Sebut Permendikbud Kekerasan Seksual Legalkan Zina, Ini Lagu Lama Untuk Tolak Lindungi Korban

Menyebut aturan mencegah kekerasan seksual sebagai aturan yang melegalkan zina, adalah lagu lama. Kelompok yang tak setuju dengan aturan ini selalu menjadikannya isu untuk menolak aturan stop kekerasan terhadap perempuan

Belum genap sebulan diterbitkan, Permendikbud Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus (Permen PPKS) yang dikeluarkan Menteri Nadiem Makarim menuai kontroversi, perdebatan, sempat menjadi trending topic di twitter beberapa hari ini. Termasuk, adanya tudingan bahwa aturan ini seakan ‘melegalkan perzinahan’. 

Soal melegalkan perzinahan ini, kritikan dari kelompok yang tak setuju ini sebenarnya sudah lama dihembuskan. Jadi ini tak hanya terjadi di Permendikbud, tetapi sejak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diperjuangkan, isu ini sudah terus dihembuskan. Para aktivis menyatakan, ini merupakan lagu lama untuk menentang lahirnya aturan stop kekerasan seksual

Para aktivis pun bersikap tegas, Permendikbud  No 30 Tahun 2021 ini justru dilahirkan untuk melindungi hak-hak korban, bukan untuk legalkan perzinahan

Per Kamis (11/11), tagar #DukungPermendikbud30 kembali ramai di sosial media twitter. Berbagai kalangan masyarakat memberi dukungan dan menggalang solidaritas. Mereka bergerak bersama mengawal Permendikbud ini agar bisa optimal diimplementasikan. Sekaligus, meluruskan kesimpangsiuran berbagai narasi penolakan aturan. 

Kepala Divisi Hak Perempuan, Anak dan Disabilitas LBH Makasar, Rezky Pratiwi menyayangkan pihak-pihak yang menolak dan menyimpulkan secara ‘salah kaprah’ soal Kemendikbud 30/2021 itu. Padahal, aturan ini dibutuhkan dalam penanganan kekerasan seksual. Termasuk, pemulihan bagi korban, kewajiban pembentukan Satuan Tugas, hingga mencegah terjadinya keberulangan kasus.  

“Kita tidak sedang melegalkan zina seperti tuduhan beberapa pihak,” ujar Rezky dalam konferensi pers daring yang dihadiri Konde.co, Kamis (11/11/2021).

“Kembalikan ke jalur semestinya (Permendikbud segera diimplementasikan),” kata dia. 

Alih-alih hanya berprasangka ‘buruk’, dia bilang, diskusi publik tentang Permendikbud semestinya sudah harus melihat berdasarkan temuan atau pengalaman yang ada (empiris). Sudah banyak sekali kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus yang terjadi. Bahkan ibarat fenomena ‘gunung es’ yakni apa yang terungkap bisa jadi hanya pucuk dari sebenarnya masalah yang ada. 

Ketiadaan payung hukum serta relasi kuasa yang timpang, juga menurut Rezky jadi sebab. Kampus belum jadi ruang aman bagi korban untuk bersuara atas kekerasan seksual yang dialami. Kenyataan itu, dia temukan pula dari beberapa kasus pelaporan dari kalangan mahasiswa kepada LBH. 

“Kasus di kampus itu sangat tertutup, korban memilih mencari bantuan pihak lain. Takut disalahkan. Tidak dapat respons (baik). Bahkan mendapatkan intimidasi-intimidasi,” katanya. 

Pentingnya Permendikbud 30/2021 diterapkan kampus, menurut Eva Nurcahyani dari Perempuan Mahardhika, yang paling konkret, setidaknya bisa membantu korban agar lebih aman dan leluasa dalam melapor. Ini dikarenakan masih kuatnya stigma dan diskriminasi bagi korban. Terlebih bagi perempuan. 

Anggapan bahwa Permendikbud ini akan ‘melangkahi’ kampus, tidak dibenarkan Eva. Dia menegaskan, justru aturan ini nantinya akan melibatkan kolaborasi kampus dalam penindakan kekerasan seksual. Kemudian nantinya, bisa menjadi daya dorong yang lebih kuat agar bisa ditangani oleh aparat penegak hukum. 

Implementasikan Permendikbud: Dukungan Akademi dan Jaringan Masyarakat

Kalangan akademisi  juga mengeluarkan sikap terhadap Permen Dikbudikti No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi ini. 

Kalangan dosen akademisi yang antaralain terdiri dari Robertus Robet (UNJ), Bivitri Susanti (STH JENTERA), Bagus Takwin (UI), Herlambang P. Wiratraman (UGM), Atnike Sigiro (Paramadina), Meila Riskia (UNJ), Joeni A. Kurniawan (Unair), Dian Noeswantari (Pusham Ubaya Surabaya), Inge Christanti (Pusham Univ. Surabaya) dan puluhan dosen lainnya menyatakan, kekerasan seksual merupakan implikasi logis dari relasi kuasa yang timpang termasuk dalam relasi gender di perguruan tinggi. Mereka yang ada pada posisi dominan dalam relasi kuasa memiliki privilege untuk memanipulasi, menakut-nakuti dan akhirnya menaklukkan korban.

