Malapetaka Eksploitasi Alam, Kapan Perempuan Berhenti Jadi Korban?

Stop mengorbankan perempuan ketika banyak terjadi eksploitasi alam. Perempuan adalah entitas yang mampu beradaptasi dengan cepat ia sebagai penyelamat lingkungan dan mampu bertahan hidup dengan situasi yang tidak dapat diprediksi.

Masyarakat Tanah Toraja, Sulawesi Selatan mempercayai tradisi Passiliran, yaitu prosesi pemakaman khusus bayi. Dalam kepercayaan ini, jenazah bayi disemayamkan di dalam batang Pohon Tarra, istilah dalam bahasa Toraja untuk pohon sejenis sukun.

Berbagai literasi mencatatkan, adanya realitas magistis dalam pemakaman bayi dalam Pohon Tarra ini, yang melambangkan “rahim yang baru” bagi sang bayi. Pohon ini, juga dipercaya, menjaga jenazah bayi yang ditanam di batangnya. 

Masyarakat adat Toraja percaya, pohon inilah yang nantinya akan meneruskan kehidupan kasih sayang dan cinta kasih yang murni dari seorang ibu. Sebab sosok ibu dalam realitas gender perempuan ini, memiliki insting untuk melindungi dan merawat anaknya. 

Perempuan memiliki rahim sebagai tempat tumbuhnya janin. Lebih jauh lagi, perempuan juga dibekali “mother ability” untuk senantiasa merawat dan menjaga kehidupan. Tak hanya menjadi tempat berlindung bagi anak-anaknya, perempuan juga jadi pelindung bagi alam raya. 

Perempuan dan alam adalah dua entitas yang saling terkait. Air, udara, dan tanah adalah satu kesatuan yang memiliki dampak besar bagi kehidupan perempuan. Betapa banyak kita saksikan, perjuangan perempuan untuk ikut berkontribusi menahan dan memperbaiki kerusakan alam.  

Namun ironisnya, perempuan seringkali menjadi yang paling menderita akibat dampak kerusakan alam yang terjadi. Realitas dan pengetahuan perempuan dalam lingkup sumber daya alam juga seringkali diabaikan oleh Negara. 

Pemanfaatan sumber daya alam di berbagai daerah selalu menyisakan masalah dan konflik sehingga masyarakat semakin dekat dengan kemiskinan akibat hilangnya akses terhadap sumber kehidupan, akses terhadap lahan, akses terhadap air bersih, dan akses terhadap tempat tinggal.

Meningkatnya polusi yang berdampak pada kesehatan masyarakat, dan kelangsungan hidup generasi berikutnya merupakan satu gambaran nyata (Adger, 2000-2010). Misalnya saja, kegiatan eksploitasi lahan untuk pembangunan hingga konflik vertikal yang terjadi akibat tidak adanya legitimasi hukum terhadap tanah warga setempat.  

Selain itu, konflik juga muncul dari ancaman, penganiayaan, penembakan, penangkapan atau kriminalisasi terhadap warga lokal termasuk perempuan hingga kini juga terus terjadi. 

Kerusakan alam dan dampaknya pada Perempuan

Sejumlah kebijakan pengelolaan sumber daya alam, ironisnya kini telah mengacu pada kepentingan investasi asing. Kehadiran UU No. 25 tahun 2007 mengenai Penanaman Modal telah menjadikan posisi modal asing sebagai prioritas dibandingkan penanaman modal dalam negeri.

Keterlibatan public private partnership dalam segala sektor yang tidak dikelola baik, bisa berdampak kurang baik pula bagi sektor pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Hal ini bahkan dapat dinilai bertentangan dengan konstitusi Indonesia yang mengacu pada Pasal 33 ayat 3, yang mengatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Adanya konflik agraria, pencemaran air, hingga kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan sumber daya alam mereka adalah sederet bukti yang nyata. Belum lagi, izin yang tumpang tindih juga menjadi konflik yang belum terselesaikan. Dampaknya, tentu saja, lagi-lagi kepada kaum perempuan.

