Seperti Awan Tebal di Langit Kelam: Perjuangan Single Mother di Tengah Pandemi

Bagi single mother atau perempuan kepala keluarga, hidup di masa pandemi seperti layaknya menggantung nasib di awan tebal. Mereka kehilangan pekerjaan, ada juga yang menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Seperti jatuh, lalu tertimpa tangga.

Jika digambarkan dengan warna, hidup Bu Ade (48 tahun) mungkin serupa awan tebal di langit, hitam kelam. Namun, adagium lain: ‘sudah jatuh tertimpa tangga’ juga tepat untuk menggambarkan hidup yang ia hadapi.

Perkawinan pertama Ibu Ade patah di tengah jalan karena bu Ade mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perempuan dengan empat anak ini kemudian mengajukan cerai. Bukannya mendapatkan perlindungan hukum, Ade justru kehilangan semuanya, anak-anak dan rumah yang ia bangun dari jerih payah sebagai buruh pabrik garmen. 

Untuk mengobati luka, karena tidak bisa bertemu anak dan harus keluar dari rumah, bu Ade berangkat ke Arab Saudi menjadi tenaga kerja Indonesia atau buruh migran.

Menjanda selama empat tahun, Ade kemudian bertemu seorang duda, menikah dan setahun kemudian Bu Ade melahirkan. Namun nahas, dua minggu setelah kelahiran anaknya, perempuan kelahiran Garut, Jawa Barat ini ditinggalkan suaminya begitu saja. Menurut penuturan Bu Ade, suaminya yang berasal dari Lamongan, Jawa Timur ini pergi begitu saja setelah diberitahu dokter jika anak yang dilahirkannya adalah anak berkebutuhan khusus ‘down syndrome’

Suaminya tak pernah pulang ke rumah hingga bayi yang dilahirkannya kini telah berusia enam tahun. 

Setelah kelahiran anaknya Bu Ade bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Majikan tempat Bu Ade bekerja memperbolehkannya membawa serta anaknya. Namun, tetap saja Bu Ade sering menghadapi kesulitan, karena keberadaan anaknya sendiri yang juga membutuhkan perhatian.

Suatu kali sepulang bekerja, mata bu Ade terlihat sembab. Ia bercerita, saat ia bekerja, anaknya masuk ke toilet dan terkunci dari dalam. Anaknya menangis dan histeris. Mendengar anaknya ketakutan dan menjerit di dalam kamar mandi seorang diri membuat Bu Ade panik. Setelah memanggil tukang yang biasa memperbaiki rumah, anaknya berhasil diselamatkan dengan pintu didobrak dan dilepas paksa. Anaknya selamat, tetapi bu Ade diliputi perasaan bersalah karena telah merusak kamar mandi majikannya.

Bu Ade kemudian memutuskan untuk tidak lagi bekerja karena keluarga majikannya positif Covid dalam waktu yang cukup lama. Itu dilakukan untuk menghindari penularan pada Bu Ade dan anaknya, maka bu Ade kemudian dirumahkan

“Padahal tumpuan saya hanya dengan keluarga Bapak ini (mantan majikannya). Selain baik, keluarga tidak melarang saya membawa anak,” ujarnya.

Tiga bulan Bu Ade menganggur. Menghidupi anak berkebutuhan khusus seorang diri tak mudah bagi Bu Ade. Terlebih lagi anaknya sudah harus masuk sekolah khusus untuk anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan banyak biaya. Di sisi lain  ia tak yakin akan ada orang yang mau mempekerjakannya karena harus selalu membawa serta anaknya. 

 “Saya bingung Bu. Saya harus bagaimana lagi,” keluhnya pada kontributor Konde.co, Kustiah

Ditinggal suami dan Titik Perjuangan

Kondisi hidup yang serba sulit tak hanya dihadapi Bu Ade. Bu Idang (65 tahun) juga menghadapi kondisi yang sama. Ditinggal suaminya 16 tahun lalu yang memilih hidup bersama dengan selingkuhannya. Disusul kematian anak keduanya yang meninggal akibat kecelakaan jatuh dari kereta saat pulang mengambil ijazah SMA, lalu melihat anak perempuan pertamanya yang juga ditinggal suaminya usai melahirkan. 

