Buat Kamu Yang Akan Menikah: Pentingnya Perjanjian Pranikah Untuk Atasi Sengketa Perkawinan

Seberapa penting perjanjian perkawinan bagi pasangan yang akan menikah?. Di Indonesia, perjanjian perkawinan belum jadi sesuatu yang lazim atau banyak dilakukan oleh para calon pasangan yang akan menikah. Padahal perjanjian perkawinan perlu sekali dilakukan untuk menjamin kepastian hukum jika terjadi sengketa perkawinan.

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik baru ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan bekerjasama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender dan Kalyanamitra. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan.

Tanya: Halo, perkenalkan saya Wiwin dari Bandung. Saya akan menikah dengan pasangan saya. Saat ini saya berencana akan membuat perjanjian pra nikah. Namun, sebelum melakukan perjanjian tersebut, saya membutuhkan konsultasi secara hukum, bagaimana bentuk perjanjian pra nikah itu, dan bagaimana jika salah satu dari kami melanggar perjanjian pra nikah tersebut ? Terima kasih.

Jawab: Halo Wiwin, terimakasih atas pertanyannya ke “Klinik Hukum Perempuan.” Berikut saya akan menyampaikan jawaban atas pertanyaan kamu mengenai perjanjian pra nikah.

Perjanjian pra nikah merupakan perjanjian yang diadakan atau dibuat oleh calon suami dan calon istri atau pasangan sebelum melakukan perkawinan atau prenuptial agreement. Namun, alangkah lebih tepatnya, saya mengatakan istilah “Perjanjian Perkawinan” sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang.

Perjanjian perkawinan secara definisinya dapat dilakukan pada saat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan atau postnuptial agreement, yang bertujuan untuk mengatur apa saja hak dan kewajiban suami istri, hingga pengaturan mengenai harta kekayaan masing-masing yang akan dibawa ke dalam perkawinan.

Pada konteks di Indonesia, perjanjian perkawinan ini belum menjadi sesuatu yang lazim atau banyak dilakukan oleh para calon pasangan yang akan menikah. Bahkan, perjanjian perkawinan ini dianggap salah kaprah oleh sebagian masyarakat, yang dimana perjanjian perkawinan ini merupakan hal yang tidak perlu dilakukan, karena perkawinan cukup dengan adanya akad nikah yang dicatatatkan saja. Padahal perjanjian perkawinan ini perlu sekali dilakukan untuk menjamin kepastian hukum bagi kedua belah pihak yang akan menikah jika terjadi sengketa perkawinan. Misalnya, mengenai hak dan kewajiban calon istri dan suami, mengenai pemisahan harta dan penggabungan harta, hutang piutang sebelum menikah dan lain sebagainya.

Selain itu, perjanjian perkawinan ini pada dasarnya dilakukan untuk memudahkan pasangan untuk mengetahui dan merincikan harta masing-masing sebelum menikah.

Sebenarnya, perjanjian perkawinan ini sudah lama diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 29 ayat (1). “Perjanjian perkawinan merupakan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 hakim Mahkamah Konstitusi menafsirkan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, yaitu “pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

Hakim Mahkamah Konstitusi dalam hal ini menambahkan frasa “selama dalam ikatan perkawinan”, namun juga mengubah kata “mengadakan” menjadi “mengajukan” serta menambahkan frasa “atau notaris.”

Jika melihat konteks logis putusan mahkamah konstitusi ini, ketika terjadi perkawinan yang sudah berjalan, maka perjanjian perkawinan tidak lagi bisa “diadakan” di hadapan pegawai pencatat perkawinan, sedangkan perjanjian perkawinan tetap bisa “diajukan” pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Hal ini juga memunculkan opsi baru dalam melakukan perjanjian pra nikah dihadapan seorang notaris.

Perjanjian perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian. Sama halnya dengan perjanjian jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, perjanjian bersama, dan semuanya memiliki ciri dan kepentingannya masing-masing.

