Audism: Insiden Pemaksaan Dilakukan Menteri Risma Di Hari Disable

Audism adalah diskriminasi atau prasangka terhadap individu yang tuli atau sulit mendengar, insiden ini terjadi pada 1 Desember 2021 saat Menteri Sosial Tri Rismaharini yang memaksa seorang penyandang disabilitas rungu wicara berbicara.

Peringatan Hari Disabilitas Internasional pada 1 Desember 2021 tercoreng dengan adanya insiden Menteri Sosial Tri Rismaharini yang memaksa seorang penyandang disabilitas rungu wicara berbicara.

Risma meminta sang anak untuk tidak hanya bergantung pada alat dengar dan harus bicara. Memang, dengan bimbingan Risma, anak disabilitas tunarungu bernama Aldi itu dapat berbicara dengan terpatah-patah. Tapi benarkah tindakan Risma tersebut?

Aktivis tuli Surya Sahetapy mengatakan tidak kaget dengan insiden tersebut. Ia menyebutnya sebagai fenomena audism. “Saya melihat fenomena itu setiap hari, sejak kecil sampai sekarang,” kata Surya, yang menggunakan Bahasa Isyarat Amerika (ASL) saat berbincang dengan VOA (3/11).

Menurut kamus Meriam-Webster, audism adalah diskriminasi atau prasangka terhadap individu yang tuli atau sulit mendengar. “Audism adalah keyakinan bahwa orang-orang yang bisa mendengar itu lebih superior daripada orang tuli,” ujarnya.

Dia mengatakan, audism menganggap orang tuli dan orang bisa mendengar itu tidak setara. “Bahwa orang tuli tidak bisa melakukan pekerjaan orang yang bisa mendengar, seperti menjadi dokter atau pekerjaan lainnya. Orang yang menganut audism tidak merasa orang tuli bisa dijadikan rekan atau kolega,” kata Surya.

Meski demikian, ia menambahkan, audism dapat dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja. Faktor yang memainkan peran penting dalam menentukan apakah seseorang bisa ‘mengidap’ keyakinan tersebut adalah eksposur terhadap interaksi dengan orang tuli atau sulit mendengar. “Di mana-mana banyak orang yang belum pernah terekspos pada budaya tuli, orang-orang tuli,” imbuhnya.

Sementara itu, terkait insiden yang menyeret Risma, Surya memandang mantan wali kota Surabaya tersebut mencoba mendorong penyandang tunarungu untuk mengekspresikan diri, tetapi dengan cara yang salah. “Anda dapat mendorong mereka mengutarakan pendapat dan mengeskpresikan diri, tapi Anda tidak bisa menentukan cara mereka berekspresi,” ujarnya. “Berikan mereka kesempatan untuk berekspresi dan melakukannya dengan cara yang paling nyaman dan membuat mereka merasa didukung.”

Surya mengingatkan, penyandang tunarungu memiliki kemampuan mendengar dan berbicara yang beragam. Ada yang dapat mendengar suara meski lirih, sehingga memiliki kemampuan berbicara yang terbatas; ada pula yang sama sekali tidak dapat mendengar, sehingga lebih nyaman berkomunikasi dengan cara lain, entah bahasa isyarat, secara tertulis atau lainnya. Kemudian, ada yang lahir dengan kondisi tuli, ada pula yang mengalami kondisi tersebut di kemudian hari.

Di samping itu, akses masyarakat difabel pun tidak merata. Ada yang berasal dari keluarga yang tidak paham cara membimbing anggota dengan disabilitas, ada pula yang tidak memiliki akses terhadap bantuan karena alasan finansial.

Alat bantu dengar pun tidak serta merta menjadi solusi instan, kata Surya yang turut mendirikan platform Handai Tuli.

“Hanya karena Anda memberi seseorang alat bantu dengar, bukan berarti mereka secara otomatis akan bisa berbicara,” kata Surya. Ia menuturkan, dibutuhkan waktu, latihan dan terapi yang cukup mengembangkan kemampuan seorang tuli.

“Ada orang tuli yang tahu bagaimana cara berbicara, mereka melatihnya selama 5, 10, 15 tahun,” imbuhnya.

