Jungkir balik Nikah Beda Agama: Ditolak Keluarga Sampai Urus Ribet Birokrasinya

Menikah beda agama di Indonesia itu rasanya seperti roller coster, jungkir balik mempersiapkannya plus harus tabah karena banyak keluarga yang menentang, baik lewat sindiran ketika ada pertemuan keluarga sampai omongan yang tidak enak didengar.

Menikah beda agama jadi tantangan bagi Laki-laki asal Bekasi, Damianus. Dia merupakan seorang Katolik dan pasangannya beragama Islam. Ia pernah disindir kalangan keluarganya karena pilihannya untuk menikah beda agama. 

Ia kerap disindir di acara-acara keluarga. Di keluarga Indonesia, kadang kemarahan tidak diungkap secara terbuka, tapi diungkap lewat sindiran atau omongan yang tak enak didengar. Kondisi ini juga dialami Damianus ketika menikah beda agama

“Disindir-sindir waktu ada pengajian keluarga (calon istri). Tekanan keluarga. Gak ada keluarga yang datang (pas pernikahan), yang datang keluarga inti saja dari dia,” ujar Damianus saat berbincang dengan Konde.co, Rabu (23/4/2022).

Laki-laki tiga puluh tahunan itu mengaku lahir dan tumbuh di lingkungan Katolik membuatnya relatif lebih terbuka untuk menikah beda agama. Selain aturan agamanya yang tidak melarang, pola pikir dan pengalaman di keluarganya juga mempengaruhi. 

“Cuma di catatan sipil juga tetap ditanyain, ini beda agama ya? Terus bilang aja, kan sudah keluar di gerejanya, jadi akhirnya keluar (izin nikah),” katanya. 

Menikah beda agama di Indonesia memang selalu jadi polemik. Bukan saja pandangan masyarakat yang tabu baik dikaitkan dengan norma agama maupun sosial, namun juga aturan pemerintah yang banyak jadi hambatan. Di Indonesia yang warganya sangat beragam agama dan keyakinannya, mengapa menikah beda agama masih jadi sesuatu yang sulit dilakukan? 

Seperti yang terjadi beberapa pekan kemarin, ada pernikahan beda agama yang dilakukan Staf khusus Presiden Jokowi, Ayu Kartika Dewi dan Gerald Bastian, yang kemudian banyak mengundang sorotan publik. Ayu dan Gerald melangsungkan akad pernikahan secara Islam, dan beberapa jam setelahnya pemberkatan di Gereja Katedral. 

Tak hanya warganet yang ramai-ramai berkomentar negatif, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun menanggapi bahwa pernikahan beda agama merujuk UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang tidak diperbolehkan di Indonesia. Aturan itu menyebut, pernikahan yang sah harus sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing. Namun di Indonesia yang warganya beragam dengan berbagai agama dan keyakinan, apakah kebijakan ini masih bisa mengakomodir situasi ini?

Pergolakan pernikahan beda agama ini juga terjadi pada Ramos Petege. Ramos bahkan sampai mengajukan permohonan uji materi terhadap UU Perkawinan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ramos merupakan seorang beragama Katolik yang sebelumnya gagal menikahi kekasihnya lantaran beragama Islam. Dalam gugatannya, Ramos menyatakan bahwa jalinan asmaranya kandas lantaran keduanya memiliki agama dan keyakinan berbeda. 

Gugatan Ramos Petege pada 4 Februari 2022 itu berbunyi: harusnya syarat sah suatu perkawinan yang diatur dalam UU No 1/1974 memberikan ruang seluas-luasnya bagi hukum agama dan kepercayaan dalam menafsirkan sahnya suatu perkawinan. Namun, UU itu tidak memberikan pengaturan jika perkawinan dilaksanakan oleh mereka yang memiliki keyakinan dan agama berbeda. 

UU itu telah merenggut kemerdekaan Ramos untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan. Ramos Petege pun berpendapat, Pasal 2 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 29 Ayat (1) dan (2) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.

Cerita Jungkir Balik Nikah Beda Agama

Pengalaman nikah beda agama juga dialami oleh perempuan beragama Katolik bernama Elizabeth Ayudya asal Klaten, Jawa Tengah. Dia melangsungkan pernikahannya dengan pasangan muslim bernama Harry Wahyu di Gereja Katolik St Jusuf Pekerja Condong Catur, Sleman, Yogyakarta pada September 2018. 

Elizabeth bersama pasangan juga tak lepas dari komentar dan stigma negatif dari sekitarnya. Namun, mereka memutuskan untuk memasang “muka tembok” atau tak mempedulikan omongan negatif itu. 

