Paparkan Hasil Riset, Fatia dan Haris Malah Jadi Tersangka

Hanya gara-gara paparkan hasil riset, Fatia dan Haris malah jadi tersangka. Tim advokasi untuk Demokrasi akan menyerahkan bukti riset dugaan keterkaitan Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan di Tambang Intan Jaya Papua pasca polisi menetapkan Direktur Kontras, Fatia Maulidiyanti dan Direktur Lokataru, Haris Azhar sebagai tersangka.

Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar dalam sebuah talkshow di Youtube pada 6 bulan lalu memaparkan hasil riset yang dilakukan 9 organisasi HAM dan lingkungan yang berjudul: ekonomi politik di Papua dengan studi kasus Intan Jaya. 

Riset pada Agustus 2021, yang dilakukan 9 organisasi dalam gerakan #BersihkanIndonesia yakni Pusaka Bentara Rakyat, LBH Papua, WALHI Papua, Greenpeace Indonesia, YLBHI, WALHI Nasional, KontraS, JATAM dan Trend Asia diluncurkan, dengan laporan riset berjudul “Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua Kasus Intan Jaya.” Riset ini mengungkap tentang praktik bisnis di Papua yang melanggar hak asasi manusia.

Fatia Maulidiyanti dalam konferensi pers pada 23 Maret 2022 di Jakarta yang diikuti Konde.co mengatakan bahwa riset ini bertujuan menyampaikan ke publik soal korelasi bisnis dengan banyaknya penerjunan militer di Papua. Namun herannya, pejabat negara malah menangkap orang yang memaparkan hasil riset.

“Jadi pada akhirnya ini justru mematahkan realita pelanggaran HAM di Papua, jadi kalau negara peduli pada persoalan di Papua, negara tidak sekedar mengkriminalisasi warga, namun melindungi hak asasi manusia di Papua, bukan justru menutupi dan mengancam teror, tapi seharusnya menjadi bagian dari konstitusi karena ini merupakan hak kebebasan bersuara dan berekspresi,” kata Fatia Maulidiyanti.

Fatia menyatakan bahwa ini justru membuka informasi tentang kultur pembungkaman yang banyak terjadi di zaman orde baru

“Ini juga membuktikan bahwa kultur pembungkaman ini masih terjadi sampai sekarang, yaitu berupa pembungkaman bersuara yang masih terjadi,” kata Fatia 

Dalam konferensi pers misalnya ada sejumlah poster bertuliskan:

“Laporan pejabat yang patgulipat, namun laporan warga diperlambat”

“Banyak jabatan tapi dikritik malah bikin laporan”

Tim advokasi dalam konferensi pers kemudian mempertanyakan: jika melakukan riset saja ditangkap, bagaimana publik atau organisasi bisa mengungkap kebijakan yang tak berpihak pada publik yang selama ini dilakukan pemerintah? Karena seharusnya publik berhak tahu apa yang dijalankan pemerintah selama ini terkait kebijakan lingkungan, dan sudah seharusnya pemerintah memaparkan apa yang terjadi pada masyarakat.

Penangkapan karena pengungkapan riset ini menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur justru negara mengurusi hal-hal yang tidak relevan.

“Riset ini padahal ingin mengungkap apakah ada konflik kepentingan karena ini menjadi penting apakah terjadi pelanggaran, kasus lingkungan dan agar publik tahu pertanggungjawabannya menjadi jelas karena ini diatur regulasi Indonesia, agar tidak terkait konflik kepentingan, dan diumumkan ke publik yang merupakan mandatory.”

Namun yang terjadi selama ini, setiap ada konflik lingkungan yang disalahkan selalu masyarakat, masyarakat kondisinya jadi terjepit, sedangkan aktor pelaku tak pernah dipersoalkan. 

“Fatia adalah perempuan yang menjadi wakil kami untuk menyampaikan hasil riset melalui Youtube, ia menjelaskan secara lebih mudah dengan data-data yang sudah kami sajikan dan riset dengan bukti yang sangat kuat,” kata Muhammad Isnur.

Tim advokasi untuk Demokrasi akan menyerahkan bukti riset dugaan keterkaitan Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan di Tambang Intan Jaya Papua

Kasus Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar

Direktur Kontras, Fatia Maulidiyanti dan Direktur Lokataru, Haris Azhar dijadikan tersangka pasca pernyataan keduanya dalam talkshow di Youtube berjudul “Ada Lord Luhut Di balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya! Jenderal BIN Juga Ada!” berdurasi 35 menit yang berujung pada gugatan Menko Marves Luhut Panjaitan atas keduanya. 

Mereka terancam dikenai UU pencemaran nama baik dan UU ITE, padahal mereka berdua hanya membahas hasil riset Walhi Indonesia dan beberapa lembaga non organisasi yang mencoba membuktikan bahwa operasi militer di Kabupaten Wabu, Papua Barat, bukanlah dilakukan untuk tujuan perdamaian dan keamanan Papua, melainkan untuk menguasai lokasi bekas tambang emas milik PT. Freeport Indonesia. 

