Perempuan Bukan Makhluk Kelas Dua: Stop Perlakukan Secara Inferior

Manusia yang terlahir dengan vagina (perempuan), kerap mendapatkan lebih sedikit keuntungan dibandingkan yang terlahir berpenis (laki-laki). Perempuan sering diperlakukan secara inferior dan dinilai lebih rendah.

Dalam buku berjudul The Second Sex itu, feminis Simone de Beauvoir memaparkan bagaimana perempuan dianggap makhluk “kelas kedua”.

Perempuan acapkali diperlakukan secara inferior dan dinilai lebih rendah. Dengan kata lain, manusia yang terlahir dengan vagina (perempuan), akan mendapatkan lebih sedikit keuntungan dibandingkan yang terlahir berpenis (laki-laki). 

Adriana Venny Aryani dalam salah satu tulisannya mengupas buku ‘The second sex’ karya Simone De Beauvoir tentang sumbangan eksistensialisme terhadap feminisme, menyatakan bahwa sejarah perkembangan budaya masyarakat dan pemikiran manusia ternyata telah menggugah manusia unluk menggugat setiap nilai lama yang mereka anggap tidak relevan lagi.  Termasuk selama ini nilai-nilai tentang ketidaksetaraan gender

Ketidaksetaraan ini diintepretasikan oleh hegemoni kultur patriarkal. Dalam sejarah kultur patriarkal yang selalu bias, kultur ini memandang peran perempuan sebagai manusia kelas dua.

Saya sering melihat perlakuan inferior ini yang terjadi pada perempuan. Hal ini dikatakan oleh para perempuan dalam orasinya di sebuah aksi Hari Perempuan Internasional 2022:

“Saya seorang perempuan dan saya seorang disabilitas, karena itu saya adalah orang nomor kesekian untuk mendapatkan kesempatan,” ucap seorang Ibu dengan kursi roda di depan saya.

Seorang ibu lainnya, berdiri di samping saya dengan membawa poster bertuliskan, “Saya perempuan korban gusur.”

Begitulah penggalan kalimat yang diucapkan para perempuan, saat menghadiri peringatan Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD) tahun ini, yang melekat di benak saya. 

Kita lantas melihat bagaimana masyarakat yang patriarkal ini, mendikte perempuan untuk memberikan keuntungan kepada laki-laki sebagai manusia “kelas pertama”.

Ini bisa dilihat dari perilaku yang ditujukan pada perempuan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya perempuan dituntut untuk selalu memenuhi kebutuhan laki-laki. Kedua, perempuan harus mencari validasi akan nilai dirinya. Ketiga, perempuan memiliki hak legal dan pengaruh publik yang lebih sedikit daripada laki-laki.

Beauvoir memperlihatkan kepada kita bagaimana perempuan dimatikan perannya secara struktural. Hal ini juga bisa dilihat dari tingginya tekanan yang dihadapi oleh perempuan. Ini dikarenakan lingkungan yang menuntut perempuan yang harus selalu sempurna dari segi penampilan melalui industri kecantikan, diet, dan fesyen –yang mengarah kepada objektifikasi perempuan. Perempuan diperlakukan seperti live doll atau boneka hidup karena harus tunduk kepada pengkondisian ini.

Beban Berlapis Perempuan Marjinal       

Beban berlapis ini kemudian juga dialami perempuan dari kelompok marjinal,  seperti perempuan dan disabilitas, perempuan dan rakyat miskin, perempuan dan korban gusuran, perempuan dan sakit mental, perempuan Papua, perempuan dan penganut kepercayaan, perempuan yang bercerai dan menjadi janda.

Semakin banyak seseorang memiliki karakteristik marjinal, semakin termarjinalkan seseorang pada masyarakatnya. Ini adalah contoh intersectionality, sebuah pokok bahasan yang digunakan untuk menggambarkan sebuah irisan atas kelas, jenis kelamin, ras dan karakteristik kelompok marjinal lainnya.

Pada dasarnya, seseorang dengan irisan marjinal memiliki role of power atau peran kekuasaan yang lebih rendah di masyarakat. Dengan semakin banyaknya karakteristik marjinal yang dimiliki individu, hal itu akan mempersempit kesempatan dan pilihan yang dimilikinya dalam kehidupan. 

Saya adalah salah satu perempuan marjinal itu. Saat  memutuskan untuk menjadi perempuan ibu tunggal misalnya, saya menyadari semakin banyak irisan marjinal yang saya miliki. Hal itu membuat bias-bias yang dilekatkan pada saya semakin banyak. Salah satunya saja, stigma sebagai janda yang tidak berdaya. Sebagai seorang ibu tunggal, saya juga sering dilihat sebagai perempuan yang menyedihkan, kesepian, dan malang nasibnya. Beberapa perempuan lain juga merasa harus berhati-hati dengan saya karena takut pasangannya direbut. Beberapa laki-laki juga melihat saya sebagai sasaran empuk untuk digoda.

Perempuan yang dianggap sebagai “kelas kedua” di masyarakat sangat rentan pula mengalami kekerasan berbasis gender. Ada berbagai bentuk kekerasan berlapis di antaranya kekerasan fisik, psikis seksual, hingga ekonomi. Sebagai korban, perempuan juga sangat sulit untuk mendapatkan keadilan. Ketika perempuan melaporkan kasusnya dan meminta keadilan, masyarakat akan menyerangnya dengan bias-bias yang dilekatkan padanya. Saya juga melihat ini pada korban-korban yang memperjuangkan kasus yang dialaminya, mereka seperti mendapat cemoohan dari masyarakat

“Wajar diperkosa, gak pake kerudung sih.”

Setelah pakai kerudung, masih mendapat nyinyiran:  “Makanya, jangan keluar malam. Perempuan kok keluyuran.”

Padahal, perempuan semestinya memiliki hak untuk merasa aman dimanapun ia berada, tanpa harus dilindungi siapapun, tanpa harus melindungi dirinya sendiri setiap saat dari berbagai bentuk kekerasan.

Beratnya jadi perempuan, tak hanya kekerasan yang rentan terjadi. Bahkan, setelah terkena kekerasan pun, perempuan masih memiliki potensi ancaman berbagai

kekerasan lainnya. Setelah diperkosa, ia hamil dan dipaksa aborsi. Setelah diperkosa, ia dipaksa untuk dinikahkan oleh pemerkosanya. Setelah diperkosa dan terkena HIV, ia dijauhi oleh keluarganya. Setelah diperkosa dan melapor, ia dipecat dari tempat kerjanya karena dianggap merusak nama baik.

Maka dari itu, Hari Perempuan Internasional tahun ini yang salah satunya mengangkat tema Break the Bias! adalah sebagai desakan bahwa masih ada masalah nyata yang dialami para perempuan. Bias-bias yang dilekatkan kepada perempuan, berpengaruh kepada kehidupannya secara menyeluruh. Perempuan akan kesulitan mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki karena bias-bias tersebut.

Break the Bias! diharapkan mampu mendorong masyarakat untuk melihat perempuan sebagai manusia yang setara dengan berbagai latar belakangnya. 

Yuviniar Ekawati

Seorang ibu tunggal dan penyintas kekerasan seksual, mahasiswa Prodi Jurnalistik Universitas Padjajaran.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!