Minat Perempuan Jadi Jurnalis Minim? Padahal Kamu Bisa Bikin Perubahan

Banyak stigma negatif soal jurnalis: jadi jurnalis itu gak enak, gaji kecil, waktu habis, minim jenjang karir. Lalu buat apa jadi jurnalis?

Awalnya para mahasiswi komunikasi menggebu-gebu ingin jadi jurnalis. Tapi niat ini berguguran satu-satu. Mereka bilang: tak lagi pengen jadi jurnalis.

Selain upahnya yang tak seberapa dan beban yang lumayan berat, katanya jurnalis hanya untuk orang-orang yang “idealis.” Pulang malam, hidup gak teratur, bekerja melebihi jam kerja.

Ya, candaan kami dulu jadi jurnalis itu hidupnya idealis tragis. Bias gender di lingkungan media juga memang jadi kecemasan tersendiri kala itu yang menurunkan minat kami jadi jurnalis.  

Pertengahan tahun lalu, riset Remotivi bersama Universitas Indonesia/ UI dan Universitas Diponegoro/ UNDIP mencatatkan realita yang cukup membelalakkan mata publik: mahasiswa jurnalistik ternyata sedikit yang berminat menjadi jurnalis. Termasuk para perempuan atau mahasiswi yang hanya sebanyak 37% yang memprioritaskan karir jurnalistik sebagai pekerjaan utama setelah lulus kuliah, sedangkan 63% tidak. 

Riset yang dilakukan mahasiswa dan mahasiswi jurnalistik tingkat sarjana di empat kampus yaitu UGM, UI, UNPAD, dan UNDIP itu, metodenya menggunakan survei dan focus group discussion (FGD) yang melibatkan sebanyak 222 responden (65 laki-laki dan 157 perempuan) dengan total response rate sebesar 65,7%. 

Sebagai lulusan mahasiswi jurnalistik, sebetulnya saya tak begitu kaget. Di angkatan saya dulu, jumlah mahasiswa jurnalistik memang jauh lebih sedikit dibandingkan mahasiswa yang mengambil penjurusan public relation (PR) di Ilmu Komunikasi. Termasuk jumlah perempuannya. 

Senada dengan pengalaman saya, riset itu juga menjelaskan minimnya minat menjadi jurnalis bagi mahasiswi perempuan ini tak lepas dari faktor Kesejahteraan yang berbanding terbalik dengan risiko kerja hingga adanya hambatan serta stereotip gender yang dialami oleh calon jurnalis perempuan baik di ruang kelas maupun tempat magang. Tak elak, mereka cenderung tak memiliki kepercayaan diri setinggi laki-laki.

Dari banyaknya stereotip yang disematkan pada perempuan yang mau jadi jurnalis menurut mereka adalah bahwa perempuan dengan penampilan menarik lebih baik bekerja sebagai presenter TV. Dibandingkan jadi jurnalis lapangan adalah yang paling banyak sering mereka dengar (82,55%). Selain itu, 61,74% responden perempuan menganggap perempuan akan sulit menjadi ibu sekaligus jurnalis. 

Para responden perempuan juga mengaku sering ditugaskan pada desk yang dinilai “feminin” seperti isu fesyen, hiburan, wisata, kuliner, dan keluarga selama mengikuti magang di media. Sementara, berkaitan  isu politik, hukum, dan keamanan hanya sebanyak 28,57%. 

Realitas dan Upaya Jurnalis Perempuan Berdaya

Riset yang menyasar para mahasiswa dan mahasiswi jurnalistik itu, memang seolah bisa menjadi cermin realitas saat ini tantangan sebagai jurnalis perempuan. Jumlah jurnalis perempuan memang timpang dibandingkan laki-laki yaitu hanya sekitar 20-30%. Padahal, jumlah media terus meningkat pesat di masa reformasi hingga sekarang. 

