Perempuan Tak Berani Terjun ke Medan Perang? Itu Mitos, Lihat Keberanian Perempuan di Konflik Ukraina-Rusia

Jika masih ada yang menganggap bahwa kontribusi perempuan dalam perang hanya membawa kesedihan dan hanya menunggu laki-laki di rumah: itu mitos. Dalam perang Ukraina-Rusia, perempuan masuk dalam 15% dari pasukan militer Ukraina dengan lebih dari 13000 perempuan ikut di medan perang. Walaupun kita tak setuju perang, namun keberanian perempuan harus diapresiasi

Keberanian para perempuan Ukraina dan Rusia yang mendobrak stigma negatif bahwa perempuan tak berani berperang dalam konflik Rusia dan Ukraina, mendapatkan banyak apresiasi.

Masyarakat global tengah digemparkan dengan berita penyerangan Rusia terhadap Ukraina, menciptakan kondisi getir yang dapat dirasakan oleh seluruh dunia. Bagaimana tidak? Konflik Ukraina-Rusia ini disinyalir berpotensi memicu Perang Dunia Ketiga.

Bukan hanya itu, yang paling mengiris hati tentu berasal dari penderitaan yang dialami warga negara Ukraina yang tidak bersalah, karena mereka terpaksa menanggung rasa sakit dan rasa takut akibat perang. 

Begitu pula dengan warga negara Rusia yang harus mengalami kerugian ekonomi dan moril karena perang kedua negara. Kenapa begitu? 

Singkatnya, konflik ini sebenarnya disebabkan oleh benturan kepentingan antara Ukraina dan Rusia yang ingin melindungi negara mereka.

Panjangnya, Presiden Volodymyr Zelensky yang memiliki kepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan Ukraina berupaya mendekati dan bergabung dalam Uni Eropa dan NATO. Namun, Zelensky tidak memperhitungkan kondisi geopolitik di benua Eropa dalam tindakannya.

Ukraina secara geografis berbatasan langsung dengan Rusia, sehingga kedekatan Ukraina dengan NATO tentu mengancam keamanan nasional Rusia. Sudah rahasia umum bahwa NATO dan Rusia memegang hubungan permusuhan.

Ibaratnya jika Ukraina bergabung dalam NATO, maka NATO dapat memarkir tank di halaman depan Rusia. Sebagai seorang pemimpin, Vladimir Putin berkewajiban dan berkepentingan untuk menjaga keamanan dan kesejahteraan warga negaranya, sehingga ia mengeluarkan kebijakan strategis untuk melakukan demiliterisasi dan denazifikasi agar Ukraina setidaknya tidak condong mendukung sisi Uni Eropa apabila Ukraina juga tidak mendukung Rusia.

Pada akhirnya tindakan Ukraina ataupun Rusia sebenarnya tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Pun begitu alangkah baiknya kedua negara lebih memfokuskan penggunaan dialog dan pendekatan diplomatis dalam penyelesaian masalah, daripada konflik bersenjata yang berdampak buruk bagi kedua negara.

Dampak Konflik

Bagaimanapun juga perseteruan yang menggunakan senjata tentu tak terelakkan menghasilkan korban jiwa. Ukraina jugalah yang tentunya menanggung lebih banyak korban jiwa. Dampak lainnya juga bisa saja warga negara dan tentara, baik dari Ukraina maupun Rusia yang secara langsung menyaksikan kehororan perang dapat menderita gangguan mental.

Rusia juga menanggung kerugian, walau lebih berat dalam bentuk ekonomi dan moril. Sebut saja nilai mata uang Ruble milik Rusia yang jatuh. Banyak juga faktor lain yang alhasil meruntuhkan perekonomian Rusia. Selain itu Rusa juga harus merasakan sanksi boikot habis-habisan dari dunia, terutama dari negara-negara Barat. Mulai dari dilarangnya atlet asal Rusia untuk berkompetisi, informasi perspektif Rusia yang dibekukan media Barat, hingga dilarangnya maskapai penerbangan dari dan menuju Rusia oleh berbagai negara.

Apresiasi Partisipasi Perempuan

Praktik kesetaraan gender terlihat nyata dalam pasukan militer Ukraina dan Rusia. Mengikuti perubahan zaman, melansir dari hindustannewshub.com, perempuan masuk dalam 15% dari pasukan militer Ukraina dengan lebih dari 13000 perempuan hadir di medan perang, yang mana pemerintah Ukraina juga akan melebarkan wajib militer dan pelatihan kombat bagi kaum perempuan dari rentang umur 18-60 tahun saat situasi perang terjadi.

Banyak juga perempuan yang berasal dari golongan warga sipil yang sukarela secara langsung ikut dalam suasana perang. Warga sipil yang secara berani mengangkat senjata dan bahu membahu berjuang bersama para tentara Ukraina. Sebut saja salah satunya Sasha, yang dari hasil wawancara reporter aljazeera.com, merupakan seorang guru di sekolah lokal yang ikut mengangkat senjata demi mempertahankan kediamannya.

Tidak hanya menggunakan senjata, banyak juga perempuan yang ikut berjuang dengan cara merajut. Hal ini diberitakan washingtonpost.com, salah satunya Oksana Mushketyk yang berpikir daripada berdiam diri di rumah, ia lebih memilih untuk merajut kain yang dapat digunakan sebagai kamuflase bagi para tentara Ukraina.

Sedangkan di Rusia juga banyak perempuan yang berpartisipasi dalam perang. Melansir dari csis.org, total 41.000 perempuan menjadi personil militer Rusia di tahun 2020. Banyak juga laki-laki dan perempuan di berbagai kalangan umur yang secara konsisten melakukan demonstrasi di St. Petersburg, Rusia dengan tujuan menuntut petinggi negara untuk menghentikan konflik bersenjata.

Jadi  tidak etis jika menganggap bahwa kontribusi perempuan dalam perang yang hanya membawa kesedihan dan kerusakan, pun begitu penting bagi kita untuk mengapresiasi keberanian para perempuan Ukraina dan Rusia yang mendobrak stigma negatif penuh nilai patriarki bahwa perempuan tidak pantas untuk ikut dalam perang.

Terlebih berpartisipasi dalam perang tidak hanya bisa dalam bentuk menggunakan senjata, namun juga dapat berupa menolong keselamatan tentara.

Alangkah lebih baik bagi kita untuk mengharapkan konflik Ukraina-Rusia dapat berakhir damai secepatnya, serta keselamatan para tentara yang hanya mengikuti perintah, serta warga sipil yang tidak bersalah. 

Tentu saja sudah seharusnya kita sebagai warga negara Indonesia harus mencontoh sikap patriotisme para warga sipil—baik laki-laki maupun perempuan yang mau sukarela ikut serta berjuang mempertahankan negara di situasi genting, juga mereka yang menuntut perdamaian karena merasa perang hanya membawa kerugian, kira-kira apakah kita mampu bertindak seperti ini?

(Sumber: Plainmovement.id)

Prabu H. Pamungkas

Penulis di Plainmovement.id
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!