38 Tahun CEDAW: Tubuh Perempuan Dikontrol lewat Perda Diskriminatif

38 tahun pengesahan Konvensi Anti Diskriminasi Perempuan atau CEDAW diwarnai persoalan serius yaitu dengan banyaknya Perda diskriminatif dan pemaksaan aturan busana perempuan. Pemerintah masih menempatkan perempuan sebagai target kontrol moralitas sampai mengatur busana dan tubuh perempuan

Minggu, 24 Juli 2021 kemarin kita memperingati 38 tahun pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Cedaw), namun Perda diskriminatif dan pemaksaan pemakaian baju pada perempuan dan anak-anak perempuan masih menghantui perempuan di Indonesia

Laporan Human Rights Watch tentang pemaksaan pakaian perempuan dirilis 4 hari lalu pada 21 Juli 2022 sebelum 38 tahun pelaksanaan Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Laporan ini sangat miris di tengah banyaknya Peraturan Daerah (Perda) Diskriminatif yang dibuat oleh pemerintah daerah di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 410 Perda

Laporan HRW menyebut, sebagian besar provinsi dan puluhan kota serta kabupaten di Indonesia memberlakukan aturan berpakaian yang diskriminatif dan keras kepada perempuan dan anak perempuan. Laporan Human Rights Watch (HRW) menyebutkan tentang dampak dari peraturan-peraturan ini terlihat dalam keterangan pribadi para perempuan – sebagai siswi, guru, dokter, dan lainnya – yang dikumpulkan dalam laporan ini.

Berbagai pemerintah daerah di Indonesia telah mengeluarkan keputusan wajib jilbab mulai tahun 2001 di tiga kabupaten yaitu Indramayu dan Tasikmalaya (Provinsi Jawa Barat), dan Tanah Datar (Sumatra Barat). Aturan daerah yang membatasi tersebut muncul dan menyebar dengan cepat selama dua dekade terakhir, menekan jutaan anak perempuan dan perempuan di Indonesia untuk mulai memakai jilbab- penutup kepala perempuan yang menutupi rambut, leher, dan dada. Biasanya dipadu dengan rok panjang dan kemeja lengan panjang.

Para pejabat yang mengeluarkan keputusan tersebut berpendapat jilbab wajib bagi perempuan Muslim untuk menutupi “aurat” yang mereka anggap rambut, lengan, dan kaki, kadang juga bentuk tubuh perempuan. Perempuan dan anak perempuan menghadapi tekanan sosial dan ancaman sanksi kecuali mereka mematuhi peraturan.

“Presiden Joko Widodo harus segera membatalkan keputusan daerah yang diskriminatif dan melanggar hak perempuan dan anak perempuan,” kata Elaine Pearson, penjabat direktur Asia di Human Rights Watch.

“Keputusan-keputusan ini merugikan dan bermasalah, praktis hanya bisa diakhiri dengan tindakan pemerintah pusat.”

HRW juga mewawancarai lebih dari 100 perempuan yang pernah mengalami intimidasi, kekerasan dan dampak jangka panjang karena menolak memakai jilbab. Human Rights Watch mengumpulkan peraturan-peraturan itu dan memasukkannya sebagai lampiran sebuah laporan terbitan 2021. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang paling baru mengadopsi keputusan ini pada Agustus 2021.

Laporan Human Rights Watch tahun 2021 mendokumentasikan perundungan yang meluas terhadap perempuan dan anak perempuan untuk memaksa mereka memakai jilbab serta tekanan psikologis mendalam yang dapat ditimbulkannya.

Setidaknya di 24 dari total 34 provinsi di tanah air, anak perempuan yang tidak patuh terpaksa meninggalkan sekolah atau mengundurkan diri karena tekanan, sementara beberapa Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan, termasuk guru, dokter, kepala sekolah, dan dosen, kehilangan pekerjaan mereka atau terpaksa mengundurkan diri.

Perundungan dan intimidasi untuk memakai jilbab juga terjadi di media sosial. Dalam dua kasus terpisah, Human Rights Watch mendokumentasikan ancaman kekerasan yang disampaikan melalui Facebook. Wawancara Human Rights Watch mengungkapkan bahwa pesan intimidasi dan ancaman juga telah dikirim melalui aplikasi perpesanan, seperti WhatsApp.

Hampir 150.000 sekolah di 24 provinsi berpenduduk mayoritas Muslim di Indonesia saat ini memberlakukan aturan wajib jilbab berdasarkan peraturan daerah dan nasional. Di beberapa daerah Muslim konservatif seperti Aceh dan Sumatra Barat, bahkan pelajar perempuan non-Muslim, juga dipaksa untuk memakai jilbab.

