Jadi Korban Poligami Karena Janji Manis Suami dan Janji Manis Radikalisme

Sejumlah perempuan menjadi korban poligami karena janji-janji manis suami. Ada juga suami yang melakukan poligami karena meyakini poligami dalam ajaran teroris atau radikalisme bisa merekrut banyak perempuan.

Perjuangan untuk merajut kembali toleransi yang terkoyak terjadi di pelosok Nusantara. Konde.co bersama The Asian Muslim Action Network (AMAN Indonesia) dan didukung UN Women mengangkat kisah perjuangan itu dalam edisi khusus #Memperjuangkantoleransi dalam Peace Innovation Academy. Tulisan ini akan tayang selama sepekan pada 28 April- 4 Mei 2022

Saat itu, mendung menggantung di atas rumah tiga petak milik Wita, bukan nama sebenarnya, di salah satu sudut kampung kota Tangerang. Delapan tahun lalu, Wita baru mengetahui jika  suaminya melakukan poligami. 

Tanpa memberitahukan soal ini, suaminya menikah lagi dengan perempuan lain selama beberapa bulan.

Wita sangat marah. Keributan dengan suami pun tak dapat dihindarkan. Butuh waktu cukup lama baginya untuk bisa menerima bahwa ia mesti berbagi suami dengan perempuan lain.

“Kalau masalah dipisah begitu, dia nggak mau. Dia maunya tetap, sana-sini dibawa. Kalau disuruh milih, dia tetap nggak mau,” katanya pada Jumat (8/4/2022). 

Saat menceritakan pengalaman tersebut di ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang keluarganya, suaranya lirih. Di dekatnya, anak keduanya yang seharusnya duduk di kelas sepuluh SMA, menonton televisi dengan volume cukup kencang. Suaranya nyaris tak terdengar kalau tak didekati.

Setelah pernikahan keduanya diketahui, suaminya janji untuk berlaku adil. Ia sempat bergantian tinggal di rumahnya dan istri kedua. Sang suami juga tetap memberikan nafkah meski ala kadarnya.

“Kalau masalah dia ngasih nafkah itu, dari awal dia juga ngasih, cuma alakadarnya. Kalau dia kerja ya ngasih, kalau dia nggak kerja, ya nggak,” tuturnya.

Pada awal pernikahan keduanya diketahui, sang suami menjadi sosok yang mudah marah. Apapun yang ia kerjakan tampak salah di mata laki-laki itu. Mereka juga sempat bertengkar sampai tangan laki-laki itu menampar wajahnya.

“Apa-apa salah, di mata dia salah. Terus pernah kan dia nabokin saya juga,” katanya. 

Saat itu, anak pertamanya yang seorang perempuan masih duduk di bangku SMA, sementara adiknya yang laki-laki masih duduk di bangku SD melihat kejadian itu. Selepas kejadian kekerasan tersebut, beberapa hari kemudian, saat ia marah karena suatu hal, anak laki-lakinya ganti memarahinya dan sempat ingin memukulnya balik.

“Di depan anak-anak dia berani mukul. Sampai dia (menunjuk anak keduanya) mempraktikkan kalau bapaknya tadinya mukul mamanya, dipraktikkan ke saya,” katanya.

Kepada anak perempuannya yang saat ini telah bekerja, kekerasan yang dilakukan sang ayah membekas cukup dalam. Sampai sekarang, anak pertamanya menjadi tidak berani terlalu dekat dengan lelaki. Mungkin  trauma. Baginya semua lelaki ia anggap berpotensi melakukan kekerasan menjadi seperti ayahnya.

“Sampai sekarang kalau kenal cowok bawaannya takut. Adanya di pikiran dia itu takut, ntar kayak dia (bapaknya), gitu,” ucapnya.

