Bebasnya Dosen Terdakwa Kekerasan Seksual: Bukti Permendikbud Belum Efektif di Kampus

Bebasnya dosen yang menjadi terdakwa pelaku kekerasan sekual di Universitas Riau merupakan tanda bahaya. Penyelesaian kasus kekerasan seksual yang menimpa mahasiswi disana tidak hanya penting bagi pemenuhan hak dan pemulihan korban, melainkan juga penting untuk membuktikan efektifitas Permendikbud stop kekerasan seksual di kampus

Setelah SH, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Riau (UNRI) divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Pekanbaru, kasus kekerasan seksual yang dialami L telah memasuki babak baru.

Penyelesaian kasus kekerasan seksual yang menimpa L tidak hanya penting bagi pemenuhan hak dan pemulihan korban, melainkan juga penting untuk membuktikan efektifitas implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual di kasus-kasus selanjutnya.

Apabila Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual belum bisa diterapkan pada kasus-kasus yang terjadi sebelum pengesahannya, setidaknya Permendikbud No. 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi seharusnya menjadi rujukan bagi penanganan kasus ini. Permendikbud ini memberikan fokus besar pada upaya perlindungan hukum dan pemulihan korban. Terlebih, hasil pemeriksaan sudah menunjukan adanya dampak psikis yang berat pada korban.

“Uji forensik kami menemukan kondisi depresi berat pada korban,” ujar Asisten Deputi KPPPA, Icha Margaret Robin, pada Konferensi Pers INFID bersama Korps Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (KOMAHI FISIP UNRI) pada Senin, 28 Juni 2022.

Putusan bebas pada terdakwa dinilai sebagai bentuk dari mismatch yang berlapis. Noval Setiawan, perwakilan LBH Pekanbaru, mengatakan bahwa LBH pekanbaru menggalang dukungan melalui amicus curiae dan mengonsolidasikan jaringan untuk mengawal kasus. Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru diuji ulang melalui eksaminasi yang digagas LBH Pekanbaru. Hasilnya, terdapat sejumlah faktor yang melatarbelakangi kekeliruan pada penanganan kasus ini hingga keluarnya putusan bebas untuk terdakwa.

Satu, tidak dimaknainya ‘unsur kekerasan’ dalam lensa kekerasan seksual dan gender oleh hakim. Dua, terbatasnya pemaknaan hakim tentang ‘kekerasan’ yang harus memiliki bukti fisik. Tiga, tidak digunakannya nilai-nilai Permendikbud No.30 Tahun 2021 oleh hakim. Empat, absennya perspektif kekerasan seksual dalam proses interpretasi barang bukti.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ahmad Sofian, saksi ahli yang dihadirkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak/ PPPA.

“Terdapat kekeliruan hakim dalam menafsirkan alat bukti. Hakim membayangkan ‘kekerasan’ dalam wujud ‘dampak’, bukan ‘perbuatan’,” terang Ahmad Sofian. Menurutnya, bila Kemendikbud ingin melakukan pemeriksaan, maka pemeriksaannya harus berbeda dengan pemeriksaan pengadilan. Pemeriksaan Kemendikbud seharusnya menggunakan perspektif Kekerasan Seksual.

Lidwina Inge Nurtjahyo, akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang juga merupakan Eksaminator dalam kasus ini, melihat bahwa bukti yang disuguhkan korban kepada pengadilan sebenarnya sudah memenuhi kategori Kekerasan Seksual.

“Namun, bias-bias konvensional seperti anggapan bahwa kekerasan seksual adalah masalah privat, kekerasan seksual dilihat sebagai kesalahan korban, uang dapat menyelesaikan kekerasan seksual, dan terbatasnya penilaian berdasarkan indikator fisik dari pada psikis, justru memperkuat posisi pelaku dan mengaburkan bukti yang diajukan korban,” jelas Lidwina.

