Aktivis Dukung Menteri Agama Soal Pengaturan Pengeras Suara di Masjid

Penggunaan pengeras suara di Masjid dan Musala yang diatur oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, jadi perdebatan di media sosial, bahkan ada yang mau melaporkan kasus ini ke polisi. Para aktivis keberagaman memandang, sudah sewajarnya pemerintah mengatur volume pengeras suara di Masjid, karena suara keras yang terdengar di publik merupakan bagian dari ketertiban umum yang harus diatur pemerintah

Para aktivis keberagaman melihat, pengaturan soal penggunaan pengeras suara di Masjid dan Musala merupakan kewenangan pemerintah, karena ini merupakan bagian dari ketertiban umum bagi publik yang mesti diatur pemerintah

Aktivis Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) Tantowi Anwari menyatakan bahwa sudah sewajarnya pemerintah mengatur hal-hal yang berhubungan dengan ketertiban umum. Karena selama ini pemerintah atau aparat lingkungan terkecil di tingkat kelurahan, RT/RW juga mengatur jika ada berbagai acara yang menimbulkan kerumunan publik, seperti konser musik, alasan kesehatan, pernikahan yang menggunakan tempat publik atau jalanan umum, semuanya diatur oleh aparat setempat. Jadi wajar jika suara di Masjid dan Musala yang suaranya keras terdengar di publik, juga diatur.

“Hal-hal yang menimbulkan massa untuk berkumpul, selalu pemerintah harus mengaturnya, apalagi ini suara Toa Masjid yang suaranya memenuhi lingkungan tempat tinggal yang bisa dilakukan sehari 5 kali, jadi wajar jika surat edaran ini dikeluarkan oleh pemerintah. Karena pemerintah khan harus mengatur aktivitas yang selama ini berhubungan dengan publik, seperti konser musik, kerumunan yang berhubungan dengan kesehatan, misalnya selama pandemi dilarang berkerumun, dll,” kata Tantowi dalam wawancara dengan Konde.co pada 25 Februari 2022

Sebelumnya, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas telah menerbitkan edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara di Masjid dan Musala.  Surat Edaran/SE 05 tahun 2022 ini mengatur tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Salah satu yang menjadi sorotan dalam peraturan itu adalah aturan penggunaan Toa Masjid (ketika azan) yang volumenya selama ini sangat keras. Dalam SE tersebut diatur hanya boleh maksimal 100 Db (decibel)

Menteri Agama dalam surat edaran menyadari bahwa penggunaan pengeras suara di Masjid dan Musala merupakan kebutuhan bagi umat Islam sebagai salah satu media syiar Islam di tengah masyarakat. Namun pada saat yang bersamaan, kita hidup dalam masyarakat yang beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya, sehingga diperlukan upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial.

Untuk memastikan penggunaan pengeras suara agar tidak menimbulkan potensi gangguan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat, diperlukan pedoman penggunaan pengeras suara di Masjid dan Musala bagi pengelola (takmir) Masjid dan Musala.

Maka berdasarkan pemikiran tersebut, perlu ditetapkan Surat Edaran Menteri Agama Republik Indonesia tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Surat Edaran ini dimaksudkan sebagai pedoman penggunaan pengeras suara di Masjid dan Musala dengan tujuan untuk mewujudkan ketenteraman, ketertiban, dan kenyamanan bersama.

Namun pernyataan Menteri Agama ini kemudian menimbulkan sejumlah kecaman di media sosial. Politikus Partai Demokrat, Roy Suryo akan melaporkan Menteri Agama ke polisi. Di satu sisi ada aktivis GP Ansor yang juga akan melaporkan Roy Suryo ke polisi

Tantowi Anwari melihat bahwa lapor-melapor ke polisi ini mestinya dihindari, karena ini memperlihatkan bahwa Indonesia masih minim literasi. Sesuatu yang seharusnya menjadi diskursus dan bisa didiskusikan, bisa jadi bahan perbincangan, malah membuat konflik baru dengan saling melaporkan karena kebencian secara politik.