Terdapat 5 (lima) karakteristik komponen perjanjian perkawinan yaitu sebagai berikut:

1.Para pihak, yaitu pihak laki-laki dan pihak perempuan yang akan melangsungkan pernikahan atau telah melaksanakan pernikahan.

2.Rentang waktu pembuatan, dilakukan pada masa tertentu saja, yaitu pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan.

3.Isi perjanjian, hal ini sangat bervariatif, tergantung dari masing-masing pihak yang akan menentukan isi perjanjian tersebut. Misalnya mengenai harta yang diperoleh sebelum menikah, harta bersama, harta gono gini, aset sebelum dan setelah menikah, dan sebagainya.

4.Berlakunya perjanjian perkawinan, hal ini mulai dilakukan sejak dilangsungkan. Meski perjanjian tersebut dibuat sebelum perkawinan, namun masa mulai berlakunya tetap sejak perkawinan dilangsungkan.

5.Sebab berakhirnya perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan tidak bisa dibuat tanpa adanya perkawinan. Namun demikian, tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan menjadi hapus/ berakhir ketika perkawinan juga berakhir. Bahkan tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pengakhiran perjanjian perkawinan ini dalam UU Perkawinan. Hal yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan, misalnya mengenai hak asuh anak pasca cerai maupun biaya anak pasca cerai, dan sebagainya.

Jika kamu ingin melakukan perjanjian perkawinan dengan pasangan kamu, pastikan ada hal-hal yang harus dilakukan.

1.Pertama, melakukan konsultasi dengan advokat atau konsultan hukum perkawinan untuk melakukan perjanjian perkawinan dan pastikan hak dan kewajiban masing-masing pasangan dibuat dengan rasa aman dan bertujuan untuk melindungi.

2.Kedua, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi/ MK yang telah disebutkan sebelumnya, majelis hakim MK memberikan perluasan frasa dibuat dengan akta notaris, namun tetap mempertahankan frasa perjanjian perkawinan dilakukan secara tertulis. Yang dimana, perjanjian perkawinan ini memberikan jaminan bagi para pihak untuk melaksanakan isi dari perjanjian tersebut.

3.Ketiga, setelah dibuat di akta notaris, perlu juga didaftarkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) bagi pasangan yang beragama muslim, atau kantor Catatan Sipil bagi pasangan yang non muslim. Hal ini bertujuan untuk adanya syarat yang mengikat bagi pihak ketiga secara hukum. Hal ini bukanlah suatu kewajiban, namun sebuah opsi. Namun, alangkah baiknya untuk melakukan pengikatan kepada pihak ketiga.

Mengenai bagaimana konsekuensi hukum apabila salah satu pihak melanggar perjanjian perkawinan yang dilakukan oleh salah satu pihak, ini sama halnya dengan perjanjian yang lainnya, yaitu menggunakan istilah wanprestasi, yaitu adanya peraturan yang dibuat, namun salah satu pihak melanggarnya.

Sebelumnya telah disebutkan dalam poin 5 pada komponen perjanjian perkawinan yaitu, sebab terjadinya berakhirnya perkawinan. Misalnya salah satu pihak yang melanggar kesepakatan dalam perjanjian perkawinan tersebut, karena hubungan yang tidak harmonis, karena sebab perselingkuhan, melakukan kekerasan, maka perjanjian perkawinan tersebut dapat dibatalkan dan salah satu pihak dapat mengajukan perceraian.

Juga apabila terjadi sengketa dalam perkawinan seperti perebutan hak asuh anak atau harta gono gini, dapat dilakukan dengan mekanisme gugatan perceraian di Pengadilan Agama bagi yang beragama muslim atau Pengadilan Negeri bagi agama non muslim. Perjanjian tersebut dapat dijadikan bukti otentik yang kuat bagi hakim untuk memutuskan hubungan terhadap pasangan suami dan istri.

Semoga ini menjawab pertanyaanmu ya, Wiwin, selamat mempersiapkan perkawinanmu!

Mona Ervita

Advokat dari Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!