Makan Siang Gratis untuk Ibu Hamil Itu Tokenisme, Salah Kaprah, Tak Selesaikan Masalah

Sebagai ibu hamil, saya sepakat pemenuhan gizi itu jadi satu bagian penting bagi kesehatan. Tapi menyederhanakan persoalan perempuan hamil hanya dikasih solusi dengan makan gratis, itu jelas salah kaprah.

Jika risiko stunting pada anak yang dikandung ibunya, sampai menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) hanya diselesaikan dengan satu program bagi-bagi makan gratis, itu salah kaprah.

Ibaratnya, program makan siang gratis bukan panasea, alias bukan obat dari semua penyakit. Bukan solusi dari semua masalah kompleksitas perempuan hamil. Sebab tak hanya unsur material berupa ketersediaan gizi, infrastruktur kesehatan, tapi juga kondisi psikologis yang perlu sehat dan bebas dari berbagai kekerasan berbasis gender.   

Itulah yang pertama terbersit usai membaca visi misi hingga debat kelima Capres-Cawapres Prabowo-Gibran pada 4 Februari 2024 lalu. Di kesempatan itu, Prabowo sempat bilang ada persoalan stunting, karena ibu dan anaknya kurang gizi. Pun dia menyorot adanya angka kematian ibu yang tinggi. Solusi dari semua itu adalah program pemberian makan. 

“Sebetulnya, yang saya sampaikan persis itu program saya beri makan ibu yang hamil, karena dia mengandung 9 bulan,” ujar Prabowo. 

Sekitar sebulan kemudian, setelah masa pencoblosan dan munculnya hasil hitung cepat (quick count), wacana soal makan siang-susu gratis makin santer diperbincangkan. Program andalan capres-cawapres Prabowo-Gibran ini, bahkan sudah dibahas dalam rapat kabinet dalam rapat Kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini.  

Terbaru, pemerintah menyebut saat ini sudah mengantongi data jumlah ibu hamil, anak balita, anak-anak sekolah dari TK, SD, hingga SMP untuk mengukur kebutuhan makan siang gratis. 

Baca Juga: Para Ibu Sedang Berjuang, Anak Mereka Kena Stunting, Aktivis Minta Pemerintah Perjuangkan Gender dalam Stunting

Diperkirakan, anggaran dana yang dibutuhkan jumlahnya sebesar Rp 450 triliun per tahun. Jumlah itu setara dengan 24% dari total belanja negara di APBN 2024, yang mencapai Rp 3.325,1 triliun. Anggaran itu lebih besar ketimbang alokasi dana untuk program kesehatan senilai Rp 187,5 triliun, ketahanan pangan Rp 114,3 triliun dan program subsidi Rp 286 triliun. 

Tak heran, program yang diambil dari APBN tahun 2025 ini, banyak dinilai bakal mengorbankan anggaran lain dari program perlindungan sosial. Termasuk yang lagi ramai di pemberitaan, berpotensi memangkas anggaran subsidi BBM sampai dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Menyoal penggunaan dana BOS ini, terjadi banyak penolakan dari kalangan akademis dan sekolah. Yayasan Cahaya Guru (YCG) misalnya, menilai program makan siang gratis tidak menjawab problem utama pendidikan. Dana BOS semestinya digunakan untuk peningkatan kualitas belajar mengajar di sekolah seperti gaji guru dan karyawan sampai kebutuhan penunjang lainnya. 

“YCG tidak setuju jika wacana makan siang gratis menggunakan alokasi dana pendidikan,” tegas Muhammad Mukhlisin, Direktur Eksekutif YCG melalui siaran resmi yang diterima Konde.co.

Ubaid Matraji dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) juga menyatakan penolakannya terkait makan siang gratis yang memangkas anggaran pendidikan. “Jika dipaksakan, harus ada makan siang, maka anggaran makan siang harus di luar anggaran pendidikan,” katanya. 

Saya ngobrol bareng akademisi dan aktivis perempuan tentang program makan siang-susu gratis ini kaitannya dengan isu perempuan. Mereka adalah Ani Soetjipto, dosen dan akademisi Universitas Indonesia dan Mike Verawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI). 

Kegagalan Melihat Akar Persoalan Perempuan

Ani Soetjipto menyoroti soal solusi ‘makan siang-susu gratis’ terhadap isu perempuan yang digaungkan capres-cawapres ini, hanya sebatas tempel-tempelan atau tokenisme. 