Bu Idang menceritakan pahit hidup yang dialaminya dengan tegar. Saya sudah tidak bisa menangis lagi Bu,” ujarnya kepada saya saat sesi ngobrol sebelum perempuan kelahiran Medan ini memulai bekerja pada keesokan harinya.

Bu Idang memasrahkan semua yang dihadapinya kepada Tuhan. Ia hanya berusaha tetap kuat dan berjuang untuk seorang anak laki-laki, cucu berinisial I yang tidak pernah mengetahui muka ayahnya sejak bayi hingga kini di usianya ke-16 tahun. 

Meski hidup tidak mudah Bu Idang selalu menyemangati cucunya untuk rajin belajar dan harus melanjutkan sekolah, bagaimanapun keadaannya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup juga biaya sekolah cucunya Bu Idang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Setahun pandemi Bu Idang kehilangan pekerjaan karena majikannya pindah tugas keluar kota. 

Selama ini untuk memenuhi kebutuhan sekolah cucu dan untuk makan sehari-hari selain menjadi PRT, Bu Idang mengambil pekerjaan melipat dan mengelem kertas untuk bungkus ayam goreng pada perusahaan ayam goreng ternama. Begitu pula cucunya, sepulang sekolah ia langsung melipat dan mengelem kertas. Dalam sehari bu Idang dan cucunya mampu  melipat dan mengelem sebanyak 700 lembar dengan upah Rp 2.000 per 100 lembar.

Saat majikannya menyampaikan hendak pindah tugas keluar kota, Bu Idang gelagapan. Karena sebagian besar biaya hidup dan untuk kebutuhan sekolah cucunya berasal dari pekerjaannya sebagai PRT. Uang hasil melipat dan mengelem kertas hanya cukup untuk ongkos ke sekolah cucunya. Itu pun tak banyak. Seringnya I berjalan kaki karena tak punya ongkos untuk membayar ojek. Bersyukur Bu Idang kembali mendapatkan pekerjaan.

Namun, bekerja belum genap sebulan kabar duka datang, bu Idang tiba-tiba kesulitan bernapas dan merasakan dada panas seperti terbakar.

Cucunya melarikannya ke rumah sakit setelah dirujuk dokter. Menurut dokter bu Idang terkena serangan jantung. Selama empat hari bu Idang dirawat di ruang ICU dan saat ini sudah dipindah ke ruangan rawat inap. Kemungkinan, masih menurut cucunya, setelah kondisinya dinyatakan membaik oleh dokter, bu Idang akan dibawa ke Jakarta supaya bisa diasuh anak pertamanya (ibu kandung I) yang kini telah berkeluarga lagi dan tinggal di Jakarta.

Sementara cucunya akan melanjutkan sekolah di Bogor yang saat ini duduk di kelas dua SMA hingga lulus.

Bagi bu Ade dan bu Idang, pandemi ini seperti layaknya awan tebal di langit, hitam kelam.

Beban Ganda Perempuan Kepala Keluarga di Masa Pandemi

Organisasi Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) di tahun 2012 melakukan Survey Sistem Pemantauan Kesejahteraan Berbasis Komunitas (SPKBK) di 111 desa, 17 propinsi wilayah kerja PEKKA. 

Hasil survei menunjukkan bahwa dalam setiap 4 keluarga, terdapat 1 keluarga yang di kepalai oleh perempuan. Perempuan menjadi kepala keluarga karena berbagai sebab antara lain suami meninggal dunia, bercerai, ditinggal, tidak atau belum menikah, suami berpoligami, suami merantau, suami sakit permanen dan suami yang tidak bekerja. 

“Definisi perempuan sebagai kepala keluarga itu luas, banyak faktornya. Tapi dalam UU Perkawinan membatasi definisi kepala keluarga adalah suami atau laki-laki saja,” ujar Deputi Direktur Pengorganisasian Komunitas PEKKA Romlawati

Romlawati menambahkan, secara tata negara perempuan tidak bisa mengklaim dirinya sebagai kepala keluarga karena basis UU Perkawinan telah memisahkan secara tegas bahwa laki-laki adalah kepala keluarga dan perempuan adalah ibu rumah tangga. 