Perusahaan-perusahaan besar seperti PT. Toba Sejahtera Group, PT. Antam Indonesia, PT. Madina Qurrata’ain hingga PT. Freeport Indonesia, masuk ke dalam daftar pemegang saham paling besar pada MIND.ID, pemegang konsesi dan izin untuk melakukan kegiatan pertambangan di daerah Wabu.

Kepemilikan saham yang sebagian besar dikuasai oleh purnawirawan TNI dan polri itu, lantas mengundang kecurigaan tersendiri. Termasuk, nama Luhut sebagai Purnawirawan TNI  yang kini menjabat sebagai komisaris PT. Toba sejahtera group, sekaligus menjabat sebagai Menko Marves di era pemerintahan Jokowi. 

Selain itu, Purnawirawan TNI lainnya, Paulus Prananto dan purnawirawan polisi, Widya Tampubolon, juga ditemukan dalam riset itu. Keduanya, pernah masuk dalam tim bravo 5, yakni tim yang pemenangan Joko Widodo pada pilpres 2019.

“Tobacom Del Mandiri, anak perusahaan Toba Sejahtera Group. Pemegang sahamnya adalah lord Luhut. Selain Toba Sejahtera ada PT FI komisarisnya bekas pangdam cenderawasih. Mind.id sahamnya diisi tobagroup ada Luhut B Panjaitan, Paulus Prananto, Dewan Penasihat bin muhammad munir ada di mind id, di antam ada TNI Agus surya bakti, ada juga komisaris jenderal bambang surya bowo ada juga Donny Donardo dulu di BNPB,” terang Fatia beberapa waktu lalu. 

Fatia melanjutkan, operasi militer yang dilakukan di kabupaten Wabu, tak lain adalah upaya untuk mempermudah pelaksanaan izin pertambangan. Menurutnya, operasi militer yang dilakukan pemerintah selama ini diindikasikan untuk keamanan dan kedamaian, yang bahkan sekarang melebar ke isu terorisme di tanah Papua itu tidak benar. Namun, ada indikasi mengkondisikan agar warga lokal mengungsi dan meninggalkan tanah adatnya.  

“Kalau kita bicara tanah papua itukan bukan tanah kosong ya, seharusnya dalam izin tambang perusahaan juga harus mengantongi surat izin yang sudah disetujui oleh warga lokal,” tambahnya. 

“Tapi saat ini warga sudah banyak yang lari mengungsi ke daerah lain karena operasi militer itu,” sambung Fatia.

Bagaimanapun juga, Fatia menekankan, Pemerintah harus mencabut izin perusahaan, pemerintah perlu menarik TNI dan Polri, pemerintah juga harus menindak tegas aparat yang melanggar HAM. Sebab, operasi tadi hanyalah kamuflase di balik bisnis para purnawirawan TNI. 

Internally displace person, by force, titik awal permasalahan papua adalah militerisme yang katanya demi keamanan dan kedamaian sampai melebar ke terorisme, ternyata dibalik itu ada isu ekonomi,” tegas Fatia.

Pada 21 Maret 2022, polisi menjadikan Fatia dan Haris sebagai tersangka atas tuduhan pencemaran nama baik dengan UU ITE

Fatia Maulidiyanti, Perempuan Muda Berani Bicara

Siapakah Fatia Maulidiyanti, perempuan muda berani yang membeberkan tentang dugaan pencemaran lingkungan yang diduga melibatkan banyak pejabat di Indonesia?

Fatia merupakan koordinator KontraS periode 2020-2023. Dia dikukuhkan melalui Rapat Umum Anggota pada tanggal 29 Juni 2020. Fatia menggantikan Yati Andriyani yang sebelumnya menjabat sebagai koordinator kontraS periode 2017-2020. 

Perempuan lulusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Parahyangan itu, sebelumnya di kontraS menjabat sebagai Kepala Divisi Advokasi Internasional. Dia juga merupakan alumni dari Sekolah HAM (SeHAMA) KontraS tahun 2014. 

Dia secara konsisten menjalankan agenda advokasi nasional pada beberapa kasus di ranah internasional, baik melalui mekanisme resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maupun  advokasi jejaring internasional yang ditujukan untuk kampanye, seperti terkait kasus Munir, kebebasan sipil, isu ekonomi, sosial, budaya serta HAM lainnya.

Fatia mempunyai pandangan, menyambung estafet perjuangan HAM dengan keterlibatan anak muda memang perlu digaungkan.  Ini begitu penting, mengingat pelanggaran HAM masih saja terjadi di negara ini. 

Semangat inilah yang terus dijalankan Fatia di KontraS: memberdayakan keterlibatan kaum muda untuk bersama-sama melakukan advokasi. Utamanya, bagi kelompok-kelompok rentan, yang selama ini negara kerap abai dengan isu HAM.  

Apa yang menimpa Fatia dan Haris ini, sekaligus menambah daftar panjang kriminalisasi terhadap aktivis dan pejuang rakyat. Di era Undang-undang Cipta Kerja, hal itu semakin kentara karena sarat dengan kepentingan investasi yang tengah banyak digencarkan. Sementara, pengawasan dan kritik publik tidak didengar oleh pemangku kepentingan. Bahkan, malah mengkriminalisasi. 

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!