Namun dua tahun terakhir ini, suaminya itu hampir tidak lagi pernah mengunjunginya dan kedua anaknya. Menurutnya, laki-laki itu mendapatkan tekanan dari istri keduanya untuk tidak menjenguknya walau suaminya masih memberikan nafkah ala kadarnya

Untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-harinya dan kedua anaknya, Wati kemudian bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) di kompleks dekat rumahnya. Ia membersihkan rumah dan memasak di sana. Hasilnya, rumah petak tiga yang dulunya ia kontrak setiap bulan telah menjadi miliknya karena bisa ia beli dengan uang hasilnya bekerja. Namun, ia kemudian kecewa karena tak bisa membiayai anak perempuannya untuk kuliah selepas SMA

“Kalau dia mau kuliah, tapi karena nggak ada duitnya, dia mentok di situ. Kalau masalah kuliah, dia (bapaknya) nggak sanggup juga membiayainya. Kalau masalah SD sampai SMA, alhamdulillah dikasih, kalau melanjutkan dia nggak sanggup,” katanya.

Sementara itu, anak keduanya memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan selepas lulus dari Sekolah Dasar. Dari sisi biaya, menurutnya, ia dan suaminya bersedia membiayai anak keduanya sampai SMA. Hanya saja, meskipun sudah dipaksa, anak keduanya tetap tidak bersedia melanjutkan sekolah.

Pada awalnya ia sempat berpikir untuk menceraikan suaminya karena kurangnya kontribusi laki-laki itu pada keluarga. Namun rencana tersebut belum juga direalisasikannya karena berbagai alasan. 

Hingga kini Wati masih menjadi istri pertama dengan kondisi keuangan yang tak menentu dan 2 anak yang tak bisa meneruskan sekolahnya

Melakukan Poligami Karena Menganut Paham Radikal

Cerita tentang poligami lain juga dilakukan oleh seorang laki-laki bernama Munir, yang merupakan seorang mantan narapidana terorisme. Ia pernah melakukan poligami karena merasa mendapatkan pembenaran dari kelompok radikal yang menganut paham ekstrem, bahwa poligami boleh dilakukan karena merupakan bagian dari paham terorisme. Saat itu, ia masih menjadi bagian dari kelompok tersebut. 

Ia bercerita mulanya ia hanya ingin membantu orang-orang yang mengalami kesulitan, termasuk para janda. Namun lama-lama, ia menikahinya.

“Awalnya perasaan iba saja. Kemudian ada salah satu janda yang perlu dibantu, ternyata saya lebih dari sekadar membantu, sampai menikahinya,” kata Munir, Rabu (6/4/2022).

Berdasarkan keyakinannya, ia kemudian tak memberitahukan istri pertamanya jika ia menikah lagi.

“Jadi ada yang kita percaya, yang kita yakini, bahwa pada saat kita melakukan poligami itu, bahwa poligami itu salah satu ibadah. Kedua, tidak ada syarat dalam islam yang kami yakini saat itu, bahwa istri pertama itu harus tahu. Jadi saat saya memutuskan untuk poligami, istri (pertama) saya tidak tahu,” tuturnya.

Ketika istri pertamanya mengetahui pernikahan keduanya, Munir mengaku istri pertamanya sangat kesal hingga meminta cerai darinya. Namun perceraian belum sempat dilakukan karena ia mendekam di penjara karena kasus terorisme.

Istri pertamanya kemudian menemeninya melalui hari-hari berat saat ia mendekam di penjara. Munir Kartono terkarena kasus pengeboman di Mapolresta Surakarta pada Juli 2016 yang merupakan bagian dari aksi terorisme

“Peran istri (pertama) saya sangat besar. Meskipun saya sudah melukai hatinya, mencederai kepercayaannya, sudah menyusahkan dia, tapi pada saat saya di penjara, dia datang membesuk, menanyakan kabar saya, memperhatikan saya,” kisahnya.

Sampai akhirnya Munir kembali ke rumah, istri pertamanya masih setia menunggu.

“Dia salah satu orang yang benar-benar men-support saya menjadi lebih baik,” katanya.

Munir mengatakan, istri pertamanya saat ini masih enggan menceritakan apa yang pernah dilaluinya. Namun istri Munir menjadi salah satu perempuan yang dengan kasih sayangnya berperan menarik sang suami keluar dari jaringan terorisme. 