Pada tahun 2012 dan 2014, Pramuka, gerakan kepanduan nasional yang wajib diikuti oleh anak sekolah, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan peraturan berpakaian dengan persyaratan jilbab khusus untuk “siswi Muslim” dari kelas 1 hingga kelas 12, yang jelas bertentangan dengan peraturan menteri tahun 1991 yang mengizinkan sekolah untuk membiarkan pelajar perempuan memilih “atribut khusus” mereka.

Perda Diskriminatif: Bagaimana Strategi Penanganannya?

Data Komnas Perempuan menyebut, saat ini terdapat 360 kebijakan yang berperspektif gender, namun terdapat 421 Peraturan Daerah (Perda) yang bermasalah dan mendiskriminasi perempuan.

Aturan busana terkait identitas agama di lingkungan pendidikan telah beberapa kali mencuat di masyarakat, seperti di Bali (2014), Jawa Barat (2016), Banyuwangi (2017), Jakarta (2017), Riau (2018), Manokwari (2019) dan Jogjakarta (2017, 2018, 2019). Kondisi itu rekat dengan berlarutnya persoalan kebijakan diskriminatif atas nama agama, moralitas dan otonomi daerah.

Pada tahun 2009, Komnas Perempuan pertama kali melansir laporan mengenai keberadaan kebijakan diskriminatif ini. Hingga kini terdapat 62 kebijakan daerah yang memuat aturan busana yang mengadopsi interpretasi tunggal dari simbol agama mayoritas.

Ke-62 kebijakan daerah ini terbit antara tahun 2000 hingga 2015 dan tersebar di 15 provinsi, yang terdiri dari 19 peraturan daerah dan 43 peraturan dan kebijakan kepala daerah di tingkat provinsi juga kota/kabupaten. Sekurangnya ada 15 kebijakan serupa yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat.

“Dan sebagian besar aturan ini diterapkan kepada Aparatur Sipil Negara atau ASN dan lembaga-lembaga publik di daerah, beberapa di antaranya secara spesifik memerintahkan pelaksanaannya juga mencakup lembaga pendidikan,” kata Imam Nahei seperti pernah diwawancara Konde.co

Pemantauan dan kajian Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kelahiran kebijakan daerah yang diskriminatif ini terkait dengan penguatan politik identitas primordial, terutama agama dan etnis, sejak reformasi bergulir di tahun 1998. Juga, bertaut dengan percepatan otonomi daerah tanpa mekanisme pengawasan yang mumpuni, serta demokratisasi yang lebih bersifat prosedural daripada substantif.

Dalam kebijakan yang lahir di situasi ini, kelompok minoritas diperintahkan untuk “menyesuaikan diri” yang berarti tunduk pada pengaturan yang mengunggulkan identitas tunggal kelompok “mayoritas”.

Dalam hal ini, minoritas mencakup mereka yang berbeda agama/keyakinan ataupun seagama tetapi berbeda pandang dengan kelompok pengusung kebijakan itu.

Komnas Perempuan sepanjang 2009-2020 mencatat bahwa pihak yang berbeda pandangan mengenai aturan tersebut dapat merisikokan diri untuk mengalami diskriminasi dan pengabaian dalam layanan publik, memperoleh sanksi sosial berupa ejekan dan pengucilan, atau sanksi administratif jika bekerja sebagai pegawai, juga kemungkinan kekerasan dan persekusi.

“Akibatnya, banyak pihak yang berbeda pendapat memilih berdiam diri, tunduk pada aturan tersebut meski tidak sesuai dengan hati nurani. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan sebagai tanda “tidak ada yang berkeberatan” untuk menjustifikasi keberadaan kebijakan diskriminatif itu,” kata Imam Nahei

Akibat konstruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai target kontrol moralitas dan simbol komunitas, maka kebijakan yang diskriminatif ini memiliki dampak kerugian yang tidak proporsional bagi perempuan, sebagaimana jelas tampak dalam pelaksanaan kebijakan yang mengatur tentang busana dengan identitas agama.

Komnas Perempuan sejak tahun 2007 mencermati kelahiran kebijakan daerah yang diskriminatif atas nama otonomi daerah, agama, moralitas dan kehendak mayoritas. Kebijakan serupa ini dapat lahir karena mekanisme pengawasan otonomi daerah belum sempurna. Menggunakan proses demokrasi yang bersifat formalitas, perumusan kebijakan diskriminiatif kerap membungkam suara-suara yang berbeda pandang, termasuk melalui berbagai cara intimidasi dan peminggiran. Kebijakan ini secara khusus menempatkan perempuan sebagai target kontrol, mengurangi pelindungan dan kepastian hukum, serta menghadirkan secara langsung maupun tak langsung diskriminasi yang berlapis, karena identitasnya sebagai perempuan dan dari kelompok minoritas, juga marginal.

