandiri diminta oleh petugas Polsek. Petugas Polsek yang datang ke rumah juga memeriksa isi handphone ibu korban. Mereka menanyakan sejumlah kontak yang ada di HP yang membicarakan kasus tersebut. Selain itu, petugas juga mengambil foto rumah korban.

E juga menginformasikan kasus ini pada Komisi Perlindungan Anak Indonesia/ KPAI melalui media sosial. Ia sempat dihubungi oleh staf KPAI, namun hingga kini belum ada tindak lanjut lagi.

Dua Pelaku Sudah Ditangkap dan Berstatus Tersangka

Atas kejadian ini, Konde.co lalu mengonfirmasi soal perkembangan kasus ke Kasat Reskrim Polresta Cilacap, AKP Guntar Arif Setiyoko yang mengatakan bahwa kasus tersebut saat ini sudah dalam tahap penyidikan.

“Saat ini 2 tersangka ditahan di Rutan Polresta Cilacap,” ujar Guntar kepada Konde.co via pesan pendek pada Jumat (13/10/23).

Dua terduga pelaku yang sudah berstatus tersangka tersebut adalah Mah (60 tahun) dan Mus (72 tahun).

Sementara untuk 4 terduga pelaku yang lain, saat ini Polresta Cilacap masih melakukan pendalaman. Menurut Guntar, upaya paksa polisi terhadap mereka yang melakukan pidana disesuaikan dengan persuaian alat bukti dan petunjuk yang didapat.

“Yang lain masih kita kembangkan untuk kepastiannya,” katanya.

Meski laporan kasus ini dibuat di Polsek Bantarsari, tapi penyidikannya dilakukan oleh Polresta Cilacap. Guntar menjelaskan bahwa Polsek Bantarsari adalah polsek yang tidak melakukan penyidikan, karena itu kasus Dila ditindaklanjuti oleh Polresta Cilacap.

“Jadi setelah menerima laporan, mereka menganalisa setelah ada indikasi, ada suatu perbuatan pidana, yang memproses kelanjutannya dari Polres,” terangnya.

Terkait hak-hak korban kekerasan seksual yang meliputi penanganan, perlindungan dan pemulihan, Guntar mengaku selama pemeriksaan sudah ada pendampingan. Ia menambahkan korban juga sudah dirujuk ke psikolog.

“Sudah dilangkahkan juga ke ahli psikolog. Ini juga sebagai salah satu alat bukti kita untuk menguatkan adanya perbuatan cabul tersebut,” papar Guntar.

Menurutnya proses pendampingan dan pemulihan terhadap Dila dilakukan oleh instansi terkait juga dari dinsos dan ahli psikolog yang ada di Cilacap.

Jika dilihat dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), hak-hak korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual/ TPKS meliputi penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Hak penanganan antara lain mencakup mendapatkan dokumen hasil penanganan, layanan hukum, penguatan psikologis, dan pelayanan kesehatan.

Sedang hak perlindungan antara lain meliputi penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan perlindungan, perlindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan, serta perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan korban.

Untuk memulihkan kondisi fisik, mental, spiritual dan sosial korban, UU TPKS mengatur soal hak pemulihan yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi mental dan sosial, pemberdayaan sosial, restitusi dan/atau kompensasi, serta reintegrasi sosial.

Selain korban, keluarga korban juga punya hak yang diatur dalam UU TPKS. Hak keluarga korban antara lain hak atas informasi tentang hak Korban, hak Keluarga Korban, dan proses peradilan pidana sejak dimulai pelaporan hingga selesai masa pidana yang dijalani terpidana.

Keluarga korban juga berhak mendapatkan penguatan psikologis, pemberdayaan ekonomi, dan mendapatkan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lain yang dibutuhkan oleh keluarga korban.

Dari beberapa poin terkait hak-hak korban tersebut, Dila belum sepenuhnya mendapatkan hak-haknya sebagai korban.

Namun pernyataan Kasat Reskrim Polresta Cilacap tentang penanganan dan pemulihan korban tersebut berbeda dengan keterangan keluarga korban. E menjelaskan, keluarga korban kesulitan mencari pendamping sejak awal kasus ini. Ia mengaku keluarga korban sangat membutuhkan pendamping hukum mengingat mereka awam soal hukum.

“Ya kita waktu itu kan lagi berusaha cari pendampingan gitu dari LBH atau dari mana gitu, ternyata nggak ada. Jadi nggak ada yang nemenin waktu itu, cuma orang tua sama anaknya aja yang boleh dibilang orang dusun, nggak tau apa-apa. Mau ngomong aja susah gitu,” terang E.

Selain itu korban juga belum mendapatkan pendampingan psikologis. Menurut E, korban masih trauma dan hingga sekarang belum mau keluar rumah. Sejak peristiwa tersebut korban tidak lagi melanjutkan sekolah. Guru sekolahnya pernah datang ke rumah mengecek kondisi Dila.

