Catatan 4 Perempuan: Jatuh Bangun di Masa Pandemi

Meski sangat terdampak akibat pandemi, kehilangan orang-orang yang dicintai, perempuan seolah tak kehilangan daya lentingnya. Mereka justru menjadi penggerak yang menjadi obor bagi orang-orang di sekitarnya. Berikut adalah rangkuman dari catatan 4 perempuan di masa pandemi

Cerita ini dituturkan 4 perempuan di masa pandemi yaitu Hartati, Toetwury Trisilowaty, Ester dan Wina

Cerita Hartati, Koreografer Tari

Bagi seniman pertunjukan seperti Hartati, kebijakan pembatasan sosial sangat dirasakan dampaknya. Mereka sangat terpukul, karena semua kegiatan jadi terhenti.

Padahal sebagian besar seniman tidak memiliki tabungan yang memadai, sementara kebutuhan hidup terus berjalan.

Kelompok seniman ini tergolong kelompok yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah sat pandemi, karena mayoritas mereka bukan pegawai negeri ataupun pekerja formal yang secara administrasi tercatat dalam database pemerintah. Sehingga mereka tak terjangkau oleh berbagai bantuan yang disediakan pemerintah.

Saat pandemi sedang memuncak, seniman semakin tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak bisa interaksi, tidak melakukan kegiatan yang membuat berpikir, tidak mungkin pentas atau melakukan kegiatan-kegiatan lain yang biasa sehingga membuat seniman depresi.

Hal itu juga dirasakan Hartati, seorang koreografer tari. Ibu tunggal dari dua anak yang masih kuliah dan duduk di bangku SMA ini harus memutar otak bagaimana menghidupi keluarganya. Tak hanya itu, di sekelilingnya juga ada banyak seniman muda yang tak bisa dia abaikan begitu saja. Banyak proyek yang sudah direncanakan tiba-tiba dihentikan.

“Jadi itu pentingnya ada kegiatan yakni untuk memaintain sikap positif,” ujar Hartati saat berbicara dalam Diskusi Merayakan Feminisme: Ketangguhan Perempuan Menghadapi 2 Tahun Pandemi yang dihelat Kalyanamitra dan Konde.co pada Selasa (29/3/2022) secara daring.

Karena punya akses ke pemerintah dalam hal ini Kemendikbud, Hartati berupaya agar teman-teman seniman tidak mandeg serratus persen. Memanfaatkan koneksi yang dimilikinya Tati kemudian mencoba menjajagi kemungkinan bantuan dari pemerintah.

Saat itu pihak pemerintah memang menyediakan dana, meski tidak terlalu besar. Dan dana itu, tidak akan diberikan cuma-cuma. Para seniman diminta melakukan sesuatu untuk dapat mengakses bantuan itu.

Saat itu, Hartati hanya bisa mengatakan bahwa yang penting dalam kondisi saat itu adalah berkegiatan. Karena para seniman juga tidak bisa hanya terima bantuan, yang penting adalah bagaimana menggunakan kesempatan untuk bergerak.

Hartati lantas meminta para seniman di Yayasan Seni Tari Indonesia yang dipimpinnya agar mereka untuk sementara tidak berkegiatan tetapi lebih dahulu membantu seniman tari di seluruh Indonesia dan mereka setuju.

Kemudian ia membuka pendaftaran. Dari 133 penari yang mendaftar, hanya 40 yang diterima karena keterbatasan dana yang tersedia. Programnya dirancang sebagai program untuk support karya.

Dalam proyek ini, para seniman diminta membuat pertunjukan pendek sepanjang 7-10 menit yang hasilnya ditayangkan secara resmi di Youtube. Itu sangat besar pengaruhnya, dan membuat para seniman lega.

“Meski hasilnya tidak terlalu besar, tapi yang penting mereka berkarya. Kembali bergerak,” imbuhnya.  

Tapi diakuinya, pendapatan dari kegiatan ini tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, karena bisa dikatakan peluang yang ada sangat kecil atau bahkan tidak ada. Itu sebabnya, banyak seniman terutama yang sudah berkeluarga banting setir, jualan apa saja.

Ia sendiri kemudian membantu menjual kue buatan temannya, penghasilannya cukup lumayan sampai Rp 1,5 juta sehari. Sementara anaknya, jualan barang secara online untuk menambah uang jajan karena jatah kiriman berkurang.

“Namun aku nggak terlalu lama, karena aku malu. Kawanku memberi keuntungan terlalu besar, aku nggak mau temanku nanti rugi dan aku terlalu memanfaatkan temanku,” ujarnya.   

Ia juga mengajak para seniman yang dikenalnya untuk berkegiatan di IG live. Diajaknya mereka  untuk berimprovisaisi, Jangan hanya diam saja.  Bukan besar kecilnya proyek, tapi yang membuat hidup itu adalah berkegiatan. Dan itu adalah pertunjukan.

Namun, pandemi juga mengenalkannya pada banyak hal baru. Bagaimana kegiatan secara online membuat para seniman untuk belajar. Soal publikasi, teman muda belajar dengan cepat secara daring yang bisa berimpak besar.