Dalam istilah umum, tokenisme ini juga bisa bermakna setengah hati. Tidak mendasar menggali akar persoalan perempuan. 

Solusi terhadap isu perempuan, dalam hal ini ibu hamil soal stunting dan kematian ibu, hanya dilihat secara permukaan dan terpisah. 

“Kegagalan melihat isu perempuan. Perempuan dianggap sebagai isu terpisah. Sebetulnya isu gender ada di semua, kalau kita ngomongin stunting itu kan sebetulnya multidimensi, ada di kesehatan, pendidikan, ada dari sisi kultur,” ujar Ani ketika ditemui Konde.co di kawasan Jakarta, Jumat (23/2/2024). 

Cara pandang terhadap isu perempuan pun, hanya sebatas material. Dianggapnya, bagi-bagi hal fisik seperti makan siang-susu gratis, sudah bisa memenuhi kompleksitas persoalan perempuan. Dimana mereka berasal dari kelas sosial, letak geografi, budaya dan situasi yang beragam. 

“Perempuan hanya didefinisikan secara esensial tadi, dianggap karena tubuhnya sama dianggap kebutuhan, kepentingannya sama, menjadi digeneralisasi, itu parah jadinya, gak ada yang substantif,” kata akademisi yang juga mengajar di Kajian Gender UI ini.

Dia menyayangkan, tim capres-cawapres yang gagal melihat dimensi-dimensi gender dalam solusi atas pemenuhan hak perempuan. Bicara soal akar ketimpangan gender misalnya, itu tidak bisa dilepaskan soal power relation (relasi kuasa). Maka harusnya dibongkar semua itu, supaya ada solusi yang komprehensif, tepat dan adil. 

“Kebijakan menyelesaikan masalah itu gak ada di bayangan kita, karena mereka melihatnya, ya udah simply. Kasih aja ini ini,” imbuhnya. 

Baca Juga: Yang Perlu Kamu Tahu: 12 Persoalan Perempuan Yang Dibahas Di Konferensi Perempuan Sedunia

Kegagalan menemukan dan mengenali masalah kompleks perempuan, serta kegagalan melihat ketimpangan relasi kuasa ini, dampaknya lagi-lagi akan merugikan perempuan. 

Ini diperparah dengan perspektif yang tidak sensitif gender. Seperti melihat persoalan perempuan hanya pada hal-hal fisik seperti pemberian bansos, duit, makanan dan lainnya. Padahal ada juga budaya patriarki yang seharusnya juga diperhatikan. 

“Dia melihatnya karena miskin, duitnya gak banyak, kasih aja susu-makan siang gratis. Padahal, faktor stunting misalnya ada banyak faktor yang terlihat dan tak terlihat, itu yang harusnya dibongkar,” jelasnya. 

Dia juga menyerukan agar isu perempuan tidak hanya dijadikan gimmick. Jangan juga hanya jadi pendompleng suara populis, yang seolah-olah peduli dengan perempuan. Tapi gagal membaca dan memberikan solusi yang betul-betul berpihak pada kepentingan perempuan.

Dalam pemilu ini, mestinya kontestasi dan perjuangan isu itu sepaket. Termasuk ketika bicara soal isu hak perempuan. 

“Bukan hanya menang untuk populis, gimmick-gimmick banyak kan. Joget gemoy, politik riang gembira. Tapi gak mengedukasi publik sebetulnya, tidak memberikan pendidikan politik kepada publik,” kata penulis buku ‘Politik Harapan: Perjalanan Politik Perempuan Indonesia Pasca Reformasi’ itu. 

Baca Juga: Akademisi Sebut Program Kerja Prabowo-Gibran Lemah Pada 7 Isu Krusial Meski Unggul Quick Count

Prabowo menyebut bahwa program makan siang gratis yang jadi janji unggulan kampanyenya bisa mendongkrak perekonomian hingga 2%. The Conversation Indonesia kemudian menghubungi M. Rizki Pratama, dosen Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya dan Alexander Michael Tjahjadi, peneliti dari Think Policy untuk menganalisis kebenaran klaim Prabowo tersebut.

