Tiga Pekan Pasca Pengepungan: Perempuan Wadas Masih Takut Lihat Polisi

Di balik ketenangan itu trauma masih dirasakan para perempuan dan anak-anak desa Wadas. Setiap kali ada mobil yang masuk ke desa Wadas, terutama mobil polisi, jantung warga berdetak lebih kencang dan gemetaran.

Tiga pekan setelah peristiwa pengepungan Desa Wadas Kecamatan Bener, Purworejo Jawa Tengah pada Selasa (8/2/2022) lalu, aktifitas warga mulai berangsur pulih. Perlahan warga mulai melakukan aktivitasnya seperti sedia kala. Warga mulai berkebun seperti biasa, anak-anak juga sudah kembali bersekolah, meski masih ada satu madrasah yang belum memulai kegiatan belajar mengajar.

Namun, di balik ketenangan itu trauma masih dirasakan para perempuan dan anak-anak desa Wadas. Setiap kali ada mobil yang masuk ke desa Wadas, terutama mobil polisi, jantung warga berdetak lebih kencang dan gemetaran.

“Orang Jawa bilang mak tratab,” ujar Ari Surida, staff pengorganisasian Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih dalam wawancara melalui telepon dengan Konde.co pada Rabu (2/3/2022).

Menurut Ari hal ini terungkap saat Organisasi Perempuan, Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih menggelar permainan Batu Bunga pada 26-27 Februari 2022 lalu. Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk trauma healing untuk perempuan dan anak di Desa Wadas.

Ari menambahkan, trauma ini tak mudah hilang karena hingga saat ini polisi masih sering melakukan patroli ke desa Wadas. Bahkan beberapa hari lalu sejumlah aparat keamanan juga mendatangi desa Wadas dan mencopoti spanduk berisi aspirasi penolakan warga atas dibangunnya tambang batu andesit di desa mereka.

Beberapa hari lalu, polisi juga mendatangi rumah salah satu warga untuk meminta keterangan warga yang menjadi korban pemukulan pada saat terjadinya insiden pada 8 Februari silam. Menurut Ari, sebenarnya tindakan represif aparat sudah dirasakan sejak lama.

“Untuk itu warga kemarin sempat mengeluarkan pernyataan meminta agar patrol oleh polisi ini dihentikan.  Karena patroli ini menambah trauma yang belum sepenuhnya pulih,” imbuh Ari.

Sementara itu pemerintah akan tetap melanjutkan penambangan batu yang disebutkan untuk pembangunan waduk Bener, meski sebagian besar warga masih tetap pada sikap mereka menolak penambangan batu itu dengan alasan akan merusak lingkungan di desa mereka.

Setelah kejadian 8 Februari, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pernah dua kali datang ke Desa Wadas dan berdialog dengan warga, baik yang mendukung tambang maupun yang menolak tambang batu andesit.

Kepada warga yang menolak tambang dan harus menghadapi tindakan represif aparat, Ganjar menyampaikan permintaan maafnya. Menjawab pertanyaan warga siapa yang memerintahkan ribuan aparat bersenjata lengkap ke desa Wadas, Ganjar mengatakan dialah yang bertanggung-jawab atas urusan di Wadas.

Solidaritas Perempuan Kinasih dampingi warga

SP Kinasih yang selama ini selalu mendampingi warga Wadas, rutin mengunjungi warga. Dua hari setelah pengepungan aparat kepada warga Wadas, SP KInasih dan teman sekomunitas berkunjung ke Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. 

Sepi, kata itu tepat menggambarkan kondisi kampung Wadas saat itu. Posko keamanan yang biasa menjadi tempati aktivitas para wadon Wadas untuk membuat besek terlihat kosong. Tak ada lagi suara sapaan dari mereka saat kami melewati jalan seperti minggu-minggu sebelumnya.

SP Kinasih membantu pemulihan trauma perempuan dan anak-anak pasca-pengepungan aparat pada Selasa, 8 Februari 2022. Titik kumpul pertemuan dengan teman-teman solidaritas di Masjid Krajan yang juga menjadi tempat terjadinya pengepungan terhadap warga. 

“Hal pertama yang saya lihat adalah deretan mobil berplat B. Dari mobil solidaritas sampai mobil salah satu media televisi di Indonesia semua terparkir di depan masjid. Banyak orang “asing” tiba-tiba peduli dengan warga Wadas,” tulis Aniati T dari SP Kinasih dalam keterangan tertulis yang diterima Konde.co beberapa waktu lalu.