Dokter spesialis telinga, hidung dan tenggorokan, Dr. dr. Devira Zahara, M. Ked., Sp. THT-KL, mengamini apa yang dipaparkan Surya. Menurut Devira, alat bantu dengar biasanya diberikan untuk pasien-pasien yang memiliki sensor neural hearing loss atau gangguan dari organ telinga dalam.

“Alat bantu dengar hanya berfungsi untuk dapat memperkuat suara yang kurang jelas didengar untuk mengurangi suara latar yang keras,” tegasnya.

Dengan demikian, imbuh Devira, alat bantu dengar sama sekali tidak berfungsi untuk mengembalikan kondisi pendengaran dan wicara orang kembali normal. Untuk membuat penyandang disabilitas rungu wicara dapat berbicara dibutuhkan terapi yang lama, tergantung dari kondisi masing-masing orang.

“Jadi kata kuncinya terapi,” tukasnya.

Insiden Risma

Insiden Risma sendiri banyak berseliweran di media sosial pada pekan lalu. Dalam petikan video tersebut, terlihat Risma memaksa Aldi, yang saat itu ia undang ke atas panggung untuk menyampaikan pendapatnya tentang lukisan yang dibuat oleh partisipan lain, untuk berbicara.

“Kamu sekarang harus bicara. Kamu bisa bicara. Ibu paksa kamu untuk bicara,” ujar Risma kepada Aldi.

Perwakilan dari Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) yang hadir pada acara tersebut, Stefan, mengkritik secara terbuka sikap Risma tersebut.

“Ibu saya harap sudah mengetahui tentang CRPD (Convention on the Rights of Persond with Disabilities), bahwa anak tuli itu memang menggunakan alat bantu dengar, tapi tidak untuk kemudian dipaksa untuk berbicara,” kata seorang penerjemah bahasa isyarat, menguraikan keberatan Stefan.

Risma menimpali dengan mengatakan dirinya tidak bermaksud mengurangi bahasa isyarat. Ia melanjutkan, “Yang ingin Ibu ajarkan kepada kalian, terutama anak-anak yang menggunakan alat bantu dengar, sebetulnya dia tidak mesti bisu. Jadi, karena itu, kenapa Ibu paksa kalian untuk bicara – Ibu paksa memang – supaya kita bisa memaksimalkan pemberian Tuhan kepada kita: mulut, mata telinga.”

Sebelum insiden di atas panggung, pada acara yang sama, Risma membagikan alat bantu dengar kepada salah seorang peserta penyandang disabilitas rungu wicara lainnya bernama Arum. Risma berharap ia dapat mulai belajar berbicara.

“Sekarang kamu tidak bisu, kamu sekarang udah dengar. Sekarang harus belajar untuk bicara ya?” pinta Risma. “Mulai sekarang kamu harus kurangi dengan bahasa isyarat, karena kamu bisa bicara dan kamu bisa dengar.”

Ketua Pusat Bahasa Isyarat Indonesia, Laura Lesmana Wijaya, mengatakan kepada VOA melalui pesan teks (3/11), pelajaran yang ia ambil dari insiden tersebut: meneruskan advokasi “sepanjang hidup”.

“Diskriminasi terhadap tuli tidak pernah selesai dan akan terulang kalau tidak ada pendidikan dini mengenai tuli dan bahasa isyarat,” pungkasnya.

Pada hari yang sama, setelah terjadinya insiden di Gedung Kemensos itu, Presiden Joko Widodo melantik tujuh komisioner untuk memimpin Komisi Nasional Disabilitas (KND), lembaga negara non-struktural baru yang memiliki tugas dan fungsi untuk memantau, mengevaluasi dan mengadvokasi pelaksanaan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak disabilitas.

Meski independen dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, kesekretariatan komisi tersebut berada di bawah Kementerian Sosial – isu yang dipermasalahkan sejumlah pegiat hak-hak penyandang disabilitas, tetapi ditepis pemerintah. [rd/ah]

(Sumber: Voice of The America)

Rivan Dwiastono

Jurnalis Voice of America/ VOA
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!