Cerita Toetwury Trisilowaty, Aktivis Perdesaan

Pandemi juga membuat Toetwury Trisilowaty (Wury) yang sebelumnya aktif di berbagai aksi kemanusiaan dan lingkungan tak bisa beraktivitas seperti biasa. Ibu satu anak ini lebih banyak terkurung di dalam rumah dan mengisi hari-harinya yang berjalan lamban dengan kegiatan yang diciptakannya sendiri.

“Selama pandemi waktu seperti berhenti berjalan,” terangnya.

Guncangan kian berat, saat sang suami tiba-tiba meninggal akibat Covid-19. Semua serba tiba-tiba, karena beberapa hari sebelumnya sang suami masih menyiapkan kegiatan di Jakarta. Padahal saat itu Wury dalam posisi sedang tidak punya pekerjaan. Sedangkan tabungan yang dimiliki juga tak seberapa. Sementara anak-anak tetap butuh biaya untuk sekolah.

Kondisi ini membuat Wury memutar otak, bagaimana caranya ekonomi keluarganya tetap berjalan. Dari anaknya, ia kemudian mendapatkan info pekerjaan yang bisa dikerjakan melalui internet. Dari pekerjaan ini ia mendapatkan penghasilan 10 dolar AS sehari.

Kejadian yang ditemuinya kian membuka matanya, bahwa hidup ini bukan hanya memikirkan diri dan keluarganya, tapi juga warga di sekitarnya. Wury yang tinggal di sebuah desa di Purworejo, Jawa Tengah melihat banyak warga di sekitarnya yang lebih menderita ketimbang dirinya.

Wury lantas memutar otak bagaimana caranya bisa membantu tetangga sekitar yang terdampak Covid-19. Kebetulan ia memiliki sepetak tanah kosong yang lantas dijadikan kebun sayuran.

“Hasil panennya kemudian kita bagikan kepada warga sekitar yang membutuhkan,” imbuhnya.

Cerita Ester dan Wina, Enterpreuner dan Pekerja Rumah Tangga

Lain lagi yang dilakukan Ester. Selama pandemi ia membeli hasil kebun dari para petani di Nusa Tenggara yang kesulitan menjual hasil kebunnya ke pasar akibat kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat. Ia lantas mengepak buah dan sayuran yang dibelinya dan menjualnya secara delivery kepada warga yang membutuhkan.

Ia juga mengorganisasi penyediaan obat herbal yang dibutuhkan masyarakat untuk mencegah tertular Corona. Meski terkesan sederhana, apa yang dilakukan Ester ini sangat membantu kedua belah pihak yang sama-sama tidak bisa melakukan kegiatan jual-beli yang terhambat akibat pembatasan.  

Sementara Wina, pekerja rumah tangga yang juga sangat terdampak pandemi Covid-19. Karena majikannya harus bekerja dari rumah, beban kerjanya menjadi dua kali lebih berat. Ia yang biasanya cukup memasak sehari sekali kini bisa dua tiga kali sehari. Belum lagi beban cucian dan perawatan rumah yang juga bertambah yang berbuntut pada jam kerja yang lebih panjang ketimbang kondisi normal.

Dalam kondisi seperti ini, Wina masih sempat memikirkan rekan-rekannya sesama PRT yang kehilangan pekerjaan akibat PHK.

Itulah sekelumit kisah ketangguhan perempuan dalam menghadapi pandemi yang telah berlangsung selama hampir dua tahun. Pandemi Covid- yang telah berlangsung selama hampir dua tahun telah memberikan banyak pelajaran bagi banyak orang, khususnya bagi para perempuan. Dalam kondisi yang sulit dan serba tidak pasti ini, banyak perempuan yang mengambil peran untuk menjadi penggerak dan jadi garda terdepan dalam menangani dampak pandemi.

Perempuan, dengan daya yang dimilikinya, berhasil menyalakan semangat agar masyarakat tidak berhenti bergerak. Dengan bermodalkan semangat motherhood, di tengah keterpurukan dan kesulitan yang dihadapi para perempuan terus mencari celah untuk terus melangkah dan bahkan bisa menghidupi orang-orang di sekitarnya.

“Pandemi Covid-19 telah melebarkan motherhood yang dimiliki para perempuan ini. Mereka tak hanya membuat dirinya bertahan tetapi mereka telah menjalankan hidup bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang-orang di sekitarnya,” demikian kata pendiri Kalyanamitra, Myra Diarsi saat menyarikan diskusi yang digelar dalam rangka memperingati ulang tahun Kalyanamitra yang ke-37 ini.

Myra menambahkan, selama pandemi perempuan telah mengerahkan moda sosial yang dimilikinya untuk menjadi obor bagi masyarakat sekitarnya. Perempuan, ujarnya, harus memikirkan banyak hal selama pandemi.

Perempuan tidak boleh berhenti kreatif ataupun berhenti berpikir. Perempuan dituntut untuk selalu memikirkan bukan hanya keluarga tetapi juga orang-orang di sekitarnya. Namun demikian, banyak orang menilai apa yang dilakukan para perempuan ini adalah hal yang lumrah yang juga dikerjakan orang lain, dianggap nothing atau bukan apa-apa. Cara pandang ini yang harus diubah karena perempuan adalah penggerak kehidupan.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!