Saat di penjara, pemahaman Munir pun mulai berubah. Ia tidak lagi ingin terlihat dengan kelompok radikal yang menganut pemahaman ekstrem. Ia pun kemudian memutuskan keluar dari jaringan terorisme itu. Keluarnya Munir dari jaringan terorisme ini disampaikannya pada istri keduanya, namun istri keduanya tidak mau menerima

“Saya sampaikan ke dia (istri kedua), dan dia tidak menerima itu. Tidak menerima itu, akhirnya dia sendiri yang menganggap saya telah kafir, telah murtad, otomatis pernikahan itu batal. Jadi saya yang sudah taubat, dianggap kafir, dinggap murtad, dan dianggap bukan orang Islam,” katanya.

Akhirnya, perpisahan keduanya terjadi. 

Munir bercerita melakukan poligami sekitar tahun 2015, sekitar empat belas tahun setelah ia mulai bersentuhan dengan paham radikalisme. Faktor psikologis, lingkungan keluarga, dan lingkungan sosial menjadi faktor-faktor yang membuatnya bersentuhan dengan paham ekstrem. Namun mulanya, ia tidak sampai bersentuhan dengan kelompok teroris.

“Kalau kemudian memutuskan poligami, saya bilang sih ini lebih ke penyakit laki-laki. Bahasanya secara manusiawi, secara normal, ya penyakit laki-laki,” ucapnya.

Saat itu Munir sudah bekerja, karirnya bagus, dan merasa ingin menolong janda melalui pernikahan. Keinginan tersebut pun ditopang oleh pemahaman kelompok dimana ia menjadi bagian di dalamnya.

“Kenapa kemudian memilih poligami, pada saat itu saya bekerja, tapi saya saat itu sedang berada dalam ‘kelompok’. Jadi ada pembenaran dan legitimasi (dari kelompok),” ucapnya.

Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia Dwi Rubiyanti Kholifah mengatakan, laki-laki yang tergabung dalam kelompok radikal dengan paham ekstrem bisa sampai memandang bahwa poligami tidak hanya sunah, tapi juga wajib. Mereka merasa bahwa promosi poligami merupakan perjuangan yang harus dilakukan.

“Mereka merasa mempromosikan poligami itu bagian dari perjuangan yang mesti lakukan. Bahkan di dalam praktik keluarga (kelompok radikal) ini, kalau tidak menjalankan misi itu mereka dianggap the other atau bisa juga belum diakui menjadi bagian dari keluarga itu sendiri,” katanya. 

Poligami pun dapat digunakan untuk menyebarkan paham ekstrem oleh kelompok radikal yang cenderung memandang perempuan secara konservatif. Bagi mereka, apabila menjadi istri, perempuan harus mengikuti apapun kehendak suami. Karena itu, mereka meyakini, semakin banyak istri, berarti semakin banyak yang mengikuti paham ekstrem mereka.

Ruby Kholifah mengatakan, untuk menekan penyebaran paham ekstrem, narasi bahwa Islam mempercayai dan mempromosikan monogami perlu terus digaungkan. Di samping itu, promosi kesetaraan gender juga mesti terus dilakukan. Dengan demikian, masyarakat semakin kritis dan menyadari bahwa paham ekstrem berdampak terhadap ragam lapisan masyarakat, termasuk terhadap perempuan yang menjadi korban poligami karena penyebaran paham ekstrem.

Perempuan dalam Kacamata Konservatif

Senada dengan Ruby, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Inayah Rohmaniyah mengatakan kelompok radikal berpaham ekstrem cenderung berdakwah dengan bahan persoalan sehari-hari sehingga mudah diterima masyarakat. Namun demikian, mereka hanya merujuk sumber tunggal. Cara mereka berdakwah juga cenderung mematikan akal atau tidak logis. 

Mereka juga menolak narasi kesetaraan gender. Bagi mereka, perempuan harus menurut pada laki-laki agar tidak terjadi konflik dalam rumah tangga nantinya.

“(Mereka berpikir) jangan biarkan perempuan bekerja, apalagi jika gajinya lebih tinggi. Di mana perempuan bisa mandiri, hal ini akan menimbulkan konflik. Pemikiran ini seolah-olah lurus padahal sesat,” kata Inayah dalam WGWC (Working Group on Women and Preventing/Countering Violent Extremism) Talk ke 8, Kamis (3/9/2020) lalu. 

Terkait poligami, menurutnya salah satu perempuan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang pernah ditelitinya, membebaskan suami melakukan poligami. Perempuan anggota HTI ini meyakini jika poligami yang dilakukan suaminya adalah takdir Tuhan yang harus ia jalani. 

