Film ‘KKN di Desa Penari’: Terjebak dalam Norma dan Stereotiping Tubuh Perempuan 

Film “KKN di Desa Penari” disebut-sebut sebagai film terlaris. Tapi film ini jatuh ke dalam penghakiman atas pelanggaran norma yang menjemukan. Terjebak dalam stereotiping soal perempuan, terjebak dalam stereotyping budaya dikotomi baik-buruk yang sangat normatif.

Film “KKN di Desa Penari” garapan sutradara Awi Suryadi disebut sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa. Namun pembuat film–mungkin juga penulis threadnya–terjebak pada stereotiping penilaian atas tubuh perempuan.

Dalam 20 hari penayangannya di bioskop, film ini berhasil mencapai 7 juta penonton. Film ini mulanya direncanakan tayang pada Maret 2020 lalu, tapi tertunda karena penyebaran pandemi. 

Kisah “KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Desa Penari” didasarkan pada thread yang dibuat oleh SimpleMan (@SimpleM81378523) yang viral di 2019. Cerita yang viral itu diperkirakan menjadi salah satu penyebab larisnya film “KKN di Desa Penari” di bioskop. Orang-orang penasaran dengan tampilan visual cerita SimpleMan yang digadang-gadang sebagai kisah nyata. 

Film ini bercerita tentang enam mahasiswa yang melakukan KKN di Desa Penari. Keenamnya terdiri dari tiga mahasiswi yakni Ayu (Aghniny Haque), Nur (Tissa Biani), dan Widya (Adinda Thomas), serta tiga mahasiswa yakni Bima (Achmad Megantara), Wahyu (Fajar Nugraha), dan Anton (Calvin Jeremy). 

Sejak awal tiga di desa, keenamnya–terutama Nur dan Widya–mengalami berbagai peristiwa yang mereka anggap mistis. 

Dikotomi Baik-Buruk yang Normatif

Terdapat dua tokoh perempuan yang cukup sentral dan bertolak belakang di dalam film, yakni Ayu dan Nur. Sejak awal, Ayu diperlihatkan sebagai perempuan yang senang menggunakan pakaian-pakain yang lebih terbuka, seperti baju tanpa lengan dan celana pendek. Sementara, Nur menggunakan pakaian tertutup dan bahkan menutupi kepalanya dengan kerudung. 

Pembuat film–mungkin juga penulis threadnya–terjebak pada stereotipe bahwa perempuan yang berpakaian terbuka seperti Ayu berpotensi lebih besar melakukan seks di danau yang tidak jelas kebersihannya. Ayu dan Bima–yang melakukan hubungan seksual (di luar nikah) di tempat asing–kemudian meninggal di dunia. Ayu seolah layak mendapatkan “hukuman” dari lelembut karena perbuatannya.

Perempuan kembali digambarkan sebagai sosok yang harus menjaga perbuatan dan pakaiannya dimana saja ia berada. Kalau tidak, sebagaimana Ayu, ia layak menerima akibatnya. Sementara itu, Nur dan Widya, yang berpakaian lebih tertutup, bisa keluar dengan selamat dari desa. 

Akhirnya, tidak ada hal baru yang coba ditawarkan film horor ini. Film ini juga mengingatkan pada pernyataanpejabat yang ingin memenjarakan “pezina” atau orang-orang yang berhubungan seksual di luar menikah–sekalipun dengan consent–lewat pengesahan RKUHP. Keduanya begitu gemar menghakimi pelanggaran moralitas semata, alih-alih berfokus pada permasalahan yang lebih urgen–seperti edukasi seksual dan kesehatan organ reproduksi. 

Di samping itu, film ini juga melanggengkan stereotipe kapitalistik bahwa desa yang tidak memiliki akses listrik dan internet adalah desa yang tertinggal. Desa tersebut adalah desa yang buruk. Desa yang penuh lelembut jahat dan tidak ramah pada pendatang.

Padahal, realitanya, para kapitalis yang ingin merusak desa dengan dalih pembangunan kerap bersikap lebih jahat dari lelembut. 

Kriminalisasi Budaya Lokal

Sejak awal, tokoh Nur tampak tidak nyaman  saat melihat sesajen yang diletakkan di tempat yang dulunya sumber air Desa Penari. Di tempat itu pula ia melihat makhluk gaib. Di film ini, sesajen pun seolah menjadi “pemanggil setan.”

Padahal di beberapa tempat di Indonesia, sesajen merupakan adat yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Di Gunung Kidul misalnya, masyarakat tetap menyediakan sesajen saat menggelar tahlilan untuk mendoakan salah satu anggota keluarga yang baru meninggal dunia. Di Bali, bagi masyarakat Hindu, sesajen adalah wujud syukur kepada Dewa. 

Tak hanya sesajen, gamelan, tembang sinden, dan tarian yang merupakan bagian dari kebudayaan nusantara juga dikriminalisasi oleh film ini. Ketiganya digambarkan sebagai pertanda buruk di Desa Penari. Alih-alih mempertanyakan kenapa anggapan itu muncul di desa, film ini hanya memperkuat gagasan absurd tersebut dengan memunculkan sosok jin berupa penari yang merenggut nyawa dua mahasiswa. 

Di Jawa, dikenal sosok seperti Nyi Roro Kidul yang menjaga Pantai Selatan. Namun, tak sekadar “sosok mistis yang menyeramkan”, Nyi Roro Kidul adalah wujud ketakziman manusia pada laut pantai selatan yang ombaknya bisa begitu ganas pada waktu-waktu tertentu. Dengan percaya pada keberadaan makhluk penjaga laut, manusia juga berupaya tidak melakukan perusakan alam sehingga ujungnya manusia akan selamat. 

Keamanan KKN

Film ini seharusnya bisa menjadi film yang menarik karena rasa-rasanya belum ada film horor yang menyoroti kegiatan mahasiswa di wilayah yang asing baginya, sebagaimana KKN. Kegiatan KKN sebetulnya juga problematis. Pasalnya di dalam KKN, mahasiswa dipandang seolah pahlawan yang bisa menyelesaikan seluruh persoalan di desa. 

Padahal KKN hanyalah langkah awal bagi mahasiswa untuk melihat secara dekat permasalahan masyarakat. Kecelakaan yang terjadi di KKN, alih-alih dinormalisasi, seharusnya bisa dipertanyakan lebih dalam oleh film ini. 

Misalnya pertanyaan terkait sejauh mana keamanan KKN yang diselenggarakan kampus-kampus di Indonesia. Di beberapa kampus, KKN diselenggarakan hingga dua bulan dengan pengawasan yang tidak terlalu ketat. Beberapa kampus lain mungkin tidak memiliki jaminan atau asuransi atas kecelakaan, kematian, dan kekerasan yang menimpa mahasiswa. 

Tapi tentu saja, semua permasalahan KKN itu luput dari film yang jatuh ke dalam penghakiman atas pelanggaran norma yang menjemukan ini.

(Sumber gambar: Instagram KKN Movie Official)

Sanya Dinda

Sehari-hari bekerja sebagai pekerja media di salah satu media di Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!