Meskipun dalam UU Administrasi Kependudukan (Adminduk), perempuan bisa disebut sebagai kepala keluarga secara legal formal dan bisa memperoleh Kartu Keluarga sendiri. 

Namun secara kultural, perempuan kepala keluarga tetap tak dianggap di masyarakat. Sebab definisi perempuan kepala keluarga hanya diakui secara kultural apabila terjadi perceraian yang melalui prosedur hukum. 

Menurutnya, perempuan yang menjadi kepala keluarga layak mendapat perhatian khusus, karena mereka tiga kali lipat dirugikan. Selain mereka mengalami beban kemiskinan, perempuan kepala keluarga juga rentan mengalami diskriminasi gender, dan ketiadaan dukungan sebagai kepala keluarga. Terutama di masa pandemi seperti sekarang

Social Policy Specialist Badan Dunia untuk anak-anak UNICEF di Indonesia, Angga Dwi Martha, dalam sesi webinar bertajuk “Tantangan Menjaga Kesejahteraan Anak Saat Pandemik”, pada September 2020 yang diikuti Konde.co memaparkan, tiga dampak kemiskinan terhadap keluarga rentan miskin selama masa pandemik

Diantaranya, pendapatan yang jauh berkurang, tidak memadainya akses terhadap skema perlindungan sosial yang ada, serta rumah tangga yang dikepalai perempuan menjadi populasi paling rentan miskin. 

Meskipun hingga saat ini belum ada data maupun survei terkait jumlah kepala keluarga perempuan miskin yang bertambah di masa pandemi, namun kelompok rumah tangga ini masuk dalam populasi yang paling rentan. 

Menurut dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/ RPJMN 2015-2019, pemerintah menggarisbawahi Rumah Tangga Miskin yang dikepalai oleh Perempuan (RTM-P) mengalami peningkatan 1,09 persen, sedangkan rumah tangga miskin yang dikepalai laki-laki (RTM-L) menurun 1,09 persen selama tahun 2006-2012. 

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) juga mencatat bahwa tingkat rentan miskin kelompok RTM-P lebih buruk dari RTM-L. Penurunan tingkat rentan miskin RTM-P hanya 19 persen sedangkan RTM-L mencapai 25 persen. 

Romlawati memberikan komentar terkait upaya penanggulangan kemiskinan terhadap RTM-P. Romlawati menyebut berbagai program perlindungan sosial dan pengentasan kemiskinan termasuk yang menargetkan perempuan sebagai penerima manfaat telah dilaksanakan. 

“Ada programnya, namun akses RTM-P terhadap program tersebut masih terbatas,” kata Romlawati.  

Romlawati mengungkapkan, kerentanan perempuan di masa pandemi tidak hanya dirasakan dari aspek ekonomi saja. Peran ganda perempuan kepala keluarga selain sebagai pencari nafkah, juga sebagai pihak yang mengurus segala hal terkait peran domestiknya. Beban pengasuhan anak pun menjadi bertambah sejak diterapkannya Sistem Pembelajaran Daring sejak Maret 2020. 

Sementara itu Komisioner Komnas Perempuan, Satyawanti Mashudi, menuturkan bahwa beban psikologis perempuan kepala keluarga sejak pandemi bisa memicu potensi kekerasan anak di dalam rumah tangga.  

“Tingkat stres perempuan meningkat karena beban ekonomi, kecemasan kehilangan pendapatan, juga sistem budaya patrarki yang membuat pekerjaan rumah tangga menumpuk di pundak perempuan,” ujarnya.

(Artikel ini merupakan Program ‘KEDAP atau Konde dan Kalyanamitra Program: Peliputan Kondisi Perempuan Marginal di Tengah Pandemi Covid-19’ Konde.co yang didukung oleh Kalyanamitra. Hasil peliputannya dapat dibaca di Konde.co setiap Senin secara Dwi Mingguan)

Kustiah

Mantan jurnalis detik.com, saat ini menjadi kontributor konde.co dan sedang menempuh studi pascasarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!