Sudah 24 Tahun Reformasi: Negara Tak Juga Mengakui Kasus Marsinah dan Perkosaan Mei Sebagai Pelanggaran HAM

Ada indikasi kuat bahwa perkosaan Mei 1998 dilakukan untuk membungkam aktivis dan menyebarkan teror kepada masyarakat. Rezim Orde Baru menghancurkan gerakan dan kesadaran berpolitik rakyat dengan melakukan teror terhadap perempuan dan tubuh perempuan.

Sabtu, 21 Mei hari ini 2022 menandai 24 tahun jatuhnya kepemimpinan Presiden Soeharto. Namun, jaring kekuasaan militer dan Orde Baru yang menjadi penopang kekuasaannya belum sepenuhnya pupus. Sejumlah kasus pelanggaran HAM di era itu juga belum tertuntaskan. Banyak kasus pelanggaran HAM yang berlalu tanpa keadilan, termasuk kasus pembunuhan Marsinah dan Perkosaan Massal pada Mei 98.

Dari kedua kasus ini terungkap, adanya indikasi yang sangat kuat bahwa perkosaan dilakukan untuk membungkam aktivis dan menyebarkan teror kepada masyarakat.  Rezim Orde Baru coba menghancurkan gerakan dan kesadaran berpolitik rakyat dengan melakukan teror terhadap perempuan dan tubuh perempuan.

Menandai peringatan 24 tahun Reformasi dan 29 tahun kasus penculikan, perkosaan dan pembunuhan aktivis buruh Marsinah, Perempuan Mahardhika mendesak Pemerintah dan DPR untuk segera mengakui Kasus Marsinah dan Perkosaan Mei 98 sebagai kasus Pelanggaran HAM.

“Wujudkan Peradilan HAM bagi Korban. Harapan untuk tidak berulangnya kasus kekerasan seksual maupun pelanggaran HAM di Indonesia, akan sulit terwujud ketika kasus kekerasan seksual dan pelanggaran HAM masa lalu yang melibatkan kekuatan militer pada masa Rezim Orde Baru tidak diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan HAM,” demikian salah satu tuntutan Perempuan Mahardhika yang dibacakan dalam konferensi pers pada Jumat (18/5/2022).

Dipaparkan, hingga kini otak di belakang penculikan ini belum tersentuh. Hal ini karena kasus Marsinah dikategorikan sebagai pidana biasa dan bukan pelanggaran HAM. Padahal temuan di lapangan menunjukkan, ada tindakan sistematis dalam penculikan, perkosaan dan pembunuhan terhadap Marsinah. Bukti-bukti ini menunjukkan kuatnya keterlibatan Militer dalam kekerasan ini.

“Ada indikasi kuat keterlibatan militer di balik kasus yang menimpa Marsinah. Namun hingga kini siapa dalang penculikan, perkosaan dan pembunuhan belum tersentuh hukum,” ujar Ketua Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi dalam kesempatan yang sama.

Menurut Ika, tanpa Pengadilan HAM, maka selamanya Marsinah tidak akan mendapat keadilan. Pengadilan yang pernah digelar hanyalah pengadilan rekayasa yang dirancang untuk mengaburkan tanggung jawab militer di balik pembunuhan ini.

Pengadilan ini dipersiapkan dengan penyekapan dan penyiksaan satpam serta pihak manajemen PT. CPS, pabrik tempat Marsinah bekerja, selama 19 hari di Kodam V Brawijaya. Mereka dipaksa mengakui telah merencanakan pembunuhan Marsinah.

Marsinah dibunuh dengan cara-cara perkosaan. Menurut keterangan saksi ahli, dokter Abdul Mun’im Idries, kematian Marsinah bukan karena pendarahan melainkan tembakan senjata api ke labia minora atau bibir vagina sehingga menyebabkan adanya lubang kecil dengan kerusakan yang masif.

Pada 3 Mei 1995 Mahkamah Agung membebaskan para terdakwa karena tidak terbukti melakukan perencanaan dan pembunuhan Marsinah. Semenjak itu kasus ditutup, dalang penculikan, perkosaan dan pembunuhan Marsinah belum terungkap.

Serupa dengan Marsinah, para perempuan korban perkosaan dan kekekerasan seksual dalam Tragedi Mei 98 juga belum mendapatkan keadilan. Hingga tahun ke-24, perkosaan massal yang sebagian besar menima perempuan etnis Tionghoa masih saja disangkal.

Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pada Mei 1998 sebagai respon pemerintah atas tuntutan kelompok perempuan dan masyarakat sipil karena masih ada pihak-pihak yang terus meragukan terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan. TGPF bertugas menyelidiki kerusuhan Mei termasuk membuktikan bahwa dalam kerusuhan tersebut, perkosaan benar terjadi.