“Kekerasan seksual merusak martabat korban dan merontokkan fungsi universitas sebagai tempat pencarian kebenaran,” tulis siaran pers resmi dari solidaritas para akademisi, yang diterima Konde.co, Kamis (11/11/2021). 

Aturan dan kode etik mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual selain penting untuk melindungi korban, juga penting untuk membangun kultur akademik yang sehat, berperadaban, setara, dan adil.

Maka, terbitnya Permendikbud 30 ini, momentum penting untuk menyediakan pedoman hukum. Penundaan terhadap upaya perlindungan dan pencegahan kekerasan seksual hanya akan melanggengkan ‘relasi kuasa purba’ yang tidak adil.

“Penolakan sebagian pihak terhadap Permen ini menggambarkan adanya pandangan konservatif yang kaku sehingga tidak mampu memahami batas antara norma kesusilaan dengan “kekerasan” (yang antara lain ditandai dengan persetujuan), dan menolak untuk melihat data kekerasan seksual di kampus yang tinggi,” kata mereka. 

Para akademisi melihat, terbitnya Permen ini merupakan momentum yang penting untuk menyediakan pedoman hukum untuk mengatasi kekerasan seksual, bersama-sama dengan norma-norma lain yang sudah tumbuh di perguruan tinggi.

Sesuai judul dan tujuannya, Permen ini berupaya mencegah dan menangani kasus-kasus kekerasan seksual yang banyak terjadi selama ini dan tidak tertangani dengan baik karena relasi kuasa di kampus. Penolakan sebagian pihak terhadap Permen ini menggambarkan adanya pandangan konservatif yang kaku sehingga tidak mampu memahami batas antara norma kesusilaan dengan “kekerasan” (yang antara lain ditandai dengan persetujuan), dan menolak untuk melihat data kekerasan seksual di kampus yang tinggi.

Akademisi juga melihat bahwa penundaan terhadap upaya perlindungan dan pencegahan kekerasan seksual hanya akan melanggengkan relasi kuasa purba yang tidak adil.

“Maka kami mendorong semua pihak terkait untuk segera melaksanakan Permen ini untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di kampus.”

Jaringan GUSDURian pun menyatakan dukungannya. Menurut mereka terbitnya Permendikbud 30/2021 sebagai bentuk hadirnya negara dalam menjamin keadilan bagi para korban kekerasan seksual di perguruan tinggi yang selama ini diabaikan. Untuk itu, mereka juga mengajak pimpinan kampus untuk menerapkan aturan itu dan melakukan sosialisasi agar kampus aman dari kekerasan seksual.

“Perguruan tinggi juga bisa mengusut dugaan kasus kekerasan seksual di kampusnya yang masih menggantung,” tulis siaran pers resmi Jaringan GUSDURian yang diakses Konde.co, Kamis (11/11/2021). 

Kampus-kampus universitas negeri selanjutnya, menurut jaringan masyarakat itu juga bisa menjadi teladan bagi kampus-kampus lain dengan menerbitkan mekanisme pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual. Mengingat saat ini, hanya UGM yang memiliki peraturan rektor soal itu. 

“Seluruh penggerak Jaringan GUSDURian untuk terus mendukung segala upaya menghapus kekerasan seksual. Selama ini, banyak terjadi misinformasi dan disinformasi yang mengaburkan substansi upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual,” pungkasnya.

Sebelumnya Kemendikbud mendata bahwa kampus berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Hal ini juga diperkuat dengan sejumlah riset. 

Riset yang dilakukan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang dilaunching pada 1 Agustus 2021 menyebut, kampus menyumbang kekerasan seksual yang tinggi dengan pelaku kekerasan seksual adalah dosen dan mahasiswa. Riset ini dilakukan YLBHI bersama 17 LBH kota yang menjadi anggota YLBHI.

Vanny Primaliraning, Direktur LBH Bali menyatakan, mahasiswi yang menjadi korban selama ini banyak yang takut untuk melaporkan karena ada relasi kuasa di kampus

“Keberanian untuk melaporkan sedikit karena ada ketakutan, pelakunya juga banyak yang sesama mahasiswa dan dosen.”

Di kampus, Vanny Primaliraning menyebut, banyak akademisi di kampus yang berpartisipasi dalam pembuat kebijakan, namun sayangnya akademisi ini yang justru mengancam korban agar mereka tidak bisa speak up.

“Kampus itu sebenarnya banyak akademisi dan banyak berpartisipasi dalam naskah akademi dan kebijakan di dalam, namun setelah ada kejadian kekerasan seksual, mereka justru mengancam agar korban tidak speak up dan diam. Kampus berkontribusi sangat besar…nah, apakah kampus sudah clear terhadap kekerasan seksual, karena kampus malah menjadi ancaman terhadap korban kekerasan seksual.”

Riset yang sama juga dilakukan #Namabaikkampus. Lokasi kekerasan seksual di dalam kampus sendiri yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi pendidikan, namun ternyata menjadi penyumbang banyak kekerasan seksual. 

Kondisi darurat ini menjadikan kelahiran Permendikbud menjadi hal yang relevan untuk didukung

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!