“Sejak kami pacaran, kami ya udah sadar,  harus rai gedek (muka tembok – bahasa Jawa), bodo amat atas omongan orang, kami yakin akan bisa bahagia berdua. PR nya meyakinkan keluarga suami,” tutur Elizabeth dalam diskusi daring Pernikahan Beda Agama: Jungkir Balik Menuju Pelaminan tayang di Youtube Katolikana, Senin (28/4/2022). 

Eliz panggilan Elizabeth itu mengaku, selama menjalin hubungan pernikahan itu mereka berdua berkomitmen untuk saling toleransi dan tak memaksa. Termasuk soal agama dan pilihan anak mereka nantinya 

“Saya dan suami sama-sama menghargai pilihan masing-masing dan mendidik anak dengan ajaran cinta kasih. Kami mengajarkan dia bebas memilih mana yang paling cocok bagi dia,” imbuhnya. 

Tak kalah penting, Eliz berpendapat pola komunikasi juga penting untuk menjalani kehidupan pernikahan beda agama. Misalnya saja, tidak langsung “tersulut emosi” saat menghadapi problematika kehidupan dengan perbedaan pandangan masing-masing. 

“Kami pacaran kebetulan cuma 8 bulan, struggle-nya muncul pas pernikahan. Kami saling menerima, diketawain aja dulu (masalahnya), semakin dipikirin semakin pusing,” ujar perempuan yang menjadi pekerja media itu. 

Ini artinya, penyesuaian dalam perkawinan itu tidak hanya menyangkut soal beda agama, tetapi juga beda sifat, beda kebudayaan, hal-hal yang lazim harus disesuaikan

Ribetnya mengurus administrasi pernikahan beda agama juga pernah dialami oleh Tomy Budi asal Yogyakarta, Jawa Tengah. Seorang laki-laki beragama Islam yang menikah dengan perempuan Belanda yang ditemui pertama kali kala itu di Bandung.  

Pada tahun 2018 lalu, Tomy mengaku administrasi syarat pernikahannya cukup rumit. Selama sekitar setahun dia mengurusnya. Utamanya justru di level kepengurusan RT/RW yang birokrasinya malah lebih berbelit. 

“Kendala malah di bawah-bawah RT/RW, dialog ke kecamatan, karena harus urus KK, saya kurang paham UU dan mereka juga, kan jarang juga kawin campur. Jadi, malah ngebahas ke ranah personal juga,” terang Tomy. 

Tomy juga mengungkapkan, realita di Indonesia kini termasuk untuk pernikahan beda agama utamanya yang beda negara, sulit juga menemukan penghulu. Ini dikarenakan banyaknya penghulu yang masih banyak memiliki penafsiran berbeda karena aturan menikah agama juga yang belum tegas. 

Hal inilah mengapa, menurut Tom banyak pula orang yang kemudian memilih menikah di negara lain karena birokrasi. Seperti halnya, orang terdekatnya ada pula yang menikah di Singapura. 

Sementara itu, kondisi agak berbeda ditunjukkan oleh Debbie Sumual, perempuan katolik, yang juga menikah beda agama dan negara dengan pasangan dari AS yang Yahudi. Mereka menikah pada sekitar 2003 di Jakarta secara Katolik dan setahun kemudian di AS. 

“Harus meminta dispensasi, tapi saat itu semua berjalan lancar. Jaman dulu, 19 tahun lalu mungkin gak begitu ribet ya,” ujar Debbie. 

Dalam pernikahannya, Debbie berprinsip tidak pula memaksakan satu sama lain untuk mengikuti agama pasangan. Bahkan, bagi Debbie, agama itu layaknya kebudayaan yang harus saling dihargai. 

Debbie ingat betul berpuluh-puluh tahun lalu, pelajaran dosennya di kuliah agama Katolik oleh seorang pastur yang menyatakan bahwa menikah beda agama itu merupakan sebuah berkat. 

Dalam mendidik anak, Debbie selayaknya pasangan menikah beda agama juga tak menjadikannya halangan untuk menanamkan cinta kasih dan kebaikan. Tidak pula ada paksaan. 

“Pernikahan beda agama bisa jadi berkat. Itu pesan yang saya yakini setelah berpuluh tahun lalu (sampai sekarang),” pungkasnya. 

Berkat bisa dalam arti bahwa kita dipertemukan dengan orang yang berbeda dalam sebuah relasi yang hendaknya keduanya bisa saling mengisi dan menghargai.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!