Korban Dugaan Pelecehan Seksual Cabut Laporan, Aktivis Perempuan: Hormati Putusan Korban

Sehari setelah melakukan mediasi, korban kasus dugaan pelecehan seksual S, lewat videonya kemudian menarik pengaduannya dan menyatakan bahwa ia tidak dilecehkan oleh GH. Para pendamping dan aktivis perempuan mengajak semua pihak untuk menghormati keputusan korban.

Salah seorang korban dugaan pelecehan seksual yang didampingi LBH Apik Jakarta, S, mengajukan pencabutan kuasa hukum pada 10 Februari 2022 lalu.

Di hari yang sama, S baru saja mengadakan mediasi di kepolisian bersama terduga pelaku yang banyak dikenal sebagai publik figur, GH. 

Selang sehari kemudian, S kemudian membuat video dan menyampaikan bahwa dia telah melakukan tuduhan yang tidak benar pada terduga pelaku melalui akun twitternya. 

Diketahui, bersamaan dengan pernyataan korban di sosmed itu, GH kemudian mencabut laporan gugatan dugaan ‘pencemaran nama baik’ atas nama korban di kepolisian. Pelaporan itu, sebelumnya tertuang dalam LP/B/461/VIII/2021/SPT/BARESKRIM POLRI tertanggal 14 Agustus 2021. Dugaan ‘pencemaran nama baik’ melalui elektronik sebagaimana yang tertuang dalam pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (3) dan/pasal 310 KUHP dan/atau pasal 311 KUHP. 

“Kami menghargai permohonan dan keputusannya terlepas dari apapun alasannya, yang dimiliki korban saat itu dan tindakan yang diambil setelahnya,” tulis Direktur Eksekutif LBH Apik Jakarta, Siti Mazuma dalam keterangan resminya kepada Konde.co, Senin (14/2/2022). 

Sejauh ini, pihaknya menjelaskan, LBH Apik Jakarta dan SAFEnet telah melakukan langkah-langkah proses advokasi korban mulai dari rapat koordinasi kasus bersama aparat penegak hukum (11 Juli 2021), rujukan konseling psikologi pada korban dan saksi (Agustus 2021), pelaporan ke kepolisian (Agustus 2021), dan koordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada Oktober 2021. 

Sementara saat ini, LBH Apik Jakarta dan SAFEnet menekankan, mereka masih berjalan bersama dengan korban dan saksi lainnya. Publik pun diharapkan untuk bisa menjaga kerahasiaan data pribadi dari korban dan saksi. Selain itu, juga menghormati persetujuan (konsen) dari korban dan saksi terkait dengan update yang disampaikan ke publik. 

Dukungan masyarakat untuk tetap berpihak ke korban juga disampaikan Zuma. Pihaknya meminta agar para pihak lain untuk tidak mendesak korban memberikan penjelasan kepada publik. Selain itu, publik diminta untuk terus memberikan ruang aman untuk para korban dengan proses pengalaman kekerasan seksual yang telah dialami. Termasuk, proses pemulihan dan mendapatkan keadilan. 

“Kami (juga) mendesak kehadiran negara dalam pengesahan RUU TPKS yang berpihak pada korban dengan segala kompleksitas pengalaman korban,” kata Zuma. 

Hentikan Polemik, Hormati Keputusan Korban

Berdasarkan komunikasi dengan para pendamping, Komnas Perempuan menyampaikan ajakan untuk publik agar bisa menghentikan polemik terkait video ‘pernyataan dan permintaan maaf’ korban. Selain itu, publik juga diminta untuk bisa menghormati keputusan S. 

Sebelumnya, video unggahan S yang ‘mengklarifikasi’ bahwa cuitannya pada 8 Juni 2021 yang menuduh GH itu tidak benar, memang menimbulkan banyak reaksi. Ada yang mendukung korban, namun tak sedikit juga yang menyoroti ‘delusi atau dorongan internal yang imajinatif’ yang diungkapkan korban dalam video tersebut. Untuk yang kelompok kedua ini, publik ada yang menyalahkan korban dan pendamping yang dinilai “bias”. 

“(Mari) terus membangun solidaritas terhadap korban kekerasan seksual dan para pendamping korban,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah, secara tertulis kepada Konde.co, Senin (14/2/2022). 