“Selain mengurangi kapasitas negara dalam memberikan pelindungan dan kepastian hukum terutama pada perempuan, kebijakan diskriminatif serupa ini juga membuat marka identitas daerah yang menonjolkan preferensi pada satu entitas tertentu dari kelompok mayoritas yang bertentangan dengan wawasan nusantara,” ungkap Andy Yentriyani, ketua Komnas Perempuan.

Dalam pemantauan Komnas Perempuan, kebijakan daerah yang diskriminatif ini terus bertumbuh dari 154 kebijakan pada 2019 hingga mencapai 421 kebijakan di tahun 2016.

Persolan di atas inilah  yang mendasari upaya untuk mencari strategi percepatan penanganan kebijakan diskriminatif atas nama otonomi daerah yang digagas bersama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Lembaga Ketahanan Nasional RI (Lemhannas) yang dilansir bagi publik pada Rabu (01/12/2021). 

Pemerintah Indonesia telah melakukan penyikapan dengan meletakan upaya pencegahan dan penanganan kebijakan diskriminatif melalui  desain RPJMN dua periode pemerintahan baik  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Jokowi 2015-2019 hingga saat ini. Namun pada upaya pencegahan dan penanganan kebijakan diskriminatif ditemukan banyak sekali hambatan serta kelemahan pada tingkat pemahaman, komitmen dan konsolidasi. 

Misalnya, pada Juni 2016, Kementerian dalam Negeri (Kemendagri) telah membatalkan 3.143 perda terkait retribusi dan pajak, sementara hingga 2019 hanya ada 38 dari 421 (9%) dari kebijakan daerah yang diskriminatif yang diklarifikasi. Upaya sistemik pada awal tahun 2021 melalui SKB tiga menteri (Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama RI) mendapatkan perlawanan dari masyarakat dan tidak didukung oleh Mahkamah Agung, yang menggambarkan lemahnya konsolidasi penghapusan diskriminasi di tingkat penyelenggara negara.

Komnas Perempuan dan Lemhannas RI sejak 2020 telah melakukan kajian pada persoalan kebijakan diskriminatif dalam kerangka otonomi daerah dan langkah-langkah yang telah dilakukan, dan sehingga dapat mendukung Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk terus bahu-membahu dan mengkonsolidasikan percepatan secara sistemik penanganan dan pencegahan kebijakan diskriminatif. Menengenai urgensi percepatan penanganan kebijakan diskriminatif dalam kerangka ketahanan nasional, Gubernur Lemhannas, Agus Widjojo, dalam sambutannya dalam acara Komnas Perempuan pada Desember 2021 menyebutkan bahwa:

“Produk hukum diskriminatif akan menjadi bom waktu, menyebabkan konflik sosial antar etnik, agama, dan ikatan sosio-kultural lainnya. pembatasan hak asasi manusia – termasuk kebebasan beragama, berserikat, dan berekspresi – melemahkan hubungan antara negara dan warganya, dan potensi manusia sepenuhnya dari rakyat Indonesia.”

Kajian bersama ini melibatkan lebih dari 20 ahli berbagai disiplin ilmu baik dari ahli  hukum, tata negara, perspektif Hak Asasi Manusia dan perempuan, kajian agama, serta perundang-undangan.

Kajian ini juga menggali  pandangan-pandangan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk upaya memberikan kontribusi bagaimana melakukan percepatan penanganan kebijakan diskriminatif yang masih tersebar di beberapa daerah. Melalui diskusi terfokus di dua wilayah, lima diskusi terfokus dengan ahli, kajian ini memberikan langkah-langkah rekomendasi yang perlu ditindak lanjuti oleh Pemerintah secara serius dalam memastikan upaya sistemik melakukan penanganan dan pencegahan kebijakan yang memuat dan berdampak diskriminasi pada warga negara khususnya perempuan.  

Kajian ini mendalami empat (4) hal persoalan, antara lain (1) bagaimana pengakuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah pada pelembagaan diskriminasi yang termuat pada kebijakan-kebijakan yang ada di daerah maupun tingkat nasional, (2) bagaimana langkah percepatan penanganan (3) bagaimana langkah percepatan pencegahan (4) dan bagaimana dampaknya dengan ketahanan nasional.  

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!