Jadi korban kekerasan seksual, gak pernah mudah, bahkan sering meninggalkan trauma mendalam. Dan, untuk mengungkap kekerasan seksual, bukan hal yang mudah bagi korban.
Tidak jarang, loh korban kekerasan seksual yang berani speak up justru mengalami serangan balik, disudutkan atau mengalami perundungan.
Gak cuma berhenti disitu, penanganan kasus kekerasan seksual juga tidak semudah membalik telapak tangan, proses penyelidikannya pun membutuhkan proses dan perspektif yang adil bagi korban. Terlebih, kita hidup di tengah masyarakat yang patriarkis dan misoginis yang mengunggulkan laki-laki, korban kekerasan seksual yang berani speak up justru sering disudutkan dan disalahkan.
Belum lagi, sistem peradilan berperspektif korban yang masih belum sepenuhnya hadir, sering membuat beban yang harus ditangung korban kekerasan seksual kian bertumpuk.
Gimana kita harus menyikapi kasus kekerasan seksual, ini hal-hal penting yang harus diperhatikan untuk menangani isu kekerasan seksual yang berhasil dirangkum Konde.co. Yuk, simak di sini:
1. Dengarkan Korban, Ciptakan Ruang Aman
Jika kamu mendapati korban yang menyatakan mengalami kekerasan seksual, maka sikap pertama yang harus kamu lakukan adalah mendengarkannya. Jangan langsung mengintimidasi bahkan membungkamnya. Beri kesempatan korban untuk berbicara sambil mengawal proses pelaporannya sampai bisa dibuktikan.
Mengapa ini penting? Korban yang berani bicara soal kekerasan yang dialaminya ini tentu tidak mudah. Apalagi, jika terduga pelaku punya relasi kuasa yang besar. Termasuk, publik figur yang mempunyai banyak privilese. Maka, keberpihakan pada korban dan memastikan suaranya didengarkan menjadi penting. Jangan sampai, alih-alih atas dasar fanatisme maka kita malah membela terduga pelaku hingga mengabaikan korban.
2. Abaikan Kabar Tak Relevan
Perlu diingat, kasus kekerasan seksual, tak bisa dilepaskan dari proses konsensual (consent) atau kesepakatan kedua belah pihak yang spesifik saat kejadian itu berlangsung. Kaitannya dengan hal itu, tidak bisa ada manipulasi.
Lalu, apa hubungannya? Pemahaman itu menjadi penting, sebagai dasar buat kita melihat dengan jernih kabar-kabar yang beredar. Apakah relevan dengan spesifik kasus kekerasan seksual yang dialami korban? Misalnya saja, tuduhan soal pemaksaan kegiatan seksual non-konsensual dengan cara manipulatif. Maka, fokus di hal itu.
Jika kemudian kamu menemui kabar: korban itu matre, suka barang-barang branded, tidak pernah membayari makan, pernah bercerai, atau lainnya yang tidak relevan dengan kasus kekerasan seksual terkait, abaikan!
3. Ah, Pansos! Kenapa Baru Ngomong Sekarang?
Bayangkan di posisi seorang korban kekerasan seksual, ada banyak faktor mengapa kamu gak bisa langsung bersuara kan? Entah itu karena mengalami manipulasi, perasaan takut, trauma, khawatir tidak didengar dan tidak dipercaya, kondisi masyarakat yang victim blaming, kebencian berbasis gender (misoginis), hingga pertimbangan sistem hukum yang belum adil. Itu semua bisa saja terjadi kan?
Jadi balik lagi, saat korban bicara adalah yang paling tepat baginya. Meskipun dalam prosesnya, tidak selalu gampang dan lancar. Sebab, bisa saja korban mencabut laporannya ataupun memutuskan tidak melanjutkan. Misalnya saja, minimnya bukti karena kejadian di ruang privat, aparat hukum yang belum berperspektif baik dalam penanganan kekerasan seksual hingga ada ancaman, tekanan sampai korban tidak kuat. Kita harus tetap menghargai apapun pilihan korban.
4. Bukti Sebaliknya: Bisa Dibuktikan di Jalur Hukum
Hindari bersikap reaksioner jika ada bukti yang ditemukan. Selidiki dulu: apakah bukti itu valid dan mendasar penyelidikan jalur hukum dan pendamping korban? Ataupun hasil assessment yang dapat dipercaya? Cek juga sumber buktinya.
Ini seperti yang terjadi baru-baru ini, kamu juga perlu mengkritisi apakah rilisnya dispatch merupakan sebuah laporan resmi yang kuat pembuktiannya seperti standar di atas? Jika belum, maka kasusnya belum benar-benar selesai. Perlu terus dikawal.
5. Hindari Label Negatif
Tidak patut juga langsung menyebut korban sebagai “pembohong”, “matre”, “halu”, atau kata-kata seksisme lain secara serta merta. Melabeli negatif korban yang kasusnya belum bisa dibuktikan sebaliknya, bisa menimbulkan bahaya lebih besar yaitu misoginisme sampai memundurkan keberanian bersuara dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual.
6. Kalau Ternyata Tuduhan Korban Salah? Dan Ternyata Dia Berbohong atau Membuat Kesaksian Palsu?
Jika di kemudian hari sejalan dengan proses hukum korban dinyatakan berbohong, ini tentu saja tidak dibenarkan. Pihak yang mengaku korban itu harus bertanggung jawab dan menjalankan konsekuensi atas apa yang dia lakukan.
Dia bukan saja mesti meminta maaf kepada terduga pelaku dan memulihkan nama baiknya. Namun, juga harus meminta maaf kepada para korban kekerasan seksual di seluruh dunia. Dikarenakan, apa yang dia lakukan ini berisiko membahayakan kepercayaan terhadap korban-korban kekerasan seksual lainnya saat bersuara.
7. Gak Perlu Menyesal Percaya Korban
Bagaimana pun nanti proses penanganan kekerasan seksual itu berproses, kita gak perlu menyesal atau malu telah mendengar dan percaya dahulu pada korban. Dalam penanganan isu kekerasan seksual, prinsip utama kita adalah tetap pada percaya dulu pada korban sampai terbukti sebaliknya. Tugas kita adalah mendengarkan korban dan mendukung agar kasus itu diselidiki melalui mekanisme pendampingan yang adil dan berperspektif korban.
Tentu kita akan lebih menyesal jika gagal memberi ruang aman bagi korban untuk bisa bersuara dan mencari bantuan. Selain itu, juga mewaspadai kita malah turut melanggengkan sistem menyalahkan korban (victim blaming). Sehingga, korban kekerasan seksual akan semakin sulit mencari keadilan.