“Suami yang belum berpoligami, keta’atannya diragukan. Jadi semakin taat, mereka akan berani poligami,” imbuhnya.

Perempuan pun sulit melakukan penolakan terhadap suami yang hendak melakukan poligami. Karena mereka berpikir, sebagai perempuan mereka harus menurut. Kalau mereka tidak menurut dan melakukan penolakan hingga memproses secara hukum poligami yang dilakukan suami mereka, hal ini akan menimbulkan perceraian yang mereka yakini dibenci oleh Tuhan. 

Tidak Akan Bisa Berlaku Adil

Wakil Ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin mengatakan kalau poligami memang diperbolehkan oleh agama, seperti Islam. Namun, ayat Al Quran terkait poligami turun di tengah kebudayaan Arab yang sangat patriarkis. Di sana, para janda memerlukan perlindungan laki-laki.

“Tapi banyak tafsir juga yang mengatakan bahwa sebetulnya poligami dianjurkan untuk tidak dilakukan karena tidak mungkin manusia bisa berlaku adil,” katanya, Rabu (13/4).

Apalagi, di Indonesia saat ini, kebanyakan perempuan telah mampu menghidupi dirinya sendiri, termasuk para janda. Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebelumnya telah mengatur terkait poligami yang hanya bisa dilakukan dengan persyaratan yang sangat ketat. Hal itu untuk menghindari poligami tanpa izin istri pertama.

Apabila seorang laki-laki hendak melakukan poligami, untuk sah di mata negara, ia perlu mengajukan persyaratan kepada pengadilan agama, termasuk izin tertulis yang ditandatangani istri pertama. Selanjutnya kedua belah pihak akan melalui persidangan. Setelahnya, hakim akan memutuskan apakah poligami boleh dilakukan.

Dalam poligami yang tidak sehat, misalnya tanpa seizin istri pertama, Mariana mengatakan perempuan rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

“Karena potensi ketidakadilan pihak suami, misalnya kalau lebih berat ke istri kedua. Belum lagi ketika suami meninggal, pembagian warisan bagaimana, belum antar anak terjadi perebutan harta benda dan lain sebagainya,” katanya.

Sementara bagi perempuan sebagai istri kedua, yang biasanya dinikahi secara siri, juga mengalami kerentanan. Pasalnya, kasus kekerasan yang berpotensi ia alami, menjadi lebih sulit ditangani karena pernikahannya dianggap tidak sah oleh negara.

Dalam Catatan Tahunan 2021, Komnas Perempuan memaparkan catatan Badan Peradilan Agama (Badilag) yang menyebutkan bahwa sebanyak 759 perceraian terjadi karena poligami tidak sehat, yang dinilai juga sebagai bagian dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). 

Secara konstruksi sosial, masyarakat masih menganggap wajar pejabat publik yang bangga melakukan poligami. Padahal istri pertama dan anak-anaknya rentan mengalami penelantaran karena sumber daya ekonomi yang terbagi. Istri pertama juga rentan mengalami perasaan inferior karena masyarakat akan menilai ia tidak dapat memenuhi kebutuhan biologis suami, berperilaku buruk, atau tidak mampu menjalankan kewajiban sebagai istri. 

Sementara itu istri kedua, ketiga, dan keempatnya rentan menjadi sasaran perundungan, sekalipun mereka mengalami kekerasan seksual dalam perkawinan tersebut, tidak mengetahui bahwa suami mereka telah beristri, ataupun korban perdagangan orang berbasis relasi kuasa yang dimiliki pejabat publik yang bersangkutan. 

Selain itu, dengan memiliki pasangan seksual lebih dari satu, baik suami maupun para istri menjadi rentan terpapar infeksi menular seksual, seperti HIV/AIDS. Poligami tak ada yang menguntungkan untuk perempuan.

(Pandangan yang disampaikan dalam karya artikel yang ditampilkan di Peace Innovation Academy adalah milik peserta dan tidak mewakili pandangan dari UN Women, Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau organisasi yang terafiliasi dengannya)

Sanya Dinda

Sehari-hari bekerja sebagai pekerja media di salah satu media di Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!