Perempuan dalam aspek elemen negara yang teridentifikasi dalam bagian dari masyarakat sipil atau civil society. Di Indonesia, uraian mengenai masyarakat sipil ini belum sepenuhnya mampu diterapkan dikarenakan reformasi yang membutuhkan perlindungan undang-undang dalam penguatan perempuan sebagai bagian penting dalam masyarakat sipil untuk ikut memberikan kontribusi dalam pengelolaan sumber daya lingkungan (Mies, 2005).

Kontribusi perempuan: entitas yang mudah beradaptasi

Perempuan merupakan entitas yang mampu beradaptasi dengan cepat sehingga mampu bertahan hidup dengan situasi yang tidak dapat diprediksi (Sturgeon, 1999). 

Maka dari itu, perempuan dalam masyarakat sipil berkontribusi dalam perundingan, diskusi dalam perencanaan pembangunan dan dalam penentuan aktor dalam sistem politik. Sehingga, perempuan mampu memberikan suatu solusi yang dapat digunakan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. 

Perempuan mesti maju di garda terdepan dalam bersuara untuk memperjuangkan hidup layak dan pelestarian sumber daya alam. Perempuan juga berhak mendapatkan perlindungann fisik dan legitimasi hukum yang jelas. 

Pekerjaan ini harus dimulai dan terus dilakukan, sebab berbagai kerusakan alam sudah semakin genting. Perempuan mesti didorong untuk mampu berbicara lantang mengenai isu lingkungan dan sumber daya alam tersebut dikarenakan dampak tersebut mampu merambah dalam berbagai aspek lingkungan (tanah, air, mineral, organisme, kehidupan, atmosfer, dan iklim). 

Negara harus pula hadir dalam memotret realita perempuan dan alam. Terlebih, adanya relasi yang kuat antara pendekatan kesehatan reproduksi perempuan yang mengalami penurunan yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan dan sumber daya alam. 

Kita tentu tak bisa menutup mata atas kenaikan penderita endometriosis yang mencapai 5,5 juta oleh perempuan muda yang disebabkan oleh gas beracun dari limbah produksi pertambangan pada tahun 1980.  Selain itu, penderita kanker payudara juga meningkat lebih dari 22% pada tahun 1980 (Boserup, 1984). 

Selain itu, juga pada sumber air yang tercemar. Hal tersebut dapat berdampak secara intensif pada kesehatan perempuan, di mana 90% kehidupan perempuan sangatlah dekat dengan air. Hal tersebut dikarenakan konstruksi peran gender yang masih menempatkan perempuan pada pekerjaan domestik dalam sektor rumah tangga (mencuci dan memasak).

Negara juga harus mampu mereproduksi pengetahuan yang memposisikan perempuan sebagai korban terbesar dalam kerusakan lingkungan. Maka dari itu, pemerintah harusnya lebih selektif dalam menentukan proyek kebijakan yang dikhawatirkan bisa menimbulkan dampak kerusakan lingkungan. Termasuk, sumber pendanaan yang tidak menyebabkan eksploitatif.

In disebabkan, dominasi aktor pendanaan internasional sebagai pemilik modal, yang disalahgunakan dengan kebijakan privatisasi dan liberalisasi oleh negara, bisa melahirkan sejumlah proyek-proyek penebangan, pengalihan, penggusuran lahan atas nama pembangunan yang ternyata semakin memarjinalkan perempuan. 

Jika tak lekas bergegas membenahi perspektif pembangunan agar lebih berpihak pada perempuan dan alam. Jangan-jangan, nantinya anekdot satir yang hadir di tengah masyarakat Tanah Toraja bisa benar-benar terjadi. 

“Seiring dengan kerusakan alam dari lemahnya pengawasan dan kontrol kuasa negara dalam praktik eksploitasi alam ini, akankah pohon Tarra menjadi tempat yang terbaik untuk merawat dan menjaga generasi masa depan?”

Dinie Wicaksani

Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan di Universitas Gadjah Mada (UGM). Memiliki minat kajian politik sumber daya alam dan gender.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!