Patriarki di Garis Matrilineal: Kondisi Buruk Menyerang Perempuan Minang

Di Minangkabau yang menganut sistem matrilineal atau garis kuasa di tangan perempuan, ternyata banyak ditemui kasus-kasus kekerasan perempuan. Ini mungkin yang namanya praktik patriarki di garis Matrilineal.

Nenek selalu menyindirku setiap aku pulang malam. Kira-kira sindirannya seperti ini:

“Jan pulang sanjo kau, lah samo lo jo itiak pulang patang kanai alau lu baru kakandang”, (Jangan pulang sore, sudah sama kau dengan itik pulang petang, kena halau dulu baru kekandang) sindir nenekku ketika aku pulang ke rumah menjelang magrib.

Sebagai seorang perempuan Minang, salah satu sosok yang paling berpengaruh besar dalam kehidupanku, adalah nenek, ibu kandung dari bapak. Seperti anak perempuan Minang pada umumnya, sosok nenek merupakan sosok penting yang mengajarkan tentang adat dan bagaimana hidup sebagai seorang perempuan Minang. 

Sindiran-sindiran untuk menjadi perempuan yang sesuai dengan adat sudah menjadi makanan keseharianku. Pendidikan seperti ini sudah aku dapatkan sedari umurku dua tahun hingga memasuki masa kuliah. Ini tidak terlepas dari keputusan ibu/amak dan bapak untuk tinggal di rumah orang tua bapak.

Hal ini membuatku banyak bertanya-tanya, karena nenek pernah berkata, berdasarkan adat di Minangkabau, jika suami-istri belum bisa tinggal di rumah sendiri, sang suamilah yang ikut dengan keluarga istri, bukan sebaliknya.

Keputusan bapak yang tinggal di rumahnya juga membuatku bingung, selain menjadi omongan tetangga karena agak berbeda dengan ketentuan adat yang dijalankan, jika bapak tinggal di rumah orang tua ibu/ amak, bapak bakal dapat keistimewaan atau privilese yang banyak sekali. 

Ya, maklumlah walau istilah kasarnya bapak hanya “menumpang”, sebagai menantu (Urang Sumando), tapi bapak tetap dianggap tamu yang istimewa. Sebagai seorang tamu, orang tua amak akan menomorsatukan bapak, sehingga segala urusan rumah tangga akan dikerjakan oleh amak.

Eh, jangan salah, bapakku bukan tipe laki-laki yang segalanya kepengen dilayani. Ia laki-laki minang yang menurutku tidak kaku dalam urusan domestik, akan tetapi, bapak tidak bisa terang-terangan memperlihatkan hal tersebut, sebab bakal ditegur oleh orang tua amak.

Pernah suatu kali bapak sedang membantu amak mencuci baju, tapi sebelumnya bapak mengingatkan untuk tidak bilang ke mertuanya. Dilain hari, pernah juga bapak kepergok membuat kopi di dapur, sesaat kemudian mertua bapak atau orang tua kanduang amak memarahi amak, mengatakan amak tidak pandai melayani suami.

Privilese Laki-laki Minang

Fenomena seperti ini, bukan lagi hal langka yang terjadi di Sumatera Barat. Aku jadi teringat seorang uda yang dulu pernah menjadi fasilitator di sebuah kelas gender di Padang.  Setelah kelas berlangsung, dengan ditemani teh telang yang dipetik oleh para peserta dalam kelas waktu itu, aku bertanya iseng

“Da, pasti sanang bana urang rumah Da nak, ndak anggan da mangarajoan urusan rumah”, (Da, pasti senang sekali istri Uda kan, tidak enggan uda mengerjakan urusan rumah), sambil menghempaskan kepulan asap rokok, dengan tersenyum khasnya uda menjawab 

“Hee, diak kok lai di kontrakan padang ko lai mah. Nan ibo wak, kok lah pulang da ka rumah mintuo da, pai maambiak aia ka dapua surang sen, lah kanai sindia padeh da mah, nan kanai bini da biaso e”. (Hee, dek kalau masih di kontrakan di Padang ini oke-lah. Kasihan, kalau sudah pulang ke rumah mertua uda, pergi ambil air ke dapur sendiri, uda kena sindir pedas, dan biasanya yang kena istri Uda)”.  

Ya, ini masih seputar bahwa di beberapa keluarga Minang, pantang bagi laki-laki untuk mengerjakan pekerjaan dapur, terlebih kalau dia urang sumando, walaupun hidup di rumah orang tua kandung istri.

Jika istri tidak pandai melayani suami, maka yang akan disalahkan adalah istri. Melulu saja dikaitkan dengan adat sopan dan santun, walaupun sejauh aku mencoba mencari, aku belum pernah ketemu apa benar adat istiadat Minangkabau mengajarkan bahwa laki-laki tidak boleh mengerjakan pekerjaan domestik.

Mengenal Adat Bundo Kanduang

Cara pandang masyarakat Minang yang sangat menomorsatukan laki-laki ini kembali membuatku termenung, betapa kompleksnya permasalahan kesetaraan gender di Sumatera Barat yang terkenal dengan sistem matrilinealnya. Ternyata sistem berdasarkan kekuasaan pada ibu ini masih menomorsatukan laki-laki

Dalam sistem Matrilineal di Minangkabau, perempuan memang punya keistimewaan, salah satunya terkait dengan hak properti, seperti memiliki sawah, rumah, ladang, dan tanah. Dalam keluarga mereka sulit diintimidasi oleh suami, karena Mamak (saudara laki-laki istri) akan menjadi pelindung utama, maka suami tidak bisa sewenang-wenang terhadap istri.