Menurut pemaparan peneliti media, Ignatius Haryanto dalam riset media Remotivi, UI dan UNDIP itu, pada masa orde baru jumlah media di Indonesia hanya sekitar 250 media. Tapi kemudian melesat sampai 47 ribu pada tahun 2019. Tapi tak banyak berubah, jurnalis perempuan tetap sepi peminat. 

Begitupun dengan iklim media yang masih menghadapi hambatan ruang dan budaya kerja yang belum ramah gender perempuan. Termasuk soal ancaman pelecehan dan kekerasan seksual. Survei AJI Jakarta (2021) menemukan, 25 dari 34 jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan seksual, baik di tempat kerja ataupun selama liputan.

Riset PR2Media yang berlangsung selama Agustus-Oktober 2021, bahkan menemukan sebanyak 1.077 jurnalis (85,7%) pernah mengalami kekerasan. Hanya 179 responden (14,3%) yang tidak pernah mengalami kekerasan sama sekali. Jumlah responden riset ini sekitar 1.256 jurnalis perempuan di 191 kota dan kabupaten yang mewakili Indonesia bagian barat, tengah, dan timur yang menjadi responden. 

Eitss, tapi jangan khawatir dan takut ya. Kita tetap bisa melakukan sesuatu positif untuk melakukan perubahan bahwa berprofesi menjadi jurnalis perempuan itu worth it banget!

1.Ubah Mindset dan Cari Banyak Referensi 

Hal pertama, kamu tak perlu banyak takut. Termasuk pada stereotip-stereotip yang selama ini berkembang terhadap perempuan yang memilih menjadi jurnalis. Fokuslah pada mindset bahwa jurnalis bisa mengembangkan dirimu, membuka ruang kebebasan informasi, menyampaikan hak publik bahkan menyuarakan hak perempuan dan kelompok minoritas. Kamu bisa mencari banyak referensi dari banyak sumber mulai dari bacaan hingga diskusi dengan banyak orang. 

2. Jalin Komunikasi dan Dialog

Bukan saja berani bicara dan berkomunikasi dengan narasumber, kalau kamu jadi jurnalis kamu juga perlu jalin komunikasi dengan orang-orang di lingkunganmu bekerja. Misalnya sesama jurnalis ataupun manajemen media. Kenapa ini penting?

Di suatu saat kamu mendapati bias gender ataupun hal yang tak diinginkan seperti pelecehan ataupun bentuk kekerasan seksual lainnya, kamu bisa mengkomunikasikan ke orang yang kamu percaya seraya mendesak adanya upaya penanganan berdasarkan aturan perusahaan media. 

3. Gabung Serikat atau Organisasi Profesi

Sebagaimana pengalaman saya pribadi, serikat atau organisasi profesi banyak membantu untuk menguatkan saya menjadi jurnalis perempuan. Pekerjaan ini memang bukan saja beresiko, pada minimnya kesejahteraan ataupun rentannya PHK, potensi pembungkaman pers, hingga independensi. Namun juga potensi kekerasan berbasis gender (KBG) yang banyak menyerang perempuan. 

Maka dengan berserikat kamu setidaknya bisa mendapatkan kapasitas penguatan sebagai jurnalis, hingga mempunyai teman-teman jurnalis lainnya yang bersolidaritas ketika kamu mengalami masalah keprofesian. Kamu juga bisa lho mendorong kebijakan media yang lebih ramah gender melalui desakan organisasi profesi. 

4. Dorong Mediamu Implementasikan SOP

Upaya meminimalisir adanya bias gender, seksisme dan kekerasan seksual di media adalah perusahaan menyediakan Standar Operasional/ SOP pencegahan, penanganan dan pemulihan kekerasan seksual. Bagaimana jika perusahaanmu belum ada? Bisa kok kamu mendorongnya!

Kamu bersama serikat pekerja di perusahaan mediamu ataupun organisasi profesi, bisa mendesak manajemen untuk membuat SOP. Lakukanlah audiensi. Bagus lagi, jika kamu bisa membantu mengadvokasi penerapan SOP itu sampai di Dewan Pers melalui konstituennya untuk bisa diterapkan di media-media. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!