Siti Aminah mencatat, pihaknya menilai kerja-kerja pendampingan yang selama ini dilakukan oleh lembaga-lembaga layanan merupakan kerja yang kompleks dan sistematis. Mulai dari proses mengurai kasus, mengklarifikasi, memverifikasi dan pada saat yang sama terus melakukan upaya pemulihan pada korban. Sebab tak jarang, korban mengalami guncangan mental saat proses saat proses penanganan. 

Maka dari itu, pihaknya menekankan agar publik bisa memahami proses pendampingan korban ini tetap dalam prinsip nilai pemberdayaan dan penghormatan terhadap korban. 

“Ini merupakan bagian fundamental dari pendampingan,” tegasnya. 

Dia juga menyerukan kepada para korban dan penyintas kekerasan seksual untuk terus saling menguatkan di tengah polemik kasus ini. Komnas Perempuan menegaskan kembali, bahwa kekerasan seksual dalam berbagai bentuknya adalah kekerasan terhadap perempuan berbasis gender, yang tak bisa ditolerir. 

Kekerasan seksual termasuk pelecehan yang dialami perempuan, kata dia, tak lepas dari adanya ketimpangan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki di masyarakat. Acapkali, perempuan ditempatkan hanya sebagai “objek kuasa” dan penundukan secara seksual. 

“Relasi kuasa tersebut, kerap berlapis dengan bentuk kekuasaan di antaranya popularitas,” ucapnya.

Mendesak Upaya Sistematis Cegah Kekerasan dan Pelecehan Seksual 

Siti Aminah juga menyoroti sistem hukum di negara ini yang kerap sekali ironis terhadap korban kekerasan seksual. Hukum kerap tidak dapat “menjangkau” pelaku karena hukum sendiri termasuk aparatnya belum sepenuhnya berpihak pada korban. 

Ditambah, sikap menyalahkan korban (victim blaming) yang tumbuh subur di tengah masyarakat patriarki ini. Sikap-sikap ini yang kemudian melahirkan ‘budaya perkosaan’ atau rape culture, suatu budaya yang menganggap normal sebuah kekerasan seksual.  

“Sistem pembuktian hukum pidana (juga jadi hambatan), menjadikan satu-satunya pengakuan ada tidaknya kekerasan seksual. Padahal, sistem pembuktian dan pilihan penyelesaian pidana terhadap korban serupa ini justru menjadi salah satu yang menyebabkan kondisi korban mengalami reviktimisasi,” kata dia. 

Dia tak memungkiri, polemik video tersebut bisa berdampak kepada korban dan penyintas kekerasan seksual dalam berbagai kasus. Komnas Perempuan pun mengenali bahwa pendampingan menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi korban kekerasan seksual. 

Berdasarkan pengalaman pengaduan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang diterima Komnas Perempuan, Ami pun mengatakan korban dan keluarga korban kerap berada dalam tekanan publik. 

Apalagi, dalam kondisi perkembangan sosial media hari ini dan adanya ketimpangan relasi kuasa seperti terduga pelaku adalah seorang seleb atau tokoh. Maka, saat terjadinya kasus hingga kasus diproses dan kemudian diketahui publik, seluruhnya tampil di dalam pemberitaan media dan menjadi bahan perbincangan media sosial. 

“Tekanan tersebut, dapat mempengaruhi kesehatan mental korban dan keluarganya yang kemudian berimplikasi pada pengambilan keputusan korban,” tegasnya. 

Dengan adanya pendampingan korban dan keluarga, maka penguatan bisa dilakukan. Meski begitu, publik menurutnya juga harus memahami kompleksitas permasalahan korban kekerasan seksual terutama yang bersinggungan dengan popularitas sebagai bentuk kekuasaan (power).

“Komnas perempuan menghormati putusan dan keluarganya untuk mengambil jarak dari seluruh situasi dan implikasi yang melingkupinya,” pungkasnya. 

Menyoal upaya mengatasi hambatan korban kekerasan seksual dalam memperjuangkan keadilan dan pemulihan, Komite CEDAW untuk penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan mengeluarkan Rekomendasi Umum No. 35 yang menekankan pentingnya kekerasan terhadap perempuan berbasis gender ditanggapi secara sistemik, bukan individual. 

Di samping itu, upaya penanganan kasus kekerasan seksual juga merupakan perwujudan dari tanggung jawab konstitusional. Maka, tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab untuk pengakuan, perlindungan dan penegakkan HAM. Khususnya, jaminan perlindungan dan kepastian hukum dan atas rasa aman, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 28D ayat 1 dan 28G ayat 1 UUD 1945.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!