Berbicara tentang sistem matrilineal, hal ini juga tak bisa dilepaskan dengan peran Bundo Kanduang di dalam Suku Minangkabau. Bundo kanduang bagi kebanyakan ahli sejarah masih menjadi tokoh yang misterius keberadaannya. Bisa jadi karena pada zaman dahulu sebelum Islam masuk, masyarakat Minangkabau tidak mengenal tradisi menulis, sehingga pesan yang disampaikan tentang siapa sebenarnya bundo kanduang ini hanya bisa dilakukan melalui kaba (cerita). 

Kaba ini diteruskan secara turun- temurun lewat dongeng seperti nenekku yang pernah mendongengkan tentang Bundo Kanduang. Dalam dongeng tersebut, dahulu di zaman perang antara pagaruyuang dengan Singiang-ngiang kurang lebih dua puluh tiga tahun, Bundo Kanduang sedang berada di Rumah Gadang  diangkat kelangit. Tentu, ini hanyalah sebagai kiasan saja, pada hal Bundo Kanduang pergi melarikan diri ke sebuah nagari bernama Lunang, dan mengganti nama menjadi Mandeh Rubiah. Ini dilakukan untuk menyembunyikan identitasnya. 

Sesampainya di nagari Lunang, Mandeh Rubiah juga mendirikan kerajaan kecil, ini berdasarkan dongeng dari nenek.  Dari sinilah asal muasal lahirnya Bundo Kanduang dalam cerita itu.

Tahta Bundo Kanduang hingga kini masih diakui kebesarannya, dan saat ini sudah di tataran keturunan yang ketujuh. Nenek mengakhiri dongeng dengan sebuah pituah Bundo Kanduang yang berisikan :

Bundo kanduang

limpapeh rumah nan gadang

Amban puruak pagangan kunci

Amban puruak aluang bunian

Amban puruak puruanan taduah

Pusek jalo pumpunan ikan

Pusek jalo pumpunan tali

Sumarak di dalam kampuang

Sumarak di rumah gadang

Hiasan dalam  nagari 

Berangkat dari pituah diatas, Bundo Kanduang adalah tonggak kokoh utama dalam teladan sekaligus pengawas perilaku anak cucu dalam kaum. Bundo Kanduang juga sosok yang mengemban rahasia dan juga mempunyai kekuatan melindungi kunci keberlangsungan tatanan adat di suatu kaum. 

Sosok Bundo Kanduang mempunyai kekuasaan materi untuk kemaslahatan kaum, memiliki kecerdasan manajemen, inspirasi spiritual bagi kaumnya dan mempunyai hubungan sosial yang baik. Sederhananya secara filosofi, Bundo Kanduang  adalah  seorang sosok perempuan pengambil keputusan kelestarian kaum.

Siapa sosok Bundo Kanduang?

Sangat banyak pandangan soal siapa sih yang bisa menjadi Bundo Kanduang, salah satunya, ada yang bilang kalau yang berhak jadi bundo kanduang adalah istri seorang datuk. Nah, pandangan tersebut menurut seorang penulis perempuan asal Sumatera Barat,  Ka’Bati sedikit keliru.

“Ini keliru, pandangan seperti ini adalah akibat orang yang tidak paham dengan nilai-nilai adat istiadat. Itukan cara pandang Orde Baru, meletakkan posisi Bundo Kanduang berdasarkan posisi suami. Akibatnya Bundo Kanduang kehilangan fungsinya, kalau Bundo Kanduang berdasarkan posisi suami itu tidak Matrilineal lagi.”

Sedangkan pandangan lainnya mengungkapkan bahwa Bundo Kanduang adalah sosok perempuan bersuami yang paling aktif di dalam kaum, serta paling dipercaya dalam banyak urusan, adil dan bijaksana, bahkan menjadi tampek baiyo oleh kaum. Karena inilah, kaum akan bersepakat sosok tersebut yang menjadi Bundo Kanduang, dan legitimasinya itu sudah dijamin oleh adat-istiadat.

Pergeseran Posisi Perempuan Minang di Sumatera Barat

Betapa kuatnya posisi perempuan Minangkabau dalam sistem matrilineal yang dijaga oleh Bundo Kanduang. Akan tetapi, walau Minangkabau menganut sistem matrilineal, namun kekerasan yang terjadi pada perempuan Minang masih kerap terjadi baik di ranah domestik dan atau publik.

Organisasi Women’s Crisis Center/ WCC Nurani Perempuan mencatat sepanjang 2021 angka Kekerasan Dalam Rumah Tangga/ KDRT  di Padang meningkat yakni menempati angka 104 kasus. Padahal jika keputusan tertinggi dalam sistem matrilineal memang dipegang oleh Bundo Kanduang, tentu Bundo Kanduang akan menegur niniak-mamak yang menormalisasi kekerasan seperti ini. 

“Ah, nek seandai nenek masih di sini”, umpatku.

Terdengar suara anak-anak menabuh berbagai alat perkusi, sebagai alarm segera melaksanakan sahur. Sesudah makan, aku melanjutkan perjalanan yang entah kapan usainya.

Sembari kembali membelah bising jalanan bersama vespa yang kukendarai, dengan kemelut di hati dan pikiran, aku teringat  salah satu nasehat nenek, bahwa Bundo Kanduang bisa manyalasaikan nan kusuik, jiko karuah kamanjaniahan, pai tampek batanyo, pulang tampek babarito. 

Ngungsi Di Ruang Setara, 18 April 2022

Tuba Fallopi

Seorang Gadis Minang, penyintas kekerasan seksual lahir pada tanggal 5 September. Instagram @tubafallopi_
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!