Menurut Rizki, klaim-klaim Prabowo tersebut sulit diverifikasi. Perlu analisis lebih cermat desain konten kebijakannya, seperti cakupan yang menyeluruh atau tidak hingga variabel-variabel lain seperti daerah tertinggal dan latar belakang keluarga. Sebab, tujuan dan objek dari kebijakan makan siang gratis Prabowo belum terdefinisi dengan jelas sehingga sulit untuk dikaji dengan mendalam.

Senada, Alexander berpendapat bahwa klaim Prabowo tidak bisa dibuktikan secara langsung atau diverifikasi. Hasil penelusuran Alexander menunjukkan program makan siang di banyak negara telah memiliki dampak signifikan terhadap pendapatan dan juga penyerapan produk domestik. Namun, ia menegaskan belum ada bukti yang menyatakan ekonomi bisa tumbuh 1,5-2% karena makan siang.

Mengerdilkan Daya Juang Perempuan 

Penyederhanaan solusi terhadap isu perempuan, dengan pemberian makan siang-susu gratis, juga sebagai bentuk pengkerdilan atas perempuan yang selama ini berjuang. 

Hal itu disampaikan Mike Verawati dari KPI. Dia menyebut pula soal praktik “mengguyur” bansos yang justru mematahkan semangat perjuangan dan daya lenting perempuan. Terlebih selama ini kita melihat, perempuan petani dan masyarakat adat misalnya pada masa pandemi, justru yang bisa bertahan.

Konde.co pernah menuliskan, bagaimana dalam situasi buruk dan berat saat pandemi, perempuan adat membuktikan ketangguhannya sebagai perubahan sosial. Ini ditunjukkan dari ragam inisiatif, daya lawan, dan kelenturan perempuan menghadapi situasi. Mereka yang kehilangan sumber penghidupan, justru kuat mengkonsolidasikan diri di kampung-kampung melalui pertanian yang dikelola secara kolektif, melakukan pengawetan stok pangan sehingga bisa dikirim ke kampung lain yang membutuhkan bahkan perkotaan. 

Dalam konteks hari ini, Mike menyebut, pada musim kering berkepanjangan, para perempuan dan petanilah yang paling mengetahui pola tanam yang membantu mereka. Mereka punya strategi dari pengalaman dan kearifan lokal yang dimiliki. Mereka juga punya inisiatif untuk beradaptasi. 

Baca Juga: Kongres Perempuan Nasional 2023, Bahas Persoalan Perempuan dan Politik

Mike menyebut, program “bagi-bagi” semacam itu, merusak mentalitas dan militansi perempuan. Apalagi, jika menyamaratakan situasi dan kondisi persoalan perempuan hamil yang misalnya kurang gizi dengan makan siang-susu gratis. 

“Saya tuh tersinggung lho, maksudnya, masyarakat (perempuan) itu kelas pejuang lho, mereka itu berjuang, mereka itu mengatasi keadaan. Bahkan ketika negara gak hadir, mereka mengatasi sendiri,” kata Mike saat ditemui Konde.co di Jakarta, Sabtu (24/2/2024).  

Mike juga mengkhawatirkan, program ini nantinya justru semakin merentankan perempuan. Salah satunya soal dana jumbo yang memangkas anggaran untuk kebijakan serta program yang lebih krusial bagi pemenuhan hak perempuan. 

Soal program makan siang-susu gratis yang dikatakan “ingin menyamai” negara maju, Mike turut berkomentar. Baginya, negara seperti Jepang dan Finlandia yang dijadikan rujukan, itu berbeda situasinya dengan di Indonesia. “Jangan dijadikan contoh, itu sistem pendidikan yang sudah terpola,” katanya. 

Berdasarkan Japaneses Station, makan siang gratis di sekolah Jepang misalnya, sudah ada sejak 1889 di sekolah swasta. Tak hanya menawarkan makan siang gratis bagi anak-anak dari keluarga miskin, dia juga ada sistem edukasi nutrisi dan ahli diet. Populernya disebut sistem Kyushoku.

Jepang juga memiliki pedoman nutrisi dasar untuk makan siang di sekolah melalui School Lunch Program Act. Dalam aturan ini, memiliki pedoman kalori yang akurat bagi anak-anak usia sekolah. 

Sama halnya dengan Ani, Mike menyayangkan, program ini seolah hanya sebagai pendulang suara. “Sehingga, itu menjadi harus dibuktikan kepada mereka yang mencoblos,” pungkasnya. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!