Dimulai dari datang sekadar memberi bantuan sampai menumpang membuat konten. Mereka pikir ini isu kemanusian, mereka ingin membantu. Nyatanya warga tak butuh itu, keberpihakan kepada wargalah yang dibutuhkan.

Wadon Wadas merupakan sebutan untuk perempuan warga dusun Wadas. Mereka dan anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan setelah pengepungan aparat, dua di antara wadon Wadas ikut ditangkap. Selain itu  wadon Wadas yang lain menyaksikan secara langsung saat anak laki-laki, suami atau saudara laki-laki mereka ditangkap oleh aparat. 

Sikap represif aparat terhadap penolakan warga terkait izin penambangan batu di daerah tersebut memicu kondisi trauma pada Wadon Wadas, diantaranya:

Ketakutan dan Keberanian

Sepekan setelah pengepungan wadon Wadas sementara membuat besek di rumah masing-masing. Ini bukan karena sedang musim hujan, tapi ada alasan lain yaitu warga masih was-was jika mereka ‘diciduk’ aparat. Apalagi hingga Sabtu (12/2/2022) aparat masih ditempatkan di sejumlah lokasi di desa Wadas. Kejadian pengepungan aparat menyisakan rasa trauma mendalam, mobil-mobil yang berlalu-lalang juga membawa ketakutan tersendiri.

Di lain sisi, ada keberanian yang datang karena melihat banyak solidaritas yang berpihak dan mendukung warga Wadas. Seorang wadon Wadas mengatakan bahwa dia tidak takut, hal ini karena sebelumnya menonton berita, dalam berita disampaikan bahwa mereka punya hal untuk menolak pertambang dan mereka dilindungi. Kalimat ini menjadi penyemangat untuknya menguatkan sesama wadon Wadas.

Aktifitas Warga Terganggu

Aktifitas keseharian warga Wadas menjadi terkendala setelah pengepungan aparat. Tak hanya wadon Wadas yang tidak lagi menganyam besek di posko keamanan, para laki-laki warga

Wadas juga menjadi was-was pergi ke hutan dan bertani. Mereka masih menenangkan diri, mencoba menerima bahwa kejadian yang biasanya hanya mereka lihat di televisi, ternyata terjadi juga di Desa Wadas. Mereka dikepung oleh ratusan bahkan ribuan polisi layaknya pengepungan teroris.

Setiap hari sesekali kita melihat mobil patroli polisi atau TNI berdatangan di Desa Wadas, ini secara tidak langsung menjadi teror buat warga Wadas. Rasa trauma atas kejadian pengepungan belum pulih sepenuhnya. Namun aparat berdatangan seakan tak terjadi apa-apa, para aparat tidak tahu bahwa kedatangan mereka menimbulkan trauma warga, ada warga yang diam saat mobil patroli melewati depan rumah bahkan ada warga yang jantungnya berdetak kencang dan mengingat kembali kejadian pengepungan.

Trauma pada Perempuan dan Anak-anak

Kondisi anak-anak yang mengalami trauma atas pengepungan aparat juga mau tidak mau harus dihadapi oleh perempuan Wadas. Bagaimana Wadon wadas berjuang untuk traumanya dan juga anak-anak dalam waktu bersamaan.

Salah seorang anak masih takut bertemu orang baru, bahkan takut mendengar suara kendaraan motor atau mobil yang melewati depan rumahnya. Kondisi serupa juga terjadi pada anak lain di Desa Wadas, para ibu-ibu dipaksa berdamai dengan kondisi anak  dan juga kondisinya dalam waktu bersamaan.

Berbagai gabungan solidaritas ikut terlibat dalam pemulihan trauma perempuan dan anak-anak di Desa Wadas. Sejauh ini, proses pemulihan masih berlanjut. Dukungan dari para profesional dalam penanganan trauma juga terus berdatangan. Berbeda dengan pemulihan pada konflik lain, konflik di Wadas menuntut warga untuk pulih dan kuat untuk tetap melakukan perlawanan dalam waktu bersamaan, karena setelah pulih tidak ada yang menjamin kejadian serupa kembali terjadi.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!