Apa Kabar RUU TPKS? Aktivis Perempuan Desak Pemerintah Buka Daftar Inventarisasi Masalah 

Apakabar RUU TPKS? Para aktivis perempuan meminta pemerintah untuk membuka Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang ditujukan pada DPR, karena mestinya pemerintah terbuka dan meminta masukan dari publik. Keterbukaan pemerintah penting agar RUU TPKS mengakomodasi kepentingan korban dan menutup celah bagi kelompok yang ingin menyelundupkan pasal yang bisa membelokkan subtansi RUU.

Sebulan setelah disahkan menjadi RUU inisiatif DPR, pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) belum mengalami kemajuan berarti. 

Pekan lalu, tepatnya pada Jumat (11/2/2022) pemerintah diwakili Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) telah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) kepada DPR.

Namun, sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Perempuan Pembela Korban Kekerasan Seksual (Jaringan Perempuan) menyatakan belum mendapatkan akses terhadap DIM tersebut. Pun informasi mengenai perkembangan pembahasan RUU TPKS di DPR, padahal pekan depan DPR akan memasuki masa reses.

Pemerintah beberapa kali mengundang masyarakat sipil untuk konsultasi publik, namun DIM tidak pernah diberikan ataupun ditunjukkan sebagai materi pembahasan untuk didiskusikan bersama. Kemenkumham dan KPPPA belum bersedia membuka DIM dengan alasan tidak mau melanggar kode etik.

Meski mengapresiasi sikap pemerintah yang cepat menyerahkan DIM, Jaringan Perempuan mengkritisi keengganan pemerintah untuk membuka DIM. Keterbukaan dinilai sangat penting agar RUU TPKS yang dihasilkan benar-benar mengakomodasikan kepentingan korban. Keterbukaan juga akan menutup celah bagi kelompok-kelompok yang ingin menyelundupkan pasal yang bisa membelokkan subtansi RUU TPKS.

DPR juga diminta membuka konsultasi seterbuka dan separtisipatif mungkin, sehingga masyarakat sipil yang selama ini konsen terhadap penanganan kasus kekerasan seksual memiliki akses seluas-luasnya dalam pembahasan RUU TPKS.  

Direktur JalaStoria.id, Ninik Rahayu menggarisbawahi, sikap cepat harus tetap memperhatikan substansi RUU TPKS agar beleid yang dihasilkan benar-benar mengakomodasi kebutuhan masyarakat, terutama perempuan, anak, dan disabilitas korban kekerasan seksual. Dalam membahas RUU TPKS, DPR dan Pemerintah diminta memegang prinsip “partisipasi bermakna’, yaitu melibatkan masyarakat terdampak dan yang punya concern, bukan hanya ahli.

 “Kebutuhan kita tak hanya sekadar disahkannya RUU TPKS, tetapi sebuah undang-undang yang bisa diimplementasikan dan mengakomodasi kebutuhan korban,” ujar Ninik, dalam jumpa pers bersama Jaringan Perempuan, pada Kamis (17/2/2022).

Partisipasi bermakna itu menurut Pakar Hukum Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti bisa diwujudkan dengan memberi kesempatan kepada publik didengarkan suaranya. Dan, suara publik juga harus dipertimbangkan, dan jika tidak diakomodasi maka publik berhak mendapatkan penjelasan kenapa.

“Untuk bisa memenuhinya, DPR dan Pemerintah harus transparan dan memberikan bahan, termasuk DIM sebelum pembahasan dimulai, agar masyarakat sipil dapat bisa memberikan masukan yang substantif.” ujar Bivitri.

Ketimbang Komisi VIII, koalisi masyarakat sipil lebih cenderung menyerahkan pembahasan RUU TPKS ke Badan Legislatif (Baleg) sebagai Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Hal ini agar pembahasan bisa fokus dan kedalaman pada isu-isu teknis dalam RUU TPKS tetap dijaga. Dan yang terpenting, agar pembahasan tidak berlarut-larut atau malah mandeg seperti yang pernah terjadi saat RUU ini dibahas di Komisi VIII. Saat itu mereka terjebak dalam perdebatan terkait judul.

Diharapkan  Bamus segera memutuskan hal ini sehingga selama masa reses, lobi sudah bisa dilakukan.

“Tapi jika Jumat (18/2/2022) besok tidak diparipurnakan untuk kick off pembahasan, maka RUU ini belum bisa dibahas secara resmi sewaktu reses. Tapi kita bisa dorong supaya paling tidak mulai ada diskusi-diskusi informal selama reses, fraksi-fraksi bisa siap-siap untuk bikin tim khusus, pemerintah menguatkan tim pembahasnya,” imbuhnya.

Pembahasan per klaster

Jaringan Perempuan mendorong DPR dan pemerintah menggunakan metode pembahasan khusus agar RUU TPKS mencapai tujuannya yakni mengubah pola penanganan kekerasan seksual. 

Lusia Palulungan, advokat dari Lembaga Bantuan Hukum mengatakan, RUU TPKS, terkait erat dengan hukum acara dan pendekatan baru, sehingga penting untuk memastikan RUU ini implementatif.

Jaringan perempuan mengusulkan agar pembahasan dilakukan per klaster dengan simulasi, untuk memastikan aturannya benar-benar bisa diimplementasikan. Ada 9 kluster pembahasan yang diusulkan, seperti pengaturan tindak pidana kekerasan seksual, pemberatan dan rehabilitasi pelaku, hukum acara, restitusi, hak- hak korban, saksi dan keluarga, pendampingan, layanan terpadu, pencegahan, koordinasi dan pemantauan, serta peran masyarakat dan keluarga.

“Dalam pembahasan per kluster perlu diidentifikasi pihak-pihak/SDM yang akan terlibat dan anggaran yang harus disiapkan. RUU TPKS harus dipastikan  bisa implementatif, tidak hanya “law in the text,” terang Lusia.

Salah satu materi yang digarisbawahi Lusia adalah restitusi bagi korban. Restitusi ini menurutnya penting, bukan hanya sebagai ganti rugi bagi korban, tetapi juga bagian dari tanggung jawab dari pelaku untuk memberikan pemulihan bagi korban.

“Itu menjadi tanggung jawab pelaku dan tidak bisa dilimpahkan kepada Negara. Jika pelaku tidak mampu maka itu bisa dilimpahkan ke keluarga pelaku. Negara bertugas memfasilitasi bagaimana caranya pelaku bisa memenuhi kewajibannya itu,” ujar Lusia.    

Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual adalah jaringan aktivis, akademisi, praktisi media, advokat, peneliti, lembaga layanan yang terdiri dari 1.500 lebih individu dan 200 lebih lembaga yang fokus melakukan pendampingan, mengawal isu perempuan dan anak.  Jaringan ini sejak awal mengadvokasi pembahasan RUU TPKS.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!