Diskriminasi dan pelanggaran hak LGBT

Penggerebekan LGBT di Cawang Menambah Diskriminasi Pemerintah Terhadap LGBT

Dianggap sebagai “sarang LGBT”, hutan kota Cawang di Jakarta Timur digerebek Polisi. Komnas HAM mengecam penggerebekan LGBT ini karena berpotensi melanggar HAM.

Dilansir dari mediahub.polri.go.id, bahkan polisi sudah melakukan penggerebekan terkait LGBT selama 7 kali di tahun 2023.

Hal ini berdasarkan keterangan Katim Perintis Presisi Polres Jakarta Timur, Ipda Aman Wibowo pada Kamis, 27 Juli 2023.

“Tahun ini sudah sekitar tujuh kali, itu selama rentan waktu dua bulan lah. Kita gencar-gencarnya awal bulan Puasa dan habis lebaran,” kata Aman.

Pencarian Konde.co di laman pencarian daring, kalangan pejabat negara hingga politisi pun, tampil di mayoritas pemberitaan media melakukan pengusiran terhadap LGBT. Termasuk dalam bentuk video-video di hutan kota Cawang dengan judul yang bombastis. Misalnya, ‘Duh, Hutan Kota Cawang Jadi Sarang LGBT’.

Selain polisi, Pejabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono sebelumnya diketahui juga membubarkan aktivitas berkumpulnya LGBT di taman kota itu. Narasinya “menertibkan”. Hal itu juga mendapat dukungan berbagai kalangan. 

Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid melalui laman resmi MPR RI bilang, langkah Pemprov DKI Jakarta itu justru sesuai dengan aturan Hak Asasi Manusia (HAM). Sebab menurutnya, HAM di Indonesia dibatasi oleh UU dan menghormati nilai-nilai agama. 

Baca Juga: Pengalamanku Berkunjung ke Drag Show Transpuan di Thailand: ‘Kita Semua Setara’

Berbeda dengan suara mayoritas pemerintah. Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah mengecam dan memberikan peringatan kepada Pemprov DKI Jakarta. Sebab hal itu berpotensi melanggar HAM. Anis menekankan agar pemerintah tidak melakukan upaya yang mengarah pada praktik diskriminasi terkait “penertiban” LGBT. 

“Saya ingatkan PJ Gubernur DKI (Heru Budi) untuk tidak melakukan upaya-upaya yang mengarah pada praktik diskriminasi dalam akses pelayanan publik yang ada di DKI Jakarta,” kata Anis dilansir Teras Jakarta ID

“Karena itu bisa berpotensi melanggar HAM,” lanjutnya. 

Konde.co sudah menghubungi Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah untuk menanyakan lebih lanjut soal upaya yang dilakukan Komnas HAM dalam penggerebekan ini. Namun belum mendapatkan jawaban.

Aktivis: Isu LGBT Jadi ‘Politik Diskriminasi’ Pemerintah

Naila Rizqi dari Jakarta Feminist menanggapi isu LGBT yang lagi-lagi mencuat belakangan ini. Menurutnya, publik perlu kritis terhadap berita dan informasi menyangkut isu LGBT. Ini jadi isu berulang yang ‘dinaikkan’ menjelang Pemilu. 

“Ada pola yang berulang tiap kali menjelang pemilu isu-isu sensitif seperti LGBT itu dinaikkan. Artinya ini bagian dari politik identitas atau politik diskriminasi yang sengaja dimainkan,” ujar Naila kepada Konde.co, Kamis (3/8). 

Dia juga menekankan, agar media-media yang memberitakan isu LGBT tidak tendensius melakukan hate speech untuk semakin mendiskriminasi LGBT. “Ini berbahaya dan melanggar hukum bukan hanya soal melanggar HAM,” lanjutnya. 

Manajer Advokasi di Jakarta Feminist ini juga mengajak publik mencermati satu hal. Setiap ada isu besar seperti korupsi atau pengesahan UU yang berpotensi melanggar hak-hak dan berdampak pada masyarakat, isu LGBT tiba-tiba naik.

Pada konteks saat ini, dia berpendapat, gara-gara isu LGBT yang sengaja dinaikkan, maka isu-isu seperti korupsi Basarnas (Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan) di badan penyelamatan di situasi bencana  jadi tertutup. Belum lagi, kasus korupsi BTS yang kerugiannya mencapai triliunan rupiah. 

“UU Omnibus Kesehatan disahkan tepat di hari isu LGBT naik (AAW / ASEAN Queer Advocacy Week dibubarkan). Jadi kita bisa lihat ada permainan politik untuk menutupi kasus-kasus besar dengan mengorbankan kelompok tertindas,” ujarnya. 

Perda Anti LGBT, Timbulkan Diskriminasi Berlapis

Sepanjang tahun 2006-2018, Arus Pelangi juga mencatat setidaknya ada 45 regulasi Anti LGBT di Indonesia. Sebanyak 1.840 LGBT pun menjadi korban persekusi. Rancangan peraturan daerah (Raperda) yang menyoroti pencegahan dan larangan LGBT belakangan ini juga terus bermunculan. 

