Pelecehan Seksual di Kereta: Tak Cukup Hanya Blacklist Pelaku, Harus Ada SOP Transportasi Aman

Upaya yang dilakukan Perusahaan Kereta Api Indonesia (PT. KAI) merupakan awal yang baik untuk mem-black list pelaku pelecehan seksual di kereta. Namun, itu bukan solusi akhir, karena pelecehan di transportasi publik yang bisa terjadi berulang. Aktivis perempuan menyatakan perlunya SOP transportasi publik aman bagi pengguna

Minggu ini sebuah kasus pelecehan seksual di kereta api viral di sosial media yang diunggah di Twitter pada 20 Juni 2022. Di video yang beredar, seorang perempuan mengalami pelecehan seksual dari laki-laki yang duduk di sebelahnya. Tak berapa lama, perempuan korban melaporkan ke petugas lapangan kereta Argo Lawu-Gambir hingga akhirnya tempat duduknya disetujui dipindahkan. 

PT Kereta Api Indonesia (KAI) pun mengambil tindakan blacklist terhadap penumpang yang melakukan pelecehan seksual itu. Blacklist Nomor Induk Kependudukan (NIK) dilakukan sehingga pelaku tak bisa menggunakan layanan KAI ke depan. Harapannya, memberikan efek jera dan mencegah pelaku melakukan hal serupa.

Pihak KAI secara resmi juga telah menghubungi korban untuk menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan dan siap memberikan dukungan langkah hukum jika diperlukan. KAI menegaskan, tak akan mentolerir kejadian pelecehan itu dan berharap kejadian serupa tak akan terulang di berbagai layanan KAI lainnya. 

Rika ‘Neqy’ Rosvianti dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) berpendapat, upaya yang dilakukan KAI adalah awal yang baik. Namun, itu bukan solusi akhir. Sebab menurutnya, kekerasan seksual termasuk pelecehan bisa terjadi berulang kali di lokasi yang berbeda. Apalagi, jika tidak ada sanksi yang jelas atau belum meratanya sanksi di semua moda transportasi publik. 

“Harapannya ada SOP (Standar Operasional Prosedur) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (KS) yang lebih komprehensif, sehingga tidak hanya kuratif (penyembuhan) tapi preventif,” ujar Neqy kepada Konde.co, Rabu (22/6). 

Dengan adanya SOP Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di semua transportasi publik ini, tak hanya kereta api, maka penumpang bisa semakin merasa terjamin keamanan dan kenyamanannya. Komitmen ini perlu didorong, agar pihak penyedia transportasi publik juga bisa rata memberikan pencegahan dan perlindungan kekerasan seksual —tak hanya sekadar ketika ada kasus yang viral di sosial media. 

Dia melanjutkan, angka pelecehan seksual yang terjadi di ruang publik pun tidak bisa dibilang sedikit. Survei yang pernah diinisiasi oleh KRPA dalam Program Power to You(th) didukung Rutgers Indonesia tahun 2022 mencatat, selama pandemi sebanyak 4 dari 5 perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik (79% dari 3.539 perempuan). 

Dari total responden, 10 Laki-laki pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik (30% dari 625 Laki-Laki). Sedangkan sebanyak 83,3% dari 72 Gender Lainnya (non-binary, gender fluid, transpuan, transpria, deminonbinary, gender questioning, dan lainnya) pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. 

Perempuan dan gender minoritas lainnya memiliki kecenderungan pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik 6 kali lebih besar daripada laki-laki selama pandemi.

“Dengan blacklist ini bisa mengurangi pelaku untuk melakukan lagi, setidaknya di kereta karena mereka tidak bisa mengakses transportasi publik. Ini bisa menciptakan perasaan aman dan nyaman, utamanya bagi perempuan yang seringkali jadi korban,” terangnya. 

Dilansir siaran pers KAI, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengatakan, pihaknya mendukung langkah KAI yang melakukan blacklist kepada pelaku melalui NIK yang bersangkutan. Hal tersebut untuk memberikan efek jera kepada pelaku kekerasan seksual di transportasi umum. KAI juga diharapkan berkoordinasi dengan Ditjen Dukcapil Kemendagri dan Komnas Perempuan.

Sementara, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyatakan untuk mengutamakan langkah mediasi terkait penyelesaian masalah tersebut. Hal ini dilakukan guna mencegah terjadinya kembali kejadian tersebut di kemudian hari. 