“Gurunya juga sempet ke rumah korban, tapi (korban) masih punya rasa takut gitu, dan mungkin minder apa kayak gimana gitu,” kata E.

E menambahkan, guru korban ikut prihatin dan minta Dila untuk kembali sekolah. Tapi karena menurut keluarga kondisi kesehatan korban belum memungkinkan, mereka memutuskan agar Dila beristirahat dulu di rumah hingga pulih.

“Mereka ikut prihatin dan meminta anak kembali sekolah. Tapi karena Dila masih sakit, sering pingsan-pingsan dan merasa kesakitan di sekitar kemaluannya, kita keluarga melarang untuk tidak bersekolah dulu sampai sembuh. Sampai kasus ini benar-benar ditangani sama pihak yang berwajib tentunya,” papar E.

E bertanya pada Konde.co soal pendampingan sebagai bagian dari hak korban untuk mendapatkannya. Konde.co lalu menghubungi mantan Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati yang kemudian menghubungkan keluarga korban dengan Hanifah Muyasarah, akrab disapa Muyas. Muyasarah adalah pengasuh Pondok Pesantren Putri Al-Ihya Ulumaddin, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah yang memberikan layanan berbasis pesantren.

Setelah keluarga korban dan Muyasarah berkomunikasi via pesan pendek dan telepon, pada Minggu (22/10/23), korban dan keluarganya kemudian bertemu dengan Muyasarah. Korban dan keluarga korban saat ini didampingi Muyasarah dan timnya.

Kepada Konde.co pada Senin (23/10/23), Muyasarah menjelaskan bahwa korban dan keluarganya betul-betul sendirian. Situasi yang dihadapi korban dan keluarganya tersebut adalah situasi khas korban kekerasan seksual yang merasa kesakitan dan trauma.

“Nah yang mengerikan kesakitannya korban ada, traumatik nya ada, korban ada, tapi itu seperti diabaikan, dianggap bahwa buktinya tidak kuat,” ujarnya.

Muyas menambahkan, hasil visum di RSUD menyebutkan positif, normal, tidak ada apa-apa. Tapi hasil visum yang dilakukan keluarga sebagai second opinion di Rumah Sakit Umum (RSU) di Sidareja menunjukkan ada tanda-tanda memar dan luka di vagina korban. Hal ini yang sangat mengecewakan Muyas.

Aparat Desa Mengintimidasi 

Sementara itu, aparat desa disana bukan sekadar abai, tapi justru menghalang-halangi upaya hukum yang dilakukan keluarga korban. Ketika ayah korban melaporkan kejadian tersebut ke polisi, dia justru ditegur oleh aparat desa.

“Ketika bapaknya dapat informasi tentang kejadian itu yang digali oleh tantenya korban, kan dia langsung lari ke kepolisian. Nah itu dimarahin oleh lurah dan aparat-aparatnya. Kok nggak ngomong dulu ke RT-nya?Sepanjang pengetahuan kita, lapor ke RT itu kalau dia nggak berani lapor polisi, jadi minta ditemenin gitu,” jelas Muyas.

Muyas sendiri merasakan intimidasi yang dilakukan oleh aparat desa. Saat Muyas dan timnya hendak datang ke rumah korban, mereka seperti dicegat dan dicecar dengan sejumlah pertanyaan. Seperti apa alasan Muyas datang ke rumah korban, tujuan mendatangi korban, dan sebagainya.

“Saya dan teman-teman merasa terintimidasi, kita takut juga dengan sikap Pak Lurah yang sinis. Tapi karena saya punya tujuan yang harus saya dapat gitu ya, jadi saya melemah aja. Pokoknya saya iyakan aja semuanya,” papar Muyas. 

Bahkan aparat desa banyak memberikan disinformasi tentang korban dan keluarganya, misalnya korban dibilang kena epilepsi. Padahal gejala yang ditunjukkan oleh korban yang sering kaget dan tiba-tiba pingsan muncul setelah kekerasan seksual yang dialaminya. Menurut orang tua korban, Dila juga tidak punya riwayat epilepsi.

Setelah bertemu dengan korban dan orang tuanya serta melakukan asesmen, Muyas melihat informasi dari aparat desa tidak terbukti. 

“Anaknya cerdas tapi informasi yang saya dengar dari Pak Lurah, gambaran yang kita dapat kayak anak kurang normal gitu. Ternyata enggak, dia biasa, normal, pinter, bagus,” ujar Muyas.

Muyas mendapat kesan ada upaya dari aparat desa untuk menutupi kejadian yang sebenarnya. 

Hingga berita ini dibuat, sebanyak empat terduga pelaku masih bebas, dari keempatnya, satu masih anak-anak. Salah satu dari tiga terduga pelaku dewasa, ternyata punya hubungan kerabat dengan kepala desa.

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!