Jangan Hanya Karena Cinta, Kamu Jadi Sulit Keluar dari Relasi Toksik

Jangan sampai dininabobokkan oleh relasi toksik. Walaupun pasanganmu cukup cerdas dan lucu, tapi kalau ia melakukan abuse dan kasar, sudahlah, kamu harus menyudahinya.

Widya, bukan nama sebenarnya sudah lama berhubungan dengan pacarnya. Meski ia sering mendapat kekerasan fisik, tapi ia tetap mempertahankan hubungannya dengan sang pacar yang telah berlangsung tiga tahun. Ya, hari ini masih banyak kita temui orang-orang muda yang terjebak dalam hubungan tidak sehat alias toxic relationship/ hubungan toksik. 

Hubungan toksik adalah istilah lama yang fenomenanya masih terjadi di mana-mana. Hubungan toksik adalah hubungan di mana salah satu pasangan secara emosional, bahkan fisik, merusak fisik dan psikis pasangannya. Hubungan toksik sama sekali bukan tempat yang aman. Iklim dalam hubungan ini penuh dengan ketidakamanan (insecurity), keegoisan (self-centeredness), dan dominasi atau kontrol.

Memang, pada dasarnya, seseorang yang sedang menjalin suatu hubungan menginginkan hubungannya berlangsung lama, bahkan kalau bisa sampai ke jenjang perkawinan yang bertahan seumur hidup. Ini ternyata juga terjadi pada hubungan yang tidak sehat, yang toxic, yang diwarnai kekerasan. 

Seseorang yang menjadi korban abuse relationship masih ada yang melihat perlakuan kasar pasangan yang terjadi berulang kali sebagai suatu tindakan peduli dan cinta kasih, dan seringkali dibenarkan. Kadang korban belum bisa pergi dari rasa cinta. 

Korban toxic relationship sering harus mengubur perilaku kekerasan yang dilakukan pasangannya, dan mempercayai kepositifan pasangannya seperti:

“Setidaknya ia orang yang cerdas.”

“Pacarku mungkin kasar kepadaku, tapi ia juga sering menemaniku.”

“Walaupun dia toksik, tapi menurut teman-temanku, dia lucu. Dan aku senang dengan itu.”

Caryl E. Rusbult, psikolog Amerika yang terkenal dengan teori komitmennya, menyatakan ada tiga alasan psikologis mengapa seseorang memilih bertahan dalam toxic relationship:

1.Kepuasan Hubungan

Seseorang yang sudah terlalu lama berada dalam hubungan yang diwarnai kekerasan seringkali tidak dapat merasionalkan perilaku kekerasan yang ia terima. Padahal kepuasan hubungan berarti sejauh mana hubungan tersebut dapat memberinya kenyamanan dan kebahagiaan. Kepuasan hubungan itu diukur dari dua hal: atribut/sifat positif dan atribut/sifat negatif pasangan, seperti bagaimana penampilan fisiknya, bagaimana kesamaan pola pikir, selera humor, atau bagaimana pasangan memperlakukannya dengan baik. Kepuasan akan meningkat jika persepsi atas atribut/sifat positif pasangan lebih besar daripada atribut/sifat negatifnya.

Seseorang yang berada atau menjadi korban dalam toxic relationship seringkali mengubur perilaku kekerasan pasangan, menggantinya dengan omongan seperti “setidaknya ia orang yang cerdas.”

Ini adalah mispersepsi yang berbahaya bagi kondisi psikologis seorang korban yang berada dalam hubungan toksik tersebut. Karenanya, dalam aspek kepuasan hubungan, seorang korban kekerasan seringkali mengalami mispersepsi.

2. Alternatif di Luar Hubungan

Seseorang mungkin saja merasa bergantung dalam hubungan yang sedang ia jalani, sekalipun hubungan tersebut diwarnai dengan racun dan kekerasan. Ia barangkali akan merasa pasangannya adalah segalanya, sehingga ia mempersepsikan tidak ada yang bisa menggantikan pasangannya atau dengan kata lain ia beranggapan tidak ada alternatif yang lebih baik selain hubungan dengan pasangannya tersebut. 

Seseorang sebenarnya juga dapat mempertimbangkan alternatif non-romantis, seperti kepuasan yang diberikan dengan bergaul dengan orang lain di luar kekasihnya seperti keluarga, saudara kandung, teman-temannya. Bahkan ketika ia sendirian pun ia masih bisa memiliki kepuasan dengan melakukan kegiatan yang disukainya. 

Asumsinya adalah semakin alternatif di luar hubungan dinilai lebih baik dan menarik, semakin berkurang keinginan seseorang ingin bertahan dalam hubungannya. Begitupun sebaliknya, jika alternatif tersebut tidak dipersepsikan sebagai sesuatu yang atraktif, maka keinginan untuk bertahan akan meningkat.

Dalam hubungan toksik, sebab dalam banyak kesempatan pelaku kekerasan membatasi gerak dan area pergaulan pasangannya, alternatif yang ada akan dinilai lebih sedikit atau bahkan tidak ada. Ini biasanya terkait dengan rendahnya self-esteem (harga diri). Banyak orang yang terjebak dalam skenario kekerasan ini sehingga mereka tidak bisa berdiri di kaki mereka sendiri. Mereka berpikir tidak pantas untuk siapa pun, sehingga yang terjadi adalah keinginan kuat untuk bergantung dengan pasangannya.

3. Investasi

Investasi berarti sumber daya yang melekat pada hubungan, seperti waktu, tenaga, teman bersama, atau aset yang dimiliki bersama. Dalam hubungan yang sehat, normal saja jika seseorang berpikir ia tidak mau mengakhiri hubungannya karena sudah lama menjalin hubungan atau sudah merasa begitu kenal dengan lingkungan dan kehidupan pasangan sehingga merasa “sayang” jika harus pergi. 

Dalam beberapa hubungan, aset yang dimiliki bersama dapat menjadi faktor investasi yang memberatkan seseorang untuk meninggalkan hubungannya. Contoh sederhana, sepasang kekasih yang menjalani proyek bersama dan kebetulan saja proyek itu sudah memiliki keuntungan yang besar. Kondisinya mereka berdua adalah founder atau pendiri dari proyek itu, sehingga rasanya begitu berat untuk melepasnya.

Kondisi seperti ini juga ada dalam hubungan toksik dan akan memicu dilema yang jauh lebih rumit. Dalam banyak kasus, seseorang yang berada dalam hubungan toksik akan menyayangkan jika hubungannya berakhir hanya karena alasan durasi hubungan dan cerita-cerita indah yang sudah dibangun berdua. 

Waktu, tenaga, atau pekerjaan bersama memang penting, tapi bukankah kondisi dan kesehatan mentalnya jauh lebih penting bagi dirinya sendiri? Coba renungkan.

Aya Canina

Penulis dan penyair. Menerbitkan buku puisi Ia Meminjam Wajah Puisi (Basabasi, 2020) dan sedang banyak menulis karya fiksi berperspektif perempuan. Dapat ditemui di Instagram dan twitter @ayacanina.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!