KAI menurutnya, juga harus melakukan sosialisasi di berbagai layanan KAI terkait ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang kekerasan seksual, baik dalam KUHP maupun UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang mengatur mengenai perbuatan seseorang yang dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Yuk, Cegah Kekerasan Seksual di Transportasi Publik

Rika Rosvianti yang juga seorang Aktivis perempuan Founder @_perEMPUan_  menegaskan, hal penting yang harus diperhatikan saat melihat atau mengalami kekerasan seksual adalah kondisi keamanan dan keselamatan, utamanya adalah bagi korban dan juga saksi. 

“Jangan sampai nanti malah ada dua korban, padahal niatnya untuk menghentikan kekerasan seksual,” kata Neqy. 

Hal sederhana yang bisa dilakukan adalah menanyakan keadaan dan apa yang dia butuhkan sebagai pertolongan. Tetap tenang karena biasanya korban atau saksi masih dalam kondisi shock

Dia kemudian membagikan setidaknya ada teknik 5D yang bisa dilakukan saat ada kekerasan seksual di sekitar. Termasuk ketika kita menjadi saksi dari aksi tersebut. Beberapa teknik itu di antaranya dialihkan sebagai upaya berpura-pura menjadi teman atau kenalan untuk mengalihkan perhatian. Bisa dengan menanyakan waktu, tujuan transportasi publik atau lainnya. 

Kedua, dilaporkan kepada pihak berwenang dan bertujuan meminta bantuan. Ketiga, dokumentasikan berupa rekam video pelecehan, namun jangan posting rekaman itu tanpa seizin dari korban. Keempat, ditegur jika dalam kondisi memungkinkan dengan berbicara/tegur langsung ke pelaku pelecehan. 

Kelima, ditenangkan. Kita bisa membantu korban pelecehan dengan membuatnya lebih tenang. Posisikan kita sebagai seorang teman yang peduli dan berempati.  

Akses Transportasi Publik Aman

Tiga tahun belakangan, Presiden Jokowi memang terus menggemborkan kepada masyarakat agar mulai meninggalkan kendaraan pribadi. Kota-kota besar pun mulai menambah moda transportasi publik mereka, baik transportasi konvensional maupun daring. Tak hanya itu, pemerintah pun mulai mengembangkan sarana transportasi terintegrasi.

Namun sayangnya, modernisasi moda transportasi publik belum mampu sepenuhnya menjamin kenyamanan dan keamanan penggunanya. Ini terbukti dari masih maraknya pelecehan yang terus terjadi di berbagai ruang publik, seperti di trasportasi umum.

Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pada 2018 menyebut bahwa sebanyak 46,80 persen dari 62.224 responden pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum. Dalam riset tersebut, rata-rata responden yang melapor adalah perempuan.

Survei yang diikuti 62.224 responden ini juga mengungkap fakta bahwa perempuan 13 kali lebih rentan mengalami pelecehan di ruang publik dibandingkan laki-laki. Dari analisis data survei, KRPA menemukan sebanyak 46.80 persen responden mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum, menjadikan transportasi umum (15.77 persen) sebagai lokasi kedua tertinggi terjadinya pelecehan, setelah jalanan umum (28.22 persen). Moda transportasi umum yang dilaporkan terjadi pelecehan antara lain adalah bis (35.80 persen), angkot (29.49 persen), KRL (18.14 persen), ojek online (4.79 persen), dan ojek konvensional (4.27 persen).

Moda transportasi yang menjadi “favorit” para predator seksual pun beragam, seperti bus (35,80 persen), angkot (29,49 persen), KRL (18,14 persen), ojek daring (4,79 persen), dan ojek konvensional (4,27 persen).

Hasil survei ini diperkuat dengan survei yang dipaparkan Komunitas Konsumen Indonesia terhadap 625 jiwa di 15 kabupaten/ kota di 6 provinsi. Dalam survei tersebut, mereka menyimpulkan bahwa perempuan lebih rentan dalam mengalami insiden keamanan di transportasi umum, ketimbang laki-laki.

Jenis pelecehan verbal yang diterima biasanya berupa siulan, suara kecupan, komentar atas tubuh, komentar seksual yang gambling, komentar seksis, komentar rasis, main mata, difoto secara diam-diam, diintip, diklakson secara menggoda, menampakkan gestur vulgar, dipertontonkan masturbasi di depan publik, dihadang, diperlihatkan alat kelamin, didekati secara agresif, dikuntit, disentuh, diraba, digesek dengan alat kelamin.

Jika tidak ada sanksi, maka pelecehan seperti ini akan terus berulang, maka kebutuhan dibuatkan SOP sangat mendesak agar semua pelaku mendapatkan sanksi yang membuat jera. Jika tidak ada SOP, maka tindakan mem-black list pelaku ini akan jadi parsial atau sekedar reaktif saja

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!