Dalam penyelidikannya TGPF menemukan bahwa perkosaan benar terjadi. Sebanyak 52 orang menjadi korban perkosaan, 14 orang menjadi korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 orang menjadi korban penyerangan / penganiayaan seksual, dan 9 orang menjadi korban pelecehan seksual. Data ini diperkirakan belum mencakup keseluruhan kasus yang terjadi.

Sementara temuan Tim Relawan untuk Kemanusiaan menyebut adanya 152 kasus perkosaan dan kekerasan seksual. Dari jumlah tersebut, 20 korban akhirnya meninggal dunia. Mayoritas korban kekerasan seksual Mei 98 adalah perempuan etnis Tionghoa.

Meskipun data-data telah disajikan secara komprehensif dan TGPF merekomendasikan dilakukan penyelidikan lanjutan, hingga kini saat kasus perkosaan dan kekerasan seksual dalam tragedi Mei 98 masih terus disangkal.

Tidak adanya korban yang mau bercerita dan bersaksi tentang kasus kekerasan seksual yang terjadi, dijadikan alasan pemerintah untuk tidak menindaklanjuti dokumen-dokumen yang telah disusun tim pencari fakta.

“Ini dijadikan alasan pemerintah, bahwa perkosaan Mei 98 sulit untuk diusut,” cetus Ika.

Terobosan lewat UU TPKS

Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat sipil demi terlaksananya pengadilan HAM bagi dua kasus ini. Namun, keputusan untuk menetapkan suatu kasus sebagai kasus Pelanggaran HAM dan penyelesaian melalui jalur yudisial dengan membentuk Peradilan HAM membutuhkan komitmen politik Pemerintah, DPR serta DPD.

Dan, hingga kini pemerintah dan DPR terkesan saling lempar tanggung jawab. Terakhir, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko cenderung mewacanakan jalur non yudisial, dan beralasan Pengadilan HAM harus ada komitmen politik.

Dari sisi DPR, pada November 2000, Pansus DPR yang dibentuk untuk menindaklanjuti temuan TGPF terkait Tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan Semanggi 2 serta Tragedi Mei 98, tidak merekomendasikan adanya pelanggaran HAM dalam kasus-kasus tersebut.

“Padahal kejadian-kejadian tersebut nyata-nyata memenuhi kategori Pelanggaran HAM,” imbuh Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika, Lathiefah Widuri R.

Ika menambahkan, disahkannya Undang-undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi pintu untuk mengurai alasan kesulitan pembuktian yang sering dilontarkan aparat.

UU TPKS menghadirkan terobosan cara pandang dalam melihat kasus kekerasan seksual. Sehingga, kasus kekerasan seksual masa lalu seharusnya juga dapat dilihat dengan kacamata yang lebih progresif pada saat ini.

Dijelaskan, UU TPKS secara eksplisit menyebutkan, “dalam hal korban mengalami trauma berat, penyidik dapat menyampaikan pertanyaan melalui Pendamping (Pasal 54, ayat 3)”. Begitu pula dalam aturan mengenai alat bukti dimana diakui surat keterangan psikolog klinis, dan/atau psikiater/dokter spesialis kedokteran jiwa, rekam medis maupun hasil pemeriksaan forensik sebagai alat bukti yang sah dalam proses penyidikan kasus.

Mekanisme pembuktian yang diatur dalam UU TPKS hadir dari perspektif yang melihat bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia dan bahwa peraturan perundang-undangan sebelumnya belum memenuhi kebutuhan dan hak korban kekerasan seksual serta belum komprehensif mengatur mengenai hukum acara.

Dengan adanya cara pandang yang baru ini, kehadiran atau kesaksian korban secara langsung tidak lagi diperlukan sebagai syarat untuk memproses kasus-kasus perkosaan dan kekerasan seksual pada Mei 98 dan pembunuhan Marsinah.

“Tidak ada alasan untuk menunda penerapan UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM yang dapat menghapus ketentuan kadaluarsa dalam pelanggaran HAM yang berat (Pasal 46). Dan, jelas-jelas Marsinah telah mengalami penyiksaan sebelum akhirnya dibunuh dengan cara-cara perkosaan,” ujarnya.

Terobosan dalam hal pembuktian seperti diatur dalam UU TPKS seharusnya memperkuat komitmen Negara untuk mewujudkan keadilan bagi korban berbagai kasus Pelanggaran HAM di tanah air, termasuk Tragedi 1965/1966, DOM Aceh maupun penanganan OPM di Papua.

Untuk mewujudkan tuntutan ini, Perempuan Mahardhika bersama masyarakat sipil lainnya tidak akan lelah mengingatkan pemerintah.

“Sudah sering kami melakukan audiensi dengan Komnas Ham dan Komnas Perempuan untuk mendorong terlaksananya Pengadilan Ham ini. Dan pada 24 Mei 2022, kami akan melakukan napaktilas ke TPU Pondok Rangon, saksi pemakaman massal Tragedi 98. Ini untuk menunjukkan bahwa kita tidak akan pernah lupa sampai para korban mendapatkan keadilan,” pungkas Ika.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!