“Sedih banget cuy udah susah-susah apply jadi pengurus @bemftunj, malah diblur di sosial media hanya karena perempuan. Seksis sekali,” begitu kira-kira komentar dari Space.UNJ mengkritik BEM Fakultas Teknik UNJ di sosial media. Yang dilakukan BEM Fakultas Teknik UNJ dengan melakukan blur pada foto pengurus perempuannya adalah meletakkan perempuan di ruang belakang, ruang yang tak sama dengan laki-laki. Ini merupakan efek dari patriarki.
*Meera Malik- www.Konde.co
Konde.co- Baru-baru ini, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta (BEM UNJ) telah selesai memilih pengurusnya.
Namun dalam pengumuman nama-nama pengurus, wajah para pengurus perempuan tidak terlihat jelas dalam poster pengumumannya.
Padahal poster tersebut seharusnya menampilkan semua foto pengurus BEM Teknik UNJ dengan jelas.
Dalam klarifikasi yang dikeluarkan BEM UNJ, pengurus mengklaim bahwa mereka menyunting foto-foto itu dengan menurunkan kadar “opacity”-nya sehingga foto semua pengurus perempuan tampak buram.
Berbagai komentar mencuat, salah satunya komentar tentang pengakuan posisi perempuan di ruang publik. Saya berpikir, benarkah ini berarti bahwa peran perempuan tidak diakui dalam ruang publik?
Perempuan tampak, tetapi tidak boleh terlalu tampak. Atau, perempuan boleh tampak, tetapi hanya boleh setengah tampak.
Buat saya, persoalan menjadi serius karena perempuan tampak, tetapi sebenarnya tak tampak. Inilah efek dari kultur patriarki. Dalam konsep patriarki, tertuang jelas bahwa hanya laki-laki yang boleh tampak.
Feminis multikultural, Angela Mc Robbie kemudian menambahkan teori untuk melihat bagaimana posisi perempuan di lingkungannya:
1. Apakah perempuan telah tampak?
2. Jika perempuan tidak tampak, mengapa?
3. Jika perempuan tampak, lalu di mana posisi mereka?
Barangkali ketiga pertanyaan ini yang harus dijawab. Dalam konteks kasus foto pengurus organisasi kampus UNJ, perempuan memang sudah masuk dalam kepengurusan, tetapi sebetulnya ia tak tampak.
Pertanyaan berikutnya: mengapa ia tidak ditampakkan? Apakah para perempuan pengurus benar-benar mendapatkan posisi yang diakui dalam kepengurusan?
BEM UNJ sudah seharusnya menyediakan kesempatan yang setara ke semua orang, bukan menutup-nutupi perempuan-perempuan berprestasi seperti ini!
Menurut saya, foto tersebut memakai pendekatan penyuntingan yang, meski tidak disadari atau mungkin tanpa intensi patriarki, tetap saja bermasalah.
Sejak persoalan ini menjadi perbincangan hangat di media sosial, banyak orang yang juga ikut membicarakannya, termasuk yang menganggap bahwa peristiwa ini tidak penting untuk didiskusikan karena berasal dari unggahan media sosial yang trending ,menyedot perhatian publik.
Sebagai seorang jurnalis yang punya ketertarikan khusus dalam isu gender, saya berpikir bahwa isu ini merupakan isu yang sangat penting untuk dibicarakan dan diberitakan. Tidak masalah apakah asal mula perbincangan itu muncul dari media sosial, karena isu tersebut bisa dilihat sebagai sebuah fenomena. Permasalahan terletak hanya pada bagaimana kita menyikapinya.
Asumsi yang beredar, sudah jadi rahasia umum kalau fakultas teknik di berbagai kampus di Indonesia itu misoginis. Asumsi lainnya, kasus BEM FT UNJ hadir, baik sengaja terencana atau tidak, karena ideologi antifeminis yang beberapa waktu belakangan semakin mengkristal di Indonesia, seperti gerakan “Indonesia Tanpa Feminis” yang muncul di media sosial pada Maret 2019.
Namun sayangnya, klarifikasi yang dikeluarkan BEM FT UNJ pada 11 Februari 2020, justru tidak menjawab asumsi-asumsi ini. Pihak BEM FT UNJ bahkan terlihat tidak begitu paham apa itu feminisme, patriarki atau seksisme, 3 wacana yang bisa diulas untuk melihat kasus ini.
Amatan saya, belum semua civitas akademika dalam perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki pemahaman utuh terhadap isu gender, sehingga itu membuatnya menjadi sangat penting untuk dibicarakan.
Ingat saja kasus Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara Universitas Sumatera Utara (USU). Cerpen bertema kelompok minoritas gender dan seksualitas terbitan Suara USU pernah menuai penolakan besar-besaran dari mahasiswa lainnya dan bahkan berujung pembereidelan sewenang-wenang oleh pihak rektorat.
Kasus Suara USU adalah satu bukti yang menunjukkan betapa dunia intelektual di Indonesia belum ramah dan cenderung gugup menghadapi narasi gender yang spektrumnya begitu luas.
Jadi ya, bagi saya isu ini penting untuk dibicarakan. Peembicaraan dalam bentuk apapun atau narasi dalam bentuk apapun akan mendorong interaksi publik, menciptakan diskursus yang berkualitas, dan harapannya bisa menjadi pelajaran sehingga kesalahan yang sama tidak terulang pada masa depan.
(Foto: suara.com)
*Meera Malik, jurnalis televisi yang murtad dan kini mualaf di Konde.co sebagai managing editor. Pengagum paradoks semesta, gemar membeli buku tapi lupa membaca.