Amanat dari Permendikbud 30/2021 mengenai pembentukan Satuan Tugas (Satgas) dari Universitas juga belum berjalan efektif sebagai instrumen perlindungan korban. Agil Fadlan, Ketua Divisi Advokasi KOMAHI, mengatakan, pasca L angkat bicara di media sosial KOMAHI, UNRI kemudian membentuk satuan tugas (satgas) pengentasan kekerasan seksual. Sejak bulan Desember 2021 sampai Januari 2022, korban telah berkoordinasi dengan satgas, namun sampai saat ini hasilnya belum jelas. Merespon situasi tersebut, KOMAHI menginisiasi layanan pengaduan kekerasan seksual. Melalui layanan pengaduan, KOMAHI mendapat laporan bahwa terdapat beberapa kasus kekerasan seksual lain yang dialami oleh korban yang berbeda dalam lingkup akademis di UNRI.

Agil melihat situasi ini sebagai alarm situasi darurat agar UNRI segera mengimplementasikan Permendikbud 30/2021 dengan tegas. Namun, meskipun masalah kekerasan seksual di UNRI telah mengemuka, tapi UNRI masih belum proaktif menginisiasi fasilitas terpadu ataupun tindakan tegas.

Komitmen UNRI dipertanyakan oleh KOMAHI, terlebih ketika Pengadilan Negeri Pekanbaru memvonis bebas SH. Pasca putusan bebas, upaya pemenuhan hak dan pemulihan korban belum kunjung diinisiasi oleh UNRI. Atas kepentingan korban, Jaksa Penuntut Umum dari kasus ini-pun memutuskan mengajukan kasasi atas putusan tersebut ke Mahkamah Agung.

Pemantauan Komnas Perempuan

Sejak kasus SH bergulir, Komnas Perempuan telah melakukan pemantauan. Siti Aminah Tardi mengatakan, “Kami telah menghimbau Kapolda untuk menggunakan cara-cara bijak. Kampus (UNRI) pun telah kami berikan rekomendasi.”

Menurut Siti Aminah Tardi, Komnas Perempuan juga telah menyurati Mahkamah Agung, bahwa kasus UNRI adalah ‘gerbang awal’ untuk memberikan percontohan penanganan kasus KS. Komnas Perempuan berharap Mahkamah Agung dapat melihat kasus UNRI melalui perspektif korban.

Selama proses advokasi kasus ini berlangsung, penyintas dan pendamping mendapatkan sejumlah gangguan serta intimidasi dari pihak terduga pelaku. Penyintas pernah di-doxxing oleh salah seorang  mahasiswa dengan menyebarkan foto pribadi penyintas di media sosial dan mengatakan hal yang tidak pantas mengenai penyintas. Penyintas juga pernah didatangi oleh pihak terduga pelaku untuk upaya damai, namun penyintas menolak. KOMAHI sendiri, pernah mengalami intimidasi dari salah seorang mahasiswa yang mengancam akan menyakiti anggota-anggota KOMAHI jika masih terus ‘mencemarkan nama baik FISIP’. Seluruh hal tersebut telah dilaporkan kepada LPSK dan Satgas PPKS UNRI.

Dalam kasus ini, dengan divonis bebasnya pelaku yang memegang relasi kuasa lebih tinggi, maka akan membuka kelemahan bagi penanganan kasus-kasus serupa di masa depan. Terlebih lagi, ketika aparat penegak hukum belum memiliki perspektif kekerasan seksual.

Penanganan kasus ini sebenarnya adalah babak awal bagi pembuktian komitmen implementasi penanganan kasus dan perlindungan korban kekerasan seksual di tengah momen baru disahkannya UU TPKS dan Permendikbud 30/2021. Kredibilitas dan komitmen UNRI akan teruji jika berani menindak tegas kasus kekerasan seksual di dalamnya.

Kasus Pelecehan Seksual

Kasus kekerasan seksual ini diketahui publik ketika ada video yang diunggah pada Kamis (4/11) di akun Instagram Korps Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Riau (Komahi Unri) @komahi_ur

Dalam video itu, dengan wajah disamarkan, L mahasiswi jurusan Hubungan Internasional di FISIP UNRI mengisahkan pelecehan seksual yang dialaminya. Tak tanggung-tanggung terduga pelaku adalah dosen berinisial SH, pembimbing skripsi yang juga Dekan FISIP Unri.

