Dari Serikat PRT Saya Belajar Menegosiasikan Hari Libur dan THR

Selama bertahun-tahun bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga/ PRT, saya nyaris tak pernah diberi hari libur maupun tunjangan hari raya. Kini saya berhasil mendapatkan hak saya itu setelah belajar di Serikat Pekerja Rumah Tangga.

Perkenalkan, nama saya Dewi Korawati dan biasa dipanggil Bu Dewi. Saat ini usia saya sudah tidak muda Iagi yakni sudah kepala lima atau lebih dari 50 tahun. Telah banyak asam garam dan pahit manisnya hidup selama bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) yang saya rasakan.

Telah banyak pengalaman- pengalaman yang saya rasakan selama lebih 20 tahun bekerja sebagai PRT pada majikan yang berbeda-beda. Saya berpindah-pindah kerja bukan karena saya orangnya cepat bosan, tetapi karena berbagai alasan.

Salah satu alasannya adalah kekerasan, diskriminasi dan perlakuan tidak layak yang saya aIami. Pernah satu waktu, tepatnya pada kurun 2013-2015, saya bekerja sebagai PRT pada sebuah keluarga di Pondok Cabe, Tangerang Selatan.

Setiap hari saya harus bekerja mulai pukul 08.00 waktu Indonesia barat (WIB).  dan boleh pulang sekitar pukul 15.00 WIB. Artinya saya bekerja 7 jam sehari, namun gaji yang saya terima waktu itu hanya Rp 350 ribu per bulan. Angka ini jauh dari upah minimum regional saat itu yang berada di kisaran Rp 3 juta per bulan.

Selain upah minim, saya juga tidak pernah libur. Setiap hari saya harus masuk kerja, termasuk pada Hari Minggu ataupun hari libur nasional. Uang lembur? Jangan pernah berharap untuk mendapatkannya.

Tapi yang bisa saya lakukan saat itu hanyalah diam dan menerima. Karena, memang tak ada pilihan lain bagi saya dan saya harus menambah pendapatan keluarga.

Pengalaman lain yang bisa saya ceritakan adalah saat bekerja pada sebuah keluarga besar yang terdiri dari sepasang suami isteri bersama 3 orang anaknya yang sudah dewasa. Anak sulung mereka sudah berkeluarga dan mempunyai 2 orang putera yang sudah bersekolah di Taman Kanak-kanak (TK) dan tinggal bersama orang tuanya.

Jadi jumlah anggota keluarga di rumah itu total ada 8 orang. Bisa dibayangkan betapa banyak pekerjaan yang harus saya kerjakan. Mulai membersihkan rumah dan menyapu halaman yang cukup luas, belum lagi cucian dan setrikaan yang menggunung setiap harinya, sementara upah yang saya terima tidak sebanding dengan beban kerja yang saya terima.

Tapi lagi-lagi saya hanya bisa menerima dan tak bisa bilang apa-apa meski upah yang saya terima  hanya sesuai kebaikan hati majikan.

Hingga akhirnya, pada suatu hari, seingat saya pada akhir Oktober tahun 2016 saya diajak oleh teman sesama PRT untuk bergabung dengan serikat  pekerja  rumah tangga (SPRT) komunitas Pondok Cabe atau SPRT Tangerang Selatan.

Setelah mengikuti kegiatan saya jadi mengerti akan  hak-hak pekerja rumah tangga. Karena dalam organisasi ini, kami para PRT diajak mengikuti kelas wawasan yang membahas mengenai hak dan kewajiban PRT. Di sana kami juga belajar berorganisasi dan berbagai ketrampilan yang dibutuhkan seorang PRT.

Dari sini saya jadi paham, perlakuan tidak layak yang  saya alami di tempat kerja seperti upah rendah, jam kerja panjang, tidak ada libur, tidak ada THR dan sebagainya dikarenakan belum ada Undang-undang yang memayungi kami para PRT.

PRT masih belum diakui sebagai pekerja, sehingga akibatnya kerja-kerja PRT tak diakui. Hal Ini dikarenakan PRT belum punya undang-undang yaitu payung hukum yang dapat melindungi PRT dari perlakuan para majikan mereka. Belum ada UU yang mengatur berapa upah yang layak bagi PRT, bagaimana waktu kerja PRT dan sebagainya.

Saya akhirnya juga paham bahwa semua itu diatur dalam 20 unsur kerja layak PRT yang dirangkum dalam RUU Perlindungan PRT yang sudah diperjuangkan sejak 2004. Sehingga  mulai tumbuh kesadaran saya untuk membela hak -hak saya sebagai PRT dan bersama PRT lainnya memperjuangkan pengesahan RUU Perlindungan PRT.

Negosiasi dengan majikan

Tak hanya berorganisasi, setelah bergabung dengan SPRT saya juga mulai memiliki keberanian untuk menegosiasikan hak-hak saya dengan majikan. Salah satu hasilnya adalah saya diizinkan libur di Hari Minggu.

Awalnya majikan memang tidak memberikan izin. Alasannya, jika hari Minggu libur nanti hari Senin pekerjaan akan menumpuk, lantas siapa yang akan mengerjakan pekerjaan itu di hari Minggu?

Setelah saya jelaskan dengan hati-hati, bahwa saya juga membutuhkan istirahat untuk bisa berkumpul dengan keluarga, dan sebaliknya majikan pada hari itu libur dan bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga, akhirnya izin itu keluar.

Hasil negosiasi lainnya adalah pemberian tunjangan hari raya (THR) saat Lebaran tiba. Karena sebelumnya, berbeda dengan sesama kawan PRT yang mendapat libur lebaran dan THR sebesar satu bulan gaji, saat Lebaran saya hanya menerima sekaleng biscuit dan sebotol sirup plus uang Rp 100 ribu.

Sesekali saya juga mendapatkan pakaian pantas pakai dari majikan. Setelah saya menegosiasikan hal ini, akhirnya majikan bersedia memberikan THR dan memberikan libur Lebaran untuk saya.

Saya tidak tahu, apa yang akan terjadi seandainya saya tidak ikut bergabung dengan SPRT. Mungkin, seumur hidup saya akan tetap bekerja sebagai PRT meski dalam kondisi tempat kerja yang tak layak dan digaji rendah. Jadi, saya mengajak teman-teman PRT untuk bergabung dengan SPRT di daerahnya masing-masing, dan bersama-sama kita memperjuangkan hak-hak kita sebagai pekerja.  

KEDIP atau Konde Literasi Digital Perempuan”, adalah program untuk mengajak perempuan dan kelompok minoritas menuangkan gagasan melalui pendidikan literasi digital dan tulisanTulisan para Pekerja Rumah Tangga (PRT) merupakan kerjasama www.Konde.co yang mendapat dukungan dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT).

Dewi Korawati

Aktif di Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Tangerang Selatan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!