Hal ini juga menunjukkan politisasi terhadap agama, padahal aturan ini sebenarnya merupakan aturan publik, sama saja ketika aparat mengatur soal suara konser yang sangat kencang, kerumunan di masa pandemi yang bisa mengganggu kesehatan publik

“Sebagai pakar ITE, Roy Suryo mestinya mengetahui bahwa pelaporan ke polisi dengan UU ITE ini akan bermasalah karena ada sejumlah pasal berbahaya dalam UU ITE ini.”

Ruby Kholifah, Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia menyatakan hal senada. Ia menyatakan wajar saja jika surat edaran ini dikeluarkan karena selama ini pemerintah yang mendengarkan suara-suara yang keberatan soal Toa masjid yang sangat keras ini.

Bahkan ada yang mengeluhkan di lingkungan tempat tinggal, kadang ada beberapa Masjid dengan pengeras suara yang sangat keras, sehingga semua aktivitas harus berhenti karena saking kerasnya suara ini

“Padahal suara Adzan merupakan syair yang indah, jika suaranya sangat keras dan sudah mengganggu aktivitas publik, ini jangan-jangan kita sudah mengeskploitase Masjid dengan mengeraskan suara yang indah, menjadi tidak indah,” kata Ruby Kholifah pada Konde.co

Ruby Kholifah juga melihat, Indonesia diakuinya masih minim literasi, hal-hal yang seharusnya bisa didiskusikan tapi diramaikan karena alasan-alasan politik, dan karena ini dikaitkan dengan agama, orang menjadi sensitif. Padahal keluhan orang tentang ini wajar saja dan pemerintah memang harus menanggapi

Media Menambah Buruknya Literasi

Jika kita membaca beberapa judul-judul media, media juga menambahkan buruknya literasi.

Misalnya ini terjadi dalam beberapa judul di media yang menyamakan pernyataan Menteri Agama soal suara Toa Masjid dengan gongongan anjing, seperti judul berikut:

“Menag bandingkan aturan Toa Masjid dengan anjing.”

Bandingkan Suara Azan dengan Gonggongan Anjing, Menag Yaqut Dilaporkan kepada Polisi

Menteri Agama sebelumnya menyatakan seperti ini:

“Aturan ini dibuat semata-mata agar masyarakat kita makin harmonis. Menambah manfaat dan mengurangi ketidakmanfaatan. Kita tahu di wilayah mayoritas muslim, hampir tiap 100-200 meter ada musala dan masjid. Bayangkan kalau kemudian dalam waktu bersamaan mereka nyalakan toanya di atas kaya apa? Itu bukan lagi syiar, tapi gangguan buat sekitarnya. Kita bayangkan lagi, kita muslim, lalu hidup di lingkungan nonmuslim, lalu rumah ibadah saudara kita nonmuslim bunyikan toa sehari lima kali dengan kencang-kencang secara bersamaan itu rasanya bagaimana. Yang paling sederhana lagi, tetangga kita ini dalam satu kompleks, misalnya, kanan kiri depan belakang pelihara anjing semuanya, misalnya, menggonggong dalam waktu bersamaan, kita ini terganggu enggak? Apapun suara itu kita atur agar tak jadi gangguan. Speaker di musala masjid monggo silakan dipakai, tapi diatur agar tak ada merasa terganggu. Agar niat penggunaan toa dan speaker sebagai sarana dan wasilah lakukan syiar bisa dilaksanakan tanpa mengganggu mereka yang tak sama dengan keyakinan kita”

Tantowi dan Ruby Kholifah sepakat, bahwa media seharusnya tidak menggiring judul menjadi berita yang sensasional dan mengajak publik untuk membincangkan diskursus baru, padahal media mestinya berfungsi disana, yaitu mengajak publik untuk mendiskusikan polemik secara jernih.

Judul yang menyamakan antara Toa Masjid dengan anjing, sangat bombastis dan terkesan hanya mengejar klik

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!