Peristiwa itu terjadi pada Rabu (27/10), pukul 12.30 WIB. Ini merupakan kali pertama L bertemu terduga pelaku, meski sebelumnya mereka sudah berkomunikasi melalui WhatsApp. Sebelum bimbingan, SH juga meminta dikirimi foto diri korban yang tanpa rasa curiga langsung disanggupi korban.

“Saya hanya berdua di dalam ruang dekan. Bapak SH mengawali pertanyaannya tentang pribadi saya, tentang kehidupan dan pekerjaan. Dia juga bilang ‘I love you’ kepada saya. Saya jadi tidak nyaman,” tutur L.

Setelah bimbingan skripsi selesai, korban menyalim terduga pelaku untuk pamit. Namun, terduga pelaku meremas pundak korban dan mendekatkan badannya ke tubuh korban. Dia memegang kepala korban dengan kedua tangannya, terus mencium pipi kiri dan keningnya.

“Saya sangat ketakutan dan menundukkan kepala. Tapi Bapak SH mendongakkan saya sambil berkata “mana bibir mana bibir”, membuat saya merasa terhina dan terkejut,” kata L.

Korban yang lemas dan ketakutan kemudian mendorong tubuh terduga pelaku. Penolakan ini membuat ‘mundur’ SH. Dia bilang, “ya udah kalau enggak mau.”

Korban L langsung keluar dari ruang dekan dan keluar dari kampus dalam kondisi ketakutan dan syok berat.

Sore itu juga, tepatnya pada pukul 15.17 WIB, L menghubungi Sekretaris Jurusan (Sekjur) untuk melaporkan kejadian yang dialaminya. Keesokan harinya, ia menanyakan ke Sekjur mengenai pergantian dosen pembimbing.

Korban juga menceritakan kejadian ini kepada kerabatnya, yang dengan seizin korban mereka lantas melaporkan kejadian ini kepada pengurus Komahi. Namun, Komahi baru bergerak setelah upaya korban menemui jalan buntu dan terkesan ada upaya jurusan untuk menutup-nutupi kasus ini.

Pada Jumat (29/10) L kembali menghubungi sekretaris jurusan (Sekjur) untuk pergantian dosen pembimbing. Sekjur minta korban hubungi terduga lebih dahulu, namun korban menolak. Akhirnya korban bertemu Ketua Jurusan dan dihadiri oleh Sekjur dan dua sepupu korban sebagai saksi. Pada pertemuan itu L diminta untuk tidak memberitahukan kejadian ini kepada siapapun. Setelah pertemuan itu korban juga tak kunjung mendapatkan dosen pengganti.

“Ia bahkan dihubungi terduga pelaku sehingga merasa makin tertekan,” terang Poppy, pendamping korban dari Komahi Unri dalam konferensi pers yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unri di Pekanbaru, Minggu (7/11). Konpers ini juga dihadiri LBH Pekanbaru dan Komahi Unri dan diakses konde.co secara online.

Setelah pelaku dilaporkan dan melalui proses persidangan, ternyata Pengadilan Negeri Pekanbaru memutus bebas SH. Keputusan ini diprotes banyak pihak. Putusan ini seperti tidak sesuai dengan semangat diundangkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Berbagai gerakan untuk menolak putusan bebas dosen pelaku pelecehan seksual ini terus dilakukan. Tak hanya pengajuan kasasi atas vonis bebas eks Dekan oleh Hakim Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, para mahasiswa juga melakukan audiensi bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim pada Kamis, 14 April 2022. 

Kepada Konde, Tim Advokasi KOMAHI FISIP UNRI, Muhammad Farhan menceritakan pertemuan itu sebagai bentuk “kepasrahan” dalam menghadapi kasus pelecehan seksual yang dialami seorang mahasiswi korban usai vonis bebas eks Dekan. Menurut mereka, tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari proses peradilan di Pekanbaru yang tidak adil bagi korban. 

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!