Sejak awal tahun 2023 saja, tak kurang dari empat daerah yang menyatakan dukungannya atas dilarangnya perilaku LGBT. Baik dengan mendeklarasikan diri sebagai daerah ‘anti-LGBT’ ataupun mendukung penggodokan rancangan perda oleh DPRD. 

Misalnya saja, pemerintah Kota Bandung mendukung wacana DPRD Kota Bandung untuk menyusun rancangan larangan LGBT. Setelah sebelumnya, pernyataan Wali Kota Medan, Sumatera Utara, Bobby Nasution juga mengumumkan daerahnya sebagai kota yang menolak perilaku LGBT serta Wali Kota Makassar, Moh Ramdhan, yang mendukung penggodokan rancangan perda larangan LGBT oleh DPRD Makassar. 

Baca Juga: KPAI Tolak LGBT, Aktivis: Prihatin Karena KPAI Paranoid

Ada pula DPRD Garut yang belum lama ini telah menerima usulan Raperda anti LGBT yang sempat diajukan oleh kalangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Bagian Hukum Pemda Garut hingga Kementerian Agama Garut. Meskipun tak serta merta melakukan pembahasan, pihak DPRD Garut menilai Raperda tersebut telah sesuai dengan ‘Perda Anti-Maksiat’ yang telah lebih dulu dimiliki Garut yaitu Perda Nomor 2 Tahun 2018. 

Dukungan Pemda atas lahirnya rancangan Perda anti-LGBT tersebut alasannya serupa: LGBT dianggap menyalahi norma agama maupun hukum serta merusak generasi muda. Di samping itu, juga dianggap tidak sesuai dengan budaya lokal. 

Jika Raperda tersebut disetujui, maka daftar Perda ‘Anti-LGBT’ yang berpotensi mendiskriminasi kelompok ragam gender dan seksualitas minoritas itu akan semakin bertambah. Setelah sebelumnya, ada Perda Anti LGBT yang disahkan Pemerintah Kota Bogor lewat Perda Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyimpangan Seksual (P4S). 

IDAHOBIT 2023: Ajakan Hapus Kebencian Terhadap LGBT

Setiap tanggal 17 Mei, seluruh dunia memperingati Hari International Day Against Homophobia, Biphobia, Intersexism, and Transphobia (IDAHOBIT). Agar setiap orang dengan ragam gender dan seksualitas bebas dari kebencian, kekerasan, dan diskriminasi.

Perayaan Hari IDAHOBIT tahun 2023, mengambil tema ‘Together Always: United in Diversity’ atau ‘Bersama Selalu: Bersatu dalam Keberagaman’.

“Saat kita bersatu, dalam semua keberagaman kita yang indah, kita benar-benar bisa membawa perubahan,” tulis organisasi global IDAHOBIT

Secara internasional, International Day Against Homophobia atau Hari IDAHOBIT dirayakan pertama kali pada tahun 2004. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan perhatian dari para pengambil kebijakan, politisi, pemerintah dan masyarakat agar menghilangkan atau menghapuskan rasa kebencian terhadap homoseksual dan transeksual. 

Pada tahun 2022, Arus Pelangi pernah mengeluarkan manifesto IDAHOBIT. Salah satu manifesto dalam rangka Hari IDAHOBIT tersebut meminta agar negara mencabut aturan diskriminatif bagi minoritas seksual dan gender. 

Berdasarkan penelitian Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun 2018, sekitar 70,59% responden pekerja memiliki sentimen negatif. Pengekangan dan penyangkalan terhadap kebebasan sipil dan hak sipil politik terhadap minoritas seksual dan gender memang bisa menimbulkan dampak yang meluas. 

Baca Juga: Pertemuan LGBT ASEAN Batal Digelar di Indonesia Setelah Serangan Kontra yang Masif

Dampaknya, peningkatan kerentanan, pembatasan akses dan pelanggaran atas hak ekonomi, sosial dan budaya. 

Konstitusi UUD 1945 pasal 1 ayat 3 secara jelas menyatakan, Indonesia adalah negara hukum. Sehubungan dengan ini, sebagai sebuah negara hukum, Indonesia harus menjunjung tinggi dan memenuhi elemen-elemen penting sebagai negara hukum. Dua di antaranya adalah perlindungan HAM dan persamaan dihadapan hukum (equality before the law)

Dua elemen penting ini, harus terefleksi secara mutlak melalui produk-produk hukum yang menjamin bahwa setiap orang mendapatkan perlindungan hukum tanpa diskriminasi dalam penikmatan kebebasan sipil (civil liberties) dan hak-hak sipil dan politik (civil and political rights)

Jaminan ini juga telah ditetapkan pada UUD 1945 Pasal 28I ayat 2. “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu.” 

Sebagai negara hukum, UUD 1945 merupakan konstitusi tertinggi (the supreme law of the land) Indonesia yang digunakan sebagai acuan dasar menjalankan